Recent Posts

banner image
banner image

Politik, Kekuasaan, dan Orde Baru (Tinjauan dari Perspektif Teori Politik Hannah Arendt)

Ferdinandus Jehalut

82 KARIKATUR TOKOH POLITIK INDONESIA DALAM KARYA LUKIS Gusti Randa ...
Karikatur: e-Jurnal UNP

I.     Pengantar
Di antara sekian banyak pemikir politik abad ke-20, Hannah Arendt adalah salah satu pemikir yang merefleksikan arti dan makna kata politik secara mendalam. Dilatari peristiwa pembantaian massal jutaan orang Yahudi di bawah rezim totaliter Jerman, peristiwa perang dunia pertama dan kedua, stalinisme di Rusia dan kenyataan pluralitas masyarakat modern, Hannah Arendt berusaha membangun sebuah teori politik yang humanis dan anti-barbarisme. Politik dipahaminya sebagai komunikasi. Politik sebagai komunikasi itu berada di antara manusia-manusia. Politik berada di luar manusia. Meskipun demikian, politik tidak melayang-layang di ruang hampa, sebab ia baru terbentuk ketika manusia-manusia menjalin komunikasi satu sama lain. Komunikasi yang dimaksudkan Arendt adalah komunikasi dalam kategori kebebasan dan bukan dalam kategori dominasi. Di sana manusia-manusia dapat berkomunikasi dan mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa harus tunduk di bawah kepatuhan mutlak tanpa syarat terhadap sebuah otoritas.

Teori politik Hannah Arendt ini dapat ditemukan titik tolaknya pada teori politik zaman antik, yakni dalam teori politik Aristoteles. Aristoteles memahami politik (polis atau asosiasi politis) sebagai sesuatu yang alamiah dan sebagai sebuah pra-andaian dari kehidupan yang benar dan komplet, dalam arti bahwa keberadaan polis itu mendahului individu-individu. Hannah Arendt sebaliknya justru memahami politik sebagai ruang yang diciptakan oleh manusia-manusia dan karena itu manusia-manusia atau individu-individu itu mesti ada lebih dahulu dari pada polis. Alasannya, bagi Arendt tidak ada yang disebut manusia politis. Manusia tunggal adalah apolitis.

Jika politik itu dipahami sebagai komunikasi di antara manusia-manusia, bagaimana kita memahami politik dan kekuasaan dalam rezim otoriter seperti Orde Baru? Bukankah tindakan represif di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru merupakan sebuah tindakan politik yang dilegitimasi oleh otoritas yang dimiliki oleh sang pemimpin?

Tulisan ini berikhtiar menjawab pertanyaan di atas. Di sini penulis akan menganalisis sistem kekuasaan dan politik Orde Baru dari perspektif pemikiran politik Hannah Arendt. Namun, sebelum sampai pada ulasan itu, mesti dipahami lebih dahulu karakter pemikiran politik Hannah Arendt. Bagaimana Arendt memahami politik dan kekuasaan?

Hasil gambar untuk Karikatur Orde Baru
II.      Politik dan Kekuasaan Menurut Hannah 

Sebelum masuk pada ulasan tentang politik dan kekuasaan dalam pandangan Hannah Arendt, terlebih dahulu kita mesti memahami arti negara. Dalam filsafat politik, negara umumnya dipahami sebagai sebuah organisasi kekuasaan yang legitim. Sedangkan kumpulan para penjahat yang memiliki kekuasaan dan mendiami wilayah tertentu tidak dapat disebut negara karena kekuasaannya tidak legitim.[1] Legitimasi kekuasaan negara terletak dalam adanya pengakuan bebas dari para warganya dan dalam cirinya yang berorientasi pada keadilan dan kebaikan semua anggotanya. Meskipun kekuasaan para perampok diakui oleh semua anggotanya dan hasil rampokan mereka digunakan untuk kesejahteraan semua anggotanya, itu tetap tidak dapat dikatakan negara. Sebab, pengakuan itu tidak didasarkan atas keputusan bebas para anggotanya dan bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak bisa diperoleh dengan cara mencaplok harta milik orang lain dengan cara pemaksaan. Lagi pula sebuah komunitas baru disebut sebagai negara kalau ada pengakuan resmi baik secara de facto maupun secara de jure.

