Oleh Ferdi Jehalut

Pengantar
Modernitas
sebagai akibat perkembangan rasionalisme yang
menempatkan hegemoni ratio sebagai primat dalam menentukan pengetahuan yang
benar
telah melahirkan banyak fakta baru dalam dinamika kehidupan manusia. Dalam bidang politik lahir liberalisme politik yang menekankan kebebasan
individual para warga; dalam bidang ekonomi berkembang logika kapital dan
logika industrial; dalam bidang filsafat cara berpikir mitologis digeser oleh
cara berpikir metafisis. Sedangkan dalam bidang agama atau pandangan hidup
muncul corak hidup sekular.[1] Bidang
yang terakhir ini menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini.
Genealogi sekularisasi dapat ditemukan dalam perkembangan sejarah yang
oleh Cornelis van Peursen mulai dari zaman
mitis sampai zaman ontologis hingga
zaman fungsional (pragmatis) dan oleh Harvey Cox mulai
dari zaman
suku sampai zaman kota hingga zaman teknopolitan serta oleh Arend Th.
Van Leeuwen mulai dari zaman ontokratis (zaman
dari mana kita datang) hingga zaman
tekhnokratis (zaman ke arah mana kita menuju).[2] Menurut pembabakan
sejarah yang dibuat oleh ketiga teolog itu, sekularisasi merupakan suatu
kenyataan yang terjadi pada zaman
fungsional (Peursen), zaman
tekhnopolitan (Cox), dan zaman
tekhnokratis (Leeuwen).
Sekularisasi
dalam masyarakat sudah lama menimbulkan kontroversi. Di kalangan Gereja Katolik
atau Kristen sendiri, sekularisasi ditanggapi secara berbeda. Ada yang
menolaknya sebagai bentuk pengkafiran dan ada pula yang menerimanya sebagai
suatu kenyataan yang mesti dihadapi. Terlepas dari semua prasangka itu, kiranya
disadari bahwa sekularisasi mesti ditanggapi secara tenang dan bijak.

Gereja di Tengah Kenyataan Dunia Sekular
“Apa artinya mengatakan bahwa
kita hidup pada abad sekular?” Ini merupakan pertanyaan pertama yang muncul
pada introduksi Opus Magnum Charles Taylor,
“A Secular Age”.[3]
Bagi Gereja yang pengaruhnya menembus ke hampir seluruh sendi-sendi kehidupan
manusia pada abad pertengahan,
pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Namun, sekurang-kurangnya
pertanyaan ini membangunkan Gereja dari tidur dogmatisme dan dominasi
otoritas-politis serentak mengundang-nya untuk kembali mempertanyakan kehadirannya
di dunia serta status hubungan Gereja dan dunia (politik) pada zaman modern.
Pertanyaan di atas kemudian memunculkan pertanyaan baru yaitu, bagaimana sikap
atau tanggapan Gereja terhadap pandangan sekuler?
Menurut Charles Taylor,
pandangan sekuler tampaknya sulit ditolak ketika kita membandingkan masyarakat
yang hidup di Barat, atau barangkali Barat Laut, atau sebaliknya dunia Atlantik
Utara dengan hal lainnya dalam sejarah manusia: yaitu, dengan hampir semua
masyarakat kontemporer lainnya (misalnya, negara-negara Islam, India, Afrika)
di satu sisi; dan dengan sejarah manusia, Atlantik di sisi lain.[4]
Hal itu digambarkan oleh Charles Taylor dengan membedakan sekularisasi dalam
tiga level (pembedaan ini sebenarnya merupakan hasil studi banding antara
kenyataan masyarakat pra-modern dengan kenyataan masyarakat modern). Pertama, pemisahan institusional agama (‘Gereja’)
dari negara. Kedua, suatu kemunduran
yang nyata di dalam praktik ritus keagamaan, seperti kehadiran di gereja. Ketiga, perubahan kondisi keyakinan atau
kepercayaan, atmosfer kultural, atau dalam istilah Taylor “the social imaginary”.[5]
Ketiga level pembedaan di
atas dijelaskan Taylor demikian. Organiasasi politik dari semua masyarakat
pra-modern dalam beberapa hal terhubung, didasarkan, dan dijamin oleh keyakinan
tertentu, atau kepatuhan terhadap Tuhan, atau beberapa gagasan tentang realitas
ultim. Sedangkan pada masyarakat modern-sekuler organisasi politik bebas dari
hubungan semacam itu. Gereja sekarang terpisah dari politik (dengan beberapa
pengecualian di Inggris dan Skandinavia). Agama dan kehadirannya lebih dilihat
sebagai persoalan pribadi. Masyarakat politik baik yang “beriman” maupun yang
“tidak beriman” dapat terlibat secara penuh dalam dunia politik. Ada kesetaraan
kedudukan antara orang “beriman” dengan orang “tidak beriman”. [6]
Masyarakat modern-sekular
melihat religion is everywhere.