Pembicaraan tentang negara tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang politik. Sebab negara pada dasarnya merupakan sebuah sistem politik. Sementara itu, kalau kita berbicara tentang politik mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang kekuasaan. Sebuah sistem politik hanya efektif kalau ada kekuasaan yang mengaturnya. Maksudnya, hukum dan aturan-aturan yang mengatur sistem politik itu hanya akan efektif kalau ada kekuasaan yang memaksa angggota-anggotanya  untuk taat pada hukum dan aturan-aturan itu. Kekuasaan di sini tidak dapat dipahami dalam kategori dominasi, karena hal itu didasarkan pada persetujuan bebas para warganya.

Dalam karyanya “Was ist Politik?”, Hannah Arendt meringkas teori politiknya dengan rumusan yang sangat padat: “Sang Manusia itu a-politis. Politik berlangsung di antara manusia-manusia, maka politik berada di luar manusia. Karena itu tak ada substansi politis.”[2] Budi Hardiman menggambarkan tesis ini sebagai jantung hati pemikiran filosofis Hannah Arendt, sebuah metafisika politik yang direnungkan dari perspektif korban brutalisme rezim totaliter Jerman.[3]

Jejak pemikiran politik Hannah Arendt di atas dapat ditemukan dalam filsafat politik zaman antik, yakni dalam teori politik Aristoteles. Aristoteles memahami manusia sebagai hewan politis (political animal atau zoon politicion). Sebagai hewan politis, secara alamiah manusia terdorong untuk hidup bersama yang lain dalam suatu polis. Kota (polis) termasuk pada kelompok benda yang berada secara alamiah.[4] Polis atau asosiasi politis, adalah puncak: ia mewujudkan dan memenuhi hakikat manusia. Dengan demikian polis alamiah bagi manusia, dan manusia sendiri secara alamiah adalah seorang manusia polis. Polis itu mendahuluinya, dalam arti, polis adalah pra-andaian kehidupan yang benar dan komplet.[5]

Sebelum masuk pada asosiasi politis, asosiasi pertama yang dilembagakan secara alamiah demi kebutuhn sehari-hari yang berulang adalah keluarga. Sebuah keluarga atau rumah tangga (oikos) yang lengkap terdiri dari para budak dan orang bebas. Unsur-unsur rumah tangga yang utama dan paling sederhana adalah hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, orangtua dan anak.[6] Relasi yang berlaku antara unsur-unsur ini adalah relasi menguasai dan dikuasi. Selain itu, rumah tangga adalah lingkup keniscayaan: relasi antara laki-laki dan perempuan terjalin untuk pembiakan dan hubungan tuan dan budak untuk pertahanan hidup.[7]

Bentuk asosiasi berikutnya yang merupakan kumpulan rumah tangga yang jumlahnya lebih dari satu ialah desa. Tujuan dari desa ialah untuk memenuhi sesuatu yang lebih dari pada sekadar kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Bentuk desa yang paling alamiah adalah perkampungan. Sebagai cabang dari rumah tangga, ia juga diperintah berdasarkan kekerabatan di kalangan para anggotanya. Homer melukiskan ini demikian: ‘Masing-masing dari mereka memerintah atas anak dan istrinya’.[8]

Asosiasi terakhir yang paling sempurna yang terbentuk dari sejumlah desa ialah kota (polis). Asosiasi ini telah mencapai puncak swasembada penuh. Tujuan dari asosiasi ini ialah demi kehidupan yang baik.[9] Kota ini termasuk suatu yang juga ada secara alamiah karena manusia secara alamiah adalah hewan politis. Manusia adalah makhluk politis pertama-tama karena ia memiliki kemampuan berbahasa. Manusia dalam kategori ini derajatnya lebih tinggi dari pada lebah atau hewan-hewan lainnya yang suka berkelompok. Bahasa membantu manusia untuk menyatakan apa yang menguntungkan dan apa yang tidak menguntungkan, apa yang baik dan apa yang buruk, serta apa yang adil dan apa yang tidak adil.[10]

Hannah Arendt membangun teori politiknya dengan berpijak pada pandangan Aristoteles di atas. Untuk membuktikan bahwa pijakan teori politik Arendt itu berasal dari filsafat politik Aristoteles, pertama-tama ia menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pandangan Aristoteles yang melihat manusia sebagai hewan politis. Menurut Hannah Arendt, sang manusia itu apolitis. Tidak ada esensi politis dalam diri manusia. Sebab politik itu baru terbentuk ketika manusia-manusia menjalin komunikasi satu sama lain. Itu berarti yang politis itu manusia plural, bukan manusia tunggal. Maka, menurut Arendt, Pandangan Aristoteles yang melihat manusia sebagai hewan politis itu menyimpan potensi konflik karena ia justru membangun kesatuan konseptual dan melenyapkan pluralisme empiris.

Sebagai sebuah komunitas yang terbentuk lewat komunikasi satu sama lain, politik menurut Arendt tidak bisa direduksi ke dalam oikos. Oikos adalah lingkup keniscayaan, karena dalam rumah tangga manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan biologis dan mempertahankan keturunan.[11] Pola relasi yang dibangun dalam oikos adalah pola relasi dominasi, menguasai dan dikuasai. Sedangkan politik sebagai komunikasi merupakan lingkungan di mana manusia bebas berbicara, bertindak, dan berkarya. Dalam bahasa modern, rumah tangga (oikos) lebih tepat dikategorikan sebagai ranah privat, sedangkan politik dikategorikan sebagai ruang publik. Sebagai ruang publik, politik merupakan sfer pluralitas, kebebasan, dan kesamaan.[12] 

Dengan distingsi antara ruang privat (oikos) dan ruang publik (politik) di atas, bagaimana persisnya Arendt mengidentifikasi realitas politik zaman modern? Menurut Arendt, dalam dunia modern, pandangan politik sebagai lingkungan di mana orang bebas bertindak, secara umum sudah tidak lagi ditemukan karena lingkungan sosial (atau yang setara dengan oikos) sudah mendominasi kehidupan politik. Bagi Arendt, ini setara dengan banalisasi politik. Dengan demikian, bangkitnya totalitarianisme bagi Arendt bukanlah suatu kebetulan.[13]

Dari distingsi antara ruang publik dan ruang privat yang bertolak dari tradisi antik di atas, kita beralih kepada pemikiran Arendt tentang distingsi antara yang politis dan yang non-politis. Bagi Arendt, yang politis adalah lingkup kebebasan. Hal itu dimungkinkan oleh pemakaian bahasa dan tindakan manusia. Dalam ranah politis, segala persoalan diatur dengan sarana kata-kata yang meyakinkan dan tidak dengan kekarasan dan paksaan. Memaksa yang lain dengan kekerasan, memerintah dan bukanya dengan meyakinkan, oleh orang Yunani dianggap sebagai cara pergaulan pra-politis yang dapat ditemukan dalam lingkup oikos. Sedangkan yang non-politis adalah lingkup keniscayaan dan hubungan-hubungan ekonomis, yakni antara tuan dan budak dan lelaki dengan perempuan di dalam oikos, serta hubungan kepala suku dengan anggota suku, tiran-massa di luar institusi hukum polis. Jadi, politik dipahami dalam kategori kebebasan, sedangkan kategori penguasaan dimengerti sebagai antipolitik.[14]

Kalau politik itu dipahami sebagai lingkup kebebasan dan bukan lingkup penguasaan dan bahwa politik itu berada di ruang antara manusia-manusia yang tercipta saat manusia-manusia berkomunksi satu sama lain, bagaimana Arendt memahami kekuasaan dalam politik. Apakah kekuasaan itu dipahami sebagai kata yang lentur dan elastis seperti karet sehingga bisa ditarik ke sana ke mari? 

Arendt tidak memahami kekuasaan dalam arti yang umum sebagai kemampuan dari orang-orang yang kuat untuk memaksakan kehendaknya kepada orang-orang yang lemah. Arendt justru memahami kekuasaan sebagai konsep yang netral. Ia tidak dimiliki oleh siapa pun. Sebagaimana politik itu terjadi di antara manusia-manusia, maka kekuasaan juga berada di antara manusia-manusia. Kekuasaan itu muncul ketika para warga negara bertindak bersama dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi persoalan-persoalan bersama. Dalam alur pemikiran  ini, kekuasaan dengan sendirinya akan lenyap kalau para warga negara sudah mulai tidak peduli dengan persoalan-persoalan bersama.