Kehadiran di gereja tidak terlalu penting. Agama direduksi hanya sebatas konsep
hidup baik. Hal ini tampak dalam beberapa gejala berikut: “(1) gereja- gereja
kosong atau gereja-gereja tua, yang ikut misa umumnya orang-orang tua, (2) gereja
napas (natal-paskah), (3) gereja wanita, yang hadir misa umumnya kaum hawa, dan
(4) adanya prinsip Christ yes, but Church
no, kawin ya, tapi nikah tidak. ”[7]
Situasi
di atas memang menantang Gereja. Namun demikian, hal itu tidak berarti Gereja
mutlak terancam. Dietrich Bonhoeffer misalnya mengatakan, “Betapa kita membutuhkan
interpretasi “nonreligius” tentang Injil untuk berbicara tentang “model
sekular” Tuhan.”[8]
Harvey Cox lalu menegaskan bahwa sesungguhnya banyak fitur positif tentang
sekularisasi, dan komponen utamanya berasal dari iman Alkitabiah.[9] Bahkan
dalam formulasi yang paling tegas Cox mengatakan “... justru iman menurut Kitab
Sucilah yang menghasilkan sekularisasi; dan bahwa sikap sekulir (sekular) ini,
kalau dimengerti dengan semestinya, adalah sikap yang membuat kita bebas untuk
melihat dimensi yang sebenarnya dari wahyu Kitab Suci, yaitu bahwa Allah itu
adalah Allah Yang hidup, Yang dikenal dalam peristiwa-peristiwa sejarah.”[10] Premis
dasar yang ia bangun ialah bahwa kita bertemu (mengalami) Tuhan bukan hanya
dalam agama atau sejarah Gereja, melainkan juga dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk aspek politik dan kultural.[11] Premis
Harvey Cox tersebut sebenarnya mau menegaskan bahwa Allah mewahyukan dirinya
secara historis dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Tuhan tidak boleh
dikandangkan dalam agama tertentu. Gereja terlalu kecil untuk mengkandangkan
Tuhan dalam rangkulannya. Kebenaran juga terlalu kuat untuk hanya menjadi monopoli Gereja. Seperti narasi dari
manifesto faksi Candor, “Seperti hewan liar, kebenaran terlalu kuat untuk
dikurung.”[12]
Dalam konteks inilah Gereja dituntut untuk bersikap terbuka.
Sekularisasi: Ancaman atau Berkat?
Tulisan ini tidak
berpretensi memberikan jawaban final bahwa sekularisasi merupakan ancaman bagi
Gereja atau sebaliknya berkat bagi Gereja. Harvey Cox menegaskan bahwa
sekularisasi merupakan proses pembebasan dan kesempatan mencapai kemerdekaan
yang lebih besar. Namun, proses ini juga membawa bahaya yang lebih besar pula. Sekularisasi
bukanlah Sang Mesias. Namun, bukan pula anti-Kristus.[13]
Diskusi antara Jürgen
Habermas dan Joseph Ratzinger pada tanggal 19 Januari 2004, yang diselenggarakan
oleh Institut “Katholische Akademi” Bayern di München kiranya bisa menjadi
salah satu rujukan untuk menjawabi pertanyaan di atas.[14]
Diskusi ini menarik karena kedua tokoh itu merupakan wakil dari dua pandangan
hidup yang berbeda, yaitu pandangan hidup sekular dan pandangan hidup religius
(iman berdasarkan agama).
Diskusi yang melibatkan
dua tokoh besar kontemporer itu pada intinya membicarakan hubungan antara agama
(iman) dan akal budi dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini mau tidak mau
kita berbicara tentang hubungan antara agama (Gereja) dan politik. Maka, di
sini pertanyaan Ernst Wolfgang Böckenförde sebagaimana dikutip Habermas sendiri
menjadi penting, “apakah satu negara liberal dan sekular hidup dari
syarat-syarat normatif, yang tidak dapat dijaminnya sendiri?”[15] dan
juga apakah negara liberal sekular dapat menjamin dasar keniscayaan dan
universalitas kewajiban-kewajiban moral (Hans Küng)?[16]
Kedua pertanyaan ini dapat dirangkum dalam pertayaan, bagaimana hubungan antara
agama (Gereja) dan politik pada zaman modern?
Di sini
saya tidak bermaksud mengulas panjang lebar jawaban Habermas dan Ratzinger. Namun,
secara singkat dapat dikatakan bahwa antara agama (Gereja) dan politik pada
zaman modern-sekular dibutuhkan suatu “proses belajar ganda” (dalam istilah
Habermas dan Ratzinger). Setiap proses belajar antara dua instansi otonom
selalu membutuhkan keterbukaan untuk saling menerima dan mendengarkan pandangan
tanpa harus menyeragamkannya. Dalam hal ini, setiap unsur baik yang terdapat
pada masing-masing instansi dapat “diadopsi” tanpa harus menghilangkan
identitas masing-masing. Gereja misalnya dapat secara bijak menghadapi
tantangan ‘sekularisasi masyarakat modern dengan rasionalitasnya’ untuk
merancang arah penginjilan baru yang sesuai dengannya. Gereja juga tidak boleh
memaksakan pandangannya untuk dijadikan sebagai patokan dalam penentuan hukum
sipil yang berlaku secara universal. Sebaliknya, instansi politik atau dunia
sekular mesti terbuka terhadap masukan-masukan Gereja sebagai salah satu
instansi religius dalam menentukan atau menghadapi persoalan-persoalan baru dan
umum yang dihadapi oleh masyarakat manusia. Dalam hal ini, Gereja juga tidak harus
dan tidak boleh mendikte politik yang pada akhirnya juga memangkas hak dan
kebebasan masyarakat atau golongan agama lain untuk menganut paham dan
keyakinan yang berbeda.
Penutup
Sekularisasi dapat
menjadi berkat bagi Gereja, tapi sekaligus juga mengandung bahaya. Ciri
rasionalitas masyarakat sekular di satu sisi menuntut Gereja untuk bersikap
terbuka, tetapi di sisi lain mesti juga tetap waspada. Sekularisasi dapat
menjadi ancaman bagi Gereja manakala Gereja tetap mempertahankan ciri
dogmatisnya tanpa bersikap terbuka terhadap pandangan-pandangan baru. Kenyataan
dunia sekular menantang Gereja untuk mengkontekstualisasikan pewartaan Injil
sesuai dengan tuntutan zaman. Pada akhirnya, sekali lagi mengutip Dietrich
Bonhoeffer “Betapa kita membutuhkan interpretasi “nonreligius” tentang Injil
untuk berbicara tentang “model sekular” Tuhan.”
BIBLIOGRAFI
Colin Williams. Iman Kristen dalam Abad Sekulir.
Sekretariat Nasional K. M./C.L.C. (penyad.). Yogyakarta: Penerbit
Yayasan Kanisius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
Cox, Harvey. The
Secular City. The United
Kingdom: Princeton university press, 2013.