Dalam Between Past and Future (1961), Arendt secara implisit menunjukkan bahwa kekuasaan mesti dipahami sebagai jalinan relasi antara warga negara dalam suasana komunikatif. Di sini kekuasaan (politis) tidak dimengerti sebagai sebuah kategori dominasi. Segala bentuk pemaksaan eksternal dengan sendirinya menghilangkan kekuasaan itu sendiri. Arendt menulis, “Karena otoritas biasanya menuntut ketaatan, itu sering disalahartikan sebagai bentuk kekuasaan atau kekerasan. Namun, otoritas menghalangi penggunaan alat-alat pemaksaan eksternal; di mana kekuatan digunakan, otoritas itu sendiri telah gagal.”[15] Jadi, menurut Arendt kekuasaan itu legitim kalau ia lahir dari pengakuan bebas para warga dan tidak dipaksakan dari luar.

Kekuasaan yang dipahami oleh Arendt tidak seperti yang dipahami oleh Max Weber, yaitu sebagai “setiap peluang untuk memaksakan kehendak sendiri dalam sebuah hubungan sosial juga kalau kehendak itu ditentang.” Konsep ini dalam pemikiran Arendt berlaku dalam hubungan tuan-budak dalam oikos. Arendt sebaliknya memahami kekuasaan sebagai solidaritas politis para warganegara.[16] Kekuasaan ini terjadi di mana saja manusia-manusia berbicara dan bertindak dalam kesalingan. Kekuasaan itu akan berakhir ketika solidaritas dan komunitas terkoyak-koyak oleh kerakusan individu maupun oleh egoisme kelompok.[17]

III.   Politik dan Kekuasaan dalam Rezim Orde Baru

Bagian ini tidak bermaksud menjelaskan secara terperinci sepak terjang politik dan kekuasaan selama Orde Baru di Indonesia. Fokus ulasan di sini berkisar pada pertanyaan apakah rezim Orde Baru layak disebut sebagai rezim politik? Ataukah rezim ini lebih pantas disebut rezim antipolitik?  Apakah Soeharto, diktator Orde Baru pantas disebut “memiliki kekuasaan”? Atau sebaliknya ia lebih cocok disebut memiliki kesewenangan yang tak jauh berbeda dari para bandit?

3.1 Rezim Antipolitik

Kalau politik dipahami sebagai komunikasi, sfer pluralitas, dan kebebasan, Orde Baru jelas bukan rezim politik. Orde Baru lebih tepatnya disebut rezim antipolitik. Soeharto memaksakan kehendaknya kepada seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia harus tunduk di bawah kepatuhan total tanpa syarat. Di sini, kebebasan bersuara dan hak untuk berpikir lain dari masyarakat dipasung. Mereka dikurung dalam suatu rezim yang monolitis. Apa yang diperintahkan Soeharto harus dipatuhi. Siapa yang melawan perintah Soeharto dicap sebagai pembangkang dan karena itu harus dibasmi. Bahkan, media-media yang menjadi simbol kebebasan berpikir juga dipasung. Media-media yang mengkritik pemerintah dibreidel. Di sini kebebasan memang benar-benar dipenjarakan. Ruang dialog tertutup rapat. Jalinan komunikasi yang setara dan bebas represi ditutup. 

Orde Baru menjadi simbol penghianatan luar biasa terhadap politik. Politik disulap menjadi instrumen untuk memaksakan kehendak individual (Soeharto) kepada semua orang. Pola relasi semacam ini meniadakan makna politik sebagai sfer pluralitas, kebebasan, dan kesetaraan. Ia lebih tepat menggambarkan  pola relasi dalam oikos dalam pemahaman Aristoteles.  

Kalau dikatakan bahwa Orde Baru adalah rezim antipolitik dan sebagai simbol penghianatan terhadap politik, itu tidak berarti bahwa politik benar-benar hilang selama masa ini. Bertolak dari pandangan Hannah Arendt tentang politik sebagai komunikasi, politik pada masa Orde Baru sebenarnya masih tetap berlangsung di antara para warga. Para warga negara pada masa ini masih tetap menjalin komunikasi satu sama lain dalam suasana yang bebas dan setara. Mereka secara bersama membicarakan persoalan negara yang menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia. Hal itu kemudian terjelma dalam gerakan bersama tahun 1998 yang meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru.

3.2 Rezim Tanpa Kekuasaan

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, Hannah Arendt memahami kekuasaan sebagai jalinan relasi antara warga negara dalam suasana komunikatif. Di sini kekuasaan (politis) tidak dimengerti sebagai sebuah kategori dominasi. Segala bentuk pemaksaan  dari luar dengan sendirinya menghilangkan kekuasaan itu sendiri. Seperti dikatakan Arendt sendiri, “Otoritas menghalangi penggunaan alat-alat pemaksaan eksternal; di mana kekuatan digunakan, otoritas itu sendiri telah gagal”[18]. Di sini Arendt mau menunjukkan bahwa otoritas itu legitim ketika seorang taat pada perintah tanpa harus ditodong dengan pistol.[19] Jika demikian, Soeharto sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Kekuasaan Soeharto itu semu.

Rezim Soeharto dapat disebut rezim tanpa kekuasaan. Ungkapan ini tentu provokatif. Sebab nyatanya, Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Bahkan dalam rentang waktu itu ia sendiri berhasil memaksakan kehendaknya kepada seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, problemnya justru terletak di sini. Dengan menggunakan paksaan dan kekerasan, kekuasaan Soeharto kehilangan legitimasinya. Kekuasaan akhirnya berubah menjadi kesewenangan. Dalam situasi seperti ini orang patuh dan taat pada perintah bukan karena mereka mau patuh dan taat, tetapi lebih karena takut akan bahaya yang mengancam nyawanya jika ia memberontak. Dalam konteks ini, kekuasaan kehilangan nilai dan legitimasinya.

IV.   Penutup

Hannah Arendt memberikan satu alternatif baru dalam memahami politik. Politik dipahami sebagai komunikasi. Politik sebagai komunikasi berada di luar manusia. Ia baru terbentuk ketika manusia-manusia menjalin komunikasi satu sama lain dalam suasana yang bebas dan setara. Dengan demikian, tidak ada yang disebut manusia politis. Manusia sebagai subjek tunggal itu apolitis. Yang politis adalah manusia-manusia. Masih dalam alur pemahaman ini, otoritas politik itu sah sejauh ada pengakuan bebas dari para warga negara. Maka, setiap bentuk penggunaan kekerasan dan paksaan dengan sendirinya menghilangkan legitimasi kekuasaan politik.

Berdasarkan pemahaman di atas, rezim otoriter Orde Baru dapat dinilai sebagai rezim antipolitik. Rezim ini bahkan dapat dilihat sebagai simbol penghianatan luar biasa terhadap politik. Rezim ini juga dapat disebut sebagai rezim tanpa kekuasaan. Penggunaan kekerasan dan paksaan oleh Soeharto pada masa ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah telah kehilangan otoritasnya yang sah. Kekuasaan pemerintah telah berubah menjadi kesewenangan.

Daftar Pustaka

Arendt, Hannah. Between Past and Future. New York: The Vicking Press, 1961.
Aristoteles. Politik. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2017.
Budi Hardiman, F. Massa, Teror, dan Trauma – Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Maumere: Penerbit Ledalero dan Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2010.
Gusti Madung, Otto. Filsafat PolitikNegara dalam Bentangan Diskursus Filosofis.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2013.
                               . “Modernitas dan Kekerasan”. Prolog dalam Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Koten, Yosef Keladu. Etika Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Lechte, John. 50 Filsfuf Kontemporer – Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas. Terj. A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.






[1] Otto Gusti Madung, Filsafat PolitikNegara dalam Bentangan Diskursus Filosofis (Maumere: Penerbit Ledalero, 2013), hlm. 7.
[2] F. Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma – Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita (Maumere: Penerbit Ledalero dan Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2010), hlm. 23., dikutip dari Hannah Arendt, Was ist Politik? (München: Piper, 1993), hlm. 11.
[3] Ibid., hlm. 23-24.
[4] Aristoteles, Politik, buku I, bab II, 1253a2, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2017), hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Ibid., hlm. 8.
[7] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 27.
[8] Aristoteles, op.cit., hlm. 4-5.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 6.
[11] Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 41.
[12] Ibid.
[13] John Lechte, 50 Filsfuf Kontemporer – Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 281.

[14] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 30-31.
[15] Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: The Vicking Press, 1961), hlm. 92-93.
[16] Budi Hardiman, op. cit., hlm. 34-35.
[17] Ibid.
[18] Hannah Arendt, loc. cit.
[19] Otto Gusti Madung, “Modernitas dan Kekerasan”, prolog dalam Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. xxx.

Politik, Kekuasaan, dan Orde Baru (Tinjauan dari Perspektif Teori Politik Hannah Arendt) Politik, Kekuasaan, dan Orde Baru (Tinjauan dari Perspektif Teori Politik Hannah Arendt) Reviewed by insancerdaspolitik on March 04, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.