Habermas, Jürgen. “Basis
Prapolitis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis?”. Dalam Paul Budi Keleden dan
Adrianus Sunarko (eds.). Dialektika
Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Maumere: Penerbit
Ledalero,Yogyakarta: Lamalera, 2010.
Kleden, Ignas.
“Masyarakat Post-sekular: Relasi Akal dan Iman serta Tuntutan Penyesuaian
Baru”. Materi yang disampaikan dalam Pembukaan Perkuliahan Awal 2010-2011, Fakultas
Teologi Universitas Sanata Dharma, Studium
Generale,
Yogya, 16 Agustus 2010.
Kleden, Paul Budi dan
Adrianus Sunarko (eds.). Dialektika
Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Maumere: Penerbit
Ledalero,Yogyakarta: Lamalera, 2010.
Madung, Otto Gusti. Politik Deferensiasi versus Politik
Martabat Manusia?. Maumere: Penerbit Ledalero, 2011.
Muda, Hubert.
“Spiritualitas Misioner”. materi kuliah misiologi di Novisiat SVD Kuwu,
2015-2016.
Roth,
Veronika. Insurgent. Terj. Nur Aini.
Cet. IV. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Taylor, Charles. A Secular Age. Cambridge,
Massachusetts, and London, England: The
Belknap Press of Harvard University Press, 2007.
[1] Sejak akhir abad 20 telah muncul reaksi terhadap kenyataan-kenyataan
itu. Liberalisme politik ditantang oleh komunitarianisme, cara berpikir
metafisis diganti oleh cara berpikir post-metafisik, dan dalam bidang agama
keterbatasan rasionalisme telah membentuk masyarakat baru yaitu masyarakt
post-sekular. Bdk. Ignas Kleden, “Masyarakat Post-sekular: Relasi Akal dan Iman
serta Tuntutan Penyesuaian Baru” (Materi yang disampaikan dalam Pembukaan Perkuliahan Awal 2010-2011,
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Studium Generale, Yogya, 16 Agustus 2010), p. 1.
[2]
Dr. Colin Williams, Iman Kristen dalam
Abad Sekulir, Sekretariat Nasional K. M./C.L.C. (penyad.) (Yogyakarta:
Penerbit Yayasan Kanisius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), p. 13-23.
[3] Charles Taylor, A
Secular Age (Cambridge, Massachusetts, and London, England: The Belknap Press of Harvard University
Press, 2007), p. 1.
[4]
Ibid.
[5] Ibid., pp.
1-2. Bdk. juga Harvey Cox, The Secular
City (The United Kingdom: Princeton university press,
2013), p. xv.
[6]
Charles Taylor, Ibid.
[7]
Hubert Muda, “Spiritualitas Misioner” (materi kuliah misiologi di Novisiat SVD
Kuwu, 2015-2016).
[8]
Harvey Cox, op. cit., pp. vi-vii.
[9]
Ibid.
[10]
Dr. Colin Williams, op. cit., p. 17.
[11]
Harvey Cox, loc.cit.
[12]
Veronika Roth, Insurgent, terj. Nur
Aini, cet. IV (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), p. 11.
[13]
Dr. Colin Williams, loc. cit.
[14]
Bdk. Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (eds.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan
(Maumere: Penerbit Ledalero,Yogyakarta: Lamalera, 2010).
[15]
Jürgen Habermas, “Basis Prapolitis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis?”, dalam
ibid., p. 1.
[16]
Ini merupakan formulasi questio dari
rambu-rambu kritis teolog besar abad ini, Hans Küng
bahwa “Kendati manusia mewajibkan dirinya untuk taat pada norma-norma moral,
satu hal tetap tak dapat dilakukan manusia tanpa agama: memberikan pendasaran
atas keniscayaan dan universalitas kewajiban-kewajiban moral. Bdk. Otto
Gusti Madung, Politik Defernsiasi versus
Politik Martabat Manusia? (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), p. 116.
Sekularisasi: Ancaman atau Berkat?
Reviewed by insancerdaspolitik
on
March 03, 2019
Rating:
No comments: