Ferdinandus Jehalut
Daftar Pustaka
Karikatur: e-Jurnal UNP |
I. Pengantar
Di antara sekian banyak
pemikir politik abad ke-20, Hannah Arendt adalah salah satu pemikir yang
merefleksikan arti dan makna kata politik secara mendalam. Dilatari peristiwa
pembantaian massal jutaan orang Yahudi di bawah rezim totaliter Jerman,
peristiwa perang dunia pertama dan kedua, stalinisme di Rusia dan kenyataan
pluralitas masyarakat modern, Hannah Arendt berusaha membangun sebuah teori
politik yang humanis dan anti-barbarisme. Politik dipahaminya sebagai
komunikasi. Politik sebagai komunikasi itu berada di antara manusia-manusia.
Politik berada di luar manusia. Meskipun demikian, politik tidak
melayang-layang di ruang hampa, sebab ia baru terbentuk ketika manusia-manusia
menjalin komunikasi satu sama lain. Komunikasi yang dimaksudkan Arendt adalah
komunikasi dalam kategori kebebasan dan bukan dalam kategori dominasi. Di sana
manusia-manusia dapat berkomunikasi dan mengekspresikan dirinya secara bebas
tanpa harus tunduk di bawah kepatuhan mutlak tanpa syarat terhadap sebuah
otoritas.
Teori politik Hannah
Arendt ini dapat ditemukan titik tolaknya pada teori politik zaman antik, yakni
dalam teori politik Aristoteles. Aristoteles memahami politik (polis atau asosiasi politis) sebagai sesuatu
yang alamiah dan sebagai sebuah pra-andaian dari kehidupan yang benar dan
komplet, dalam arti bahwa keberadaan polis
itu mendahului individu-individu. Hannah Arendt sebaliknya justru memahami
politik sebagai ruang yang diciptakan oleh manusia-manusia dan karena itu
manusia-manusia atau individu-individu itu mesti ada lebih dahulu dari pada polis. Alasannya, bagi Arendt tidak ada
yang disebut manusia politis. Manusia tunggal adalah apolitis.
Jika politik itu dipahami
sebagai komunikasi di antara manusia-manusia, bagaimana kita memahami politik
dan kekuasaan dalam rezim otoriter seperti Orde Baru? Bukankah tindakan represif
di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru merupakan sebuah tindakan politik yang
dilegitimasi oleh otoritas yang dimiliki oleh sang pemimpin?
Tulisan ini berikhtiar menjawab pertanyaan di atas. Di
sini penulis akan menganalisis sistem kekuasaan dan politik Orde Baru dari
perspektif pemikiran politik Hannah Arendt. Namun, sebelum sampai pada ulasan
itu, mesti dipahami lebih dahulu karakter pemikiran politik Hannah Arendt.
Bagaimana Arendt memahami politik dan kekuasaan?
Sebelum masuk pada ulasan tentang politik dan kekuasaan dalam pandangan
Hannah Arendt, terlebih dahulu kita mesti memahami arti negara. Dalam filsafat
politik, negara umumnya dipahami sebagai sebuah organisasi kekuasaan yang
legitim. Sedangkan kumpulan para penjahat yang memiliki kekuasaan dan mendiami
wilayah tertentu tidak dapat disebut negara karena kekuasaannya tidak legitim.[1]
Legitimasi kekuasaan negara terletak dalam adanya pengakuan bebas dari para
warganya dan dalam cirinya yang berorientasi pada keadilan dan kebaikan semua
anggotanya. Meskipun kekuasaan para perampok diakui oleh semua anggotanya dan
hasil rampokan mereka digunakan untuk kesejahteraan semua anggotanya, itu tetap
tidak dapat dikatakan negara. Sebab, pengakuan itu tidak didasarkan atas
keputusan bebas para anggotanya dan bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak bisa
diperoleh dengan cara mencaplok harta milik orang lain dengan cara pemaksaan.
Lagi pula sebuah komunitas baru disebut sebagai negara kalau ada pengakuan
resmi baik secara de facto maupun
secara de jure.
Pembicaraan tentang negara
tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang politik. Sebab negara pada
dasarnya merupakan sebuah sistem politik. Sementara itu, kalau kita berbicara
tentang politik mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang kekuasaan.
Sebuah sistem politik hanya efektif kalau ada kekuasaan yang mengaturnya.
Maksudnya, hukum dan aturan-aturan yang mengatur sistem politik itu hanya akan
efektif kalau ada kekuasaan yang memaksa angggota-anggotanya untuk taat pada hukum dan aturan-aturan itu.
Kekuasaan di sini tidak dapat dipahami dalam kategori dominasi, karena hal itu
didasarkan pada persetujuan bebas para warganya.
Dalam karyanya “Was
ist Politik?”, Hannah Arendt meringkas teori politiknya dengan rumusan yang
sangat padat: “Sang Manusia itu
a-politis. Politik berlangsung di antara manusia-manusia, maka politik berada di luar manusia. Karena itu tak ada
substansi politis.”[2] Budi Hardiman
menggambarkan tesis ini sebagai jantung hati pemikiran filosofis Hannah Arendt,
sebuah metafisika politik yang direnungkan dari perspektif korban brutalisme
rezim totaliter Jerman.[3]
Jejak pemikiran politik Hannah Arendt di atas dapat
ditemukan dalam filsafat politik zaman antik, yakni dalam teori politik
Aristoteles. Aristoteles memahami manusia sebagai hewan politis (political animal atau zoon politicion). Sebagai hewan politis,
secara alamiah manusia terdorong untuk hidup bersama yang lain dalam suatu polis.
Kota (polis) termasuk pada kelompok
benda yang berada secara alamiah.[4] Polis atau asosiasi politis, adalah
puncak: ia mewujudkan dan memenuhi hakikat manusia. Dengan demikian polis
alamiah bagi manusia, dan manusia sendiri secara alamiah adalah seorang manusia
polis. Polis itu mendahuluinya, dalam arti, polis adalah pra-andaian kehidupan yang benar dan komplet.[5]
Sebelum masuk pada asosiasi politis, asosiasi
pertama yang dilembagakan secara alamiah demi kebutuhn sehari-hari yang
berulang adalah keluarga. Sebuah keluarga atau rumah tangga (oikos) yang lengkap terdiri dari para
budak dan orang bebas. Unsur-unsur rumah tangga yang utama dan paling sederhana
adalah hubungan antara tuan dan budak, suami dan istri, orangtua dan anak.[6]
Relasi yang berlaku antara unsur-unsur ini adalah relasi menguasai dan dikuasi.
Selain itu, rumah tangga adalah lingkup keniscayaan: relasi antara laki-laki
dan perempuan terjalin untuk pembiakan dan hubungan tuan dan budak untuk
pertahanan hidup.[7]
Bentuk asosiasi berikutnya
yang merupakan kumpulan rumah tangga yang jumlahnya lebih dari satu ialah desa.
Tujuan dari desa ialah untuk memenuhi sesuatu yang lebih dari pada sekadar
kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Bentuk desa yang paling alamiah adalah
perkampungan. Sebagai cabang dari rumah tangga, ia juga diperintah berdasarkan
kekerabatan di kalangan para anggotanya. Homer melukiskan ini demikian:
‘Masing-masing dari mereka memerintah atas anak dan istrinya’.[8]
Asosiasi terakhir yang
paling sempurna yang terbentuk dari sejumlah desa ialah kota (polis). Asosiasi ini telah mencapai
puncak swasembada penuh. Tujuan dari asosiasi ini ialah demi kehidupan yang
baik.[9]
Kota ini termasuk suatu yang juga ada secara alamiah karena manusia secara
alamiah adalah hewan politis. Manusia adalah makhluk politis pertama-tama
karena ia memiliki kemampuan berbahasa. Manusia dalam kategori ini derajatnya
lebih tinggi dari pada lebah atau hewan-hewan lainnya yang suka berkelompok.
Bahasa membantu manusia untuk menyatakan apa yang menguntungkan dan apa yang
tidak menguntungkan, apa yang baik dan apa yang buruk, serta apa yang adil dan
apa yang tidak adil.[10]
Hannah Arendt membangun
teori politiknya dengan berpijak pada pandangan Aristoteles di atas. Untuk
membuktikan bahwa pijakan teori politik Arendt itu berasal dari filsafat
politik Aristoteles, pertama-tama ia menunjukkan ketidaksetujuannya dengan
pandangan Aristoteles yang melihat manusia sebagai hewan politis. Menurut
Hannah Arendt, sang manusia itu apolitis. Tidak ada esensi politis dalam diri
manusia. Sebab politik itu baru terbentuk ketika manusia-manusia menjalin
komunikasi satu sama lain. Itu berarti yang politis itu manusia plural, bukan
manusia tunggal. Maka, menurut Arendt, Pandangan Aristoteles yang melihat
manusia sebagai hewan politis itu menyimpan potensi konflik karena ia justru
membangun kesatuan konseptual dan melenyapkan pluralisme empiris.
Sebagai sebuah komunitas
yang terbentuk lewat komunikasi satu sama lain, politik menurut Arendt tidak
bisa direduksi ke dalam oikos. Oikos adalah lingkup keniscayaan, karena
dalam rumah tangga manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan biologis dan
mempertahankan keturunan.[11]
Pola relasi yang dibangun dalam oikos adalah
pola relasi dominasi, menguasai dan dikuasai. Sedangkan politik sebagai
komunikasi merupakan lingkungan di mana manusia bebas berbicara, bertindak, dan
berkarya. Dalam bahasa modern, rumah tangga (oikos) lebih tepat dikategorikan sebagai ranah privat, sedangkan
politik dikategorikan sebagai ruang publik. Sebagai ruang publik, politik
merupakan sfer pluralitas, kebebasan, dan kesamaan.[12]
Dengan distingsi antara
ruang privat (oikos) dan ruang publik
(politik) di atas, bagaimana persisnya Arendt mengidentifikasi realitas politik
zaman modern? Menurut Arendt, dalam dunia modern, pandangan politik sebagai
lingkungan di mana orang bebas bertindak, secara umum sudah tidak lagi ditemukan
karena lingkungan sosial (atau yang setara dengan oikos) sudah mendominasi kehidupan politik. Bagi Arendt, ini setara
dengan banalisasi politik. Dengan demikian, bangkitnya totalitarianisme bagi
Arendt bukanlah suatu kebetulan.[13]
Dari distingsi antara
ruang publik dan ruang privat yang bertolak dari tradisi antik di atas, kita
beralih kepada pemikiran Arendt tentang distingsi antara yang politis dan yang
non-politis. Bagi Arendt, yang politis adalah lingkup kebebasan. Hal itu
dimungkinkan oleh pemakaian bahasa dan tindakan manusia. Dalam ranah politis,
segala persoalan diatur dengan sarana kata-kata yang meyakinkan dan tidak
dengan kekarasan dan paksaan. Memaksa yang lain dengan kekerasan, memerintah
dan bukanya dengan meyakinkan, oleh orang Yunani dianggap sebagai cara
pergaulan pra-politis yang dapat ditemukan dalam lingkup oikos. Sedangkan yang non-politis adalah lingkup keniscayaan dan
hubungan-hubungan ekonomis, yakni antara tuan dan budak dan lelaki dengan
perempuan di dalam oikos, serta hubungan
kepala suku dengan anggota suku, tiran-massa di luar institusi hukum polis. Jadi, politik dipahami dalam
kategori kebebasan, sedangkan kategori penguasaan dimengerti sebagai
antipolitik.[14]
Kalau politik itu dipahami
sebagai lingkup kebebasan dan bukan lingkup penguasaan dan bahwa politik itu
berada di ruang antara manusia-manusia yang tercipta saat manusia-manusia
berkomunksi satu sama lain, bagaimana Arendt memahami kekuasaan dalam politik. Apakah
kekuasaan itu dipahami sebagai kata yang lentur dan elastis seperti karet
sehingga bisa ditarik ke sana ke mari?
Arendt tidak memahami kekuasaan dalam arti yang umum
sebagai kemampuan dari orang-orang yang kuat untuk memaksakan kehendaknya
kepada orang-orang yang lemah. Arendt justru memahami kekuasaan sebagai konsep
yang netral. Ia tidak dimiliki oleh siapa pun. Sebagaimana politik itu terjadi
di antara manusia-manusia, maka kekuasaan juga berada di antara
manusia-manusia. Kekuasaan itu muncul ketika para warga negara bertindak
bersama dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi persoalan-persoalan bersama.
Dalam alur pemikiran ini, kekuasaan
dengan sendirinya akan lenyap kalau para warga negara sudah mulai tidak peduli
dengan persoalan-persoalan bersama.
Dalam Between Past
and Future (1961), Arendt secara implisit menunjukkan bahwa kekuasaan mesti dipahami sebagai jalinan relasi
antara warga negara dalam suasana komunikatif. Di sini kekuasaan (politis) tidak
dimengerti sebagai sebuah kategori dominasi. Segala bentuk pemaksaan eksternal
dengan sendirinya menghilangkan kekuasaan itu sendiri. Arendt menulis, “Karena
otoritas biasanya menuntut ketaatan, itu sering disalahartikan sebagai bentuk
kekuasaan atau kekerasan. Namun, otoritas menghalangi penggunaan alat-alat
pemaksaan eksternal; di mana kekuatan digunakan, otoritas itu sendiri telah
gagal.”[15] Jadi,
menurut Arendt kekuasaan itu legitim kalau ia lahir dari pengakuan bebas para
warga dan tidak dipaksakan dari luar.
Kekuasaan yang dipahami oleh Arendt tidak seperti yang
dipahami oleh Max Weber, yaitu sebagai “setiap peluang untuk memaksakan
kehendak sendiri dalam sebuah hubungan sosial juga kalau kehendak itu
ditentang.” Konsep ini dalam pemikiran Arendt berlaku dalam hubungan tuan-budak
dalam oikos. Arendt sebaliknya
memahami kekuasaan sebagai solidaritas politis para warganegara.[16]
Kekuasaan ini terjadi di mana saja manusia-manusia berbicara dan bertindak
dalam kesalingan. Kekuasaan itu akan berakhir ketika solidaritas dan komunitas
terkoyak-koyak oleh kerakusan individu maupun oleh egoisme kelompok.[17]
III.
Politik dan Kekuasaan dalam
Rezim Orde Baru
Bagian ini tidak bermaksud
menjelaskan secara terperinci sepak terjang politik dan kekuasaan selama Orde
Baru di Indonesia. Fokus ulasan di sini berkisar pada pertanyaan apakah rezim
Orde Baru layak disebut sebagai rezim politik? Ataukah rezim ini lebih pantas
disebut rezim antipolitik? Apakah Soeharto,
diktator Orde Baru pantas disebut “memiliki kekuasaan”? Atau sebaliknya ia
lebih cocok disebut memiliki kesewenangan yang tak jauh berbeda dari para
bandit?
3.1 Rezim Antipolitik
Kalau politik dipahami sebagai komunikasi, sfer
pluralitas, dan kebebasan, Orde Baru jelas bukan rezim politik. Orde Baru lebih
tepatnya disebut rezim antipolitik. Soeharto memaksakan kehendaknya kepada
seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia harus tunduk di bawah
kepatuhan total tanpa syarat. Di sini, kebebasan bersuara dan hak untuk
berpikir lain dari masyarakat dipasung. Mereka dikurung dalam suatu rezim yang
monolitis. Apa yang diperintahkan Soeharto harus dipatuhi. Siapa yang melawan
perintah Soeharto dicap sebagai pembangkang dan karena itu harus dibasmi.
Bahkan, media-media yang menjadi simbol kebebasan berpikir juga dipasung.
Media-media yang mengkritik pemerintah dibreidel. Di sini kebebasan memang
benar-benar dipenjarakan. Ruang dialog tertutup rapat. Jalinan komunikasi yang
setara dan bebas represi ditutup.
Orde Baru menjadi simbol penghianatan luar biasa terhadap
politik. Politik disulap menjadi instrumen untuk memaksakan kehendak individual
(Soeharto) kepada semua orang. Pola relasi semacam ini meniadakan makna politik
sebagai sfer pluralitas, kebebasan, dan kesetaraan. Ia lebih tepat
menggambarkan pola relasi dalam oikos dalam pemahaman Aristoteles.
Kalau
dikatakan bahwa Orde Baru adalah rezim antipolitik dan sebagai simbol
penghianatan terhadap politik, itu tidak berarti bahwa politik benar-benar
hilang selama masa ini. Bertolak dari pandangan Hannah Arendt tentang politik
sebagai komunikasi, politik pada masa Orde Baru sebenarnya masih tetap
berlangsung di antara para warga. Para warga negara pada masa ini masih tetap
menjalin komunikasi satu sama lain dalam suasana yang bebas dan setara. Mereka
secara bersama membicarakan persoalan negara yang menentukan nasib seluruh
rakyat Indonesia. Hal itu kemudian terjelma dalam gerakan bersama tahun 1998
yang meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru.
3.2 Rezim Tanpa Kekuasaan
Sebagaimana telah diulas
sebelumnya, Hannah Arendt memahami kekuasaan sebagai jalinan relasi antara
warga negara dalam suasana komunikatif. Di sini kekuasaan (politis) tidak
dimengerti sebagai sebuah kategori dominasi. Segala bentuk pemaksaan dari luar dengan sendirinya menghilangkan
kekuasaan itu sendiri. Seperti dikatakan Arendt sendiri, “Otoritas menghalangi
penggunaan alat-alat pemaksaan eksternal; di mana kekuatan digunakan, otoritas
itu sendiri telah gagal”[18].
Di sini Arendt mau menunjukkan bahwa otoritas itu legitim ketika seorang taat
pada perintah tanpa harus ditodong dengan pistol.[19]
Jika demikian, Soeharto sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Kekuasaan
Soeharto itu semu.
Rezim Soeharto dapat disebut rezim tanpa
kekuasaan. Ungkapan ini tentu provokatif. Sebab nyatanya, Soeharto berkuasa
selama 32 tahun. Bahkan dalam rentang waktu itu ia sendiri berhasil memaksakan
kehendaknya kepada seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, problemnya justru
terletak di sini. Dengan menggunakan paksaan dan kekerasan, kekuasaan Soeharto
kehilangan legitimasinya. Kekuasaan akhirnya berubah menjadi kesewenangan.
Dalam situasi seperti ini orang patuh dan taat pada perintah bukan karena
mereka mau patuh dan taat, tetapi lebih karena takut akan bahaya yang mengancam
nyawanya jika ia memberontak. Dalam konteks ini, kekuasaan kehilangan nilai dan
legitimasinya.
IV.
Penutup
Hannah Arendt memberikan
satu alternatif baru dalam memahami politik. Politik dipahami sebagai komunikasi.
Politik sebagai komunikasi berada di luar manusia. Ia baru terbentuk ketika
manusia-manusia menjalin komunikasi satu sama lain dalam suasana yang bebas dan
setara. Dengan demikian, tidak ada yang disebut manusia politis. Manusia
sebagai subjek tunggal itu apolitis. Yang politis adalah manusia-manusia. Masih
dalam alur pemahaman ini, otoritas politik itu sah sejauh ada pengakuan bebas
dari para warga negara. Maka, setiap bentuk penggunaan kekerasan dan paksaan
dengan sendirinya menghilangkan legitimasi kekuasaan politik.
Berdasarkan
pemahaman di atas, rezim otoriter Orde Baru dapat dinilai sebagai rezim
antipolitik. Rezim ini bahkan dapat dilihat sebagai simbol penghianatan luar
biasa terhadap politik. Rezim ini juga dapat disebut sebagai rezim tanpa
kekuasaan. Penggunaan kekerasan dan paksaan oleh Soeharto pada masa ini menjadi
bukti nyata bahwa pemerintah telah kehilangan otoritasnya yang sah. Kekuasaan
pemerintah telah berubah menjadi kesewenangan.
Daftar Pustaka
Arendt, Hannah. Between
Past and Future. New York: The Vicking Press, 1961.
Aristoteles. Politik.
Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2017.
Budi Hardiman, F. Massa,
Teror, dan Trauma – Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Maumere:
Penerbit Ledalero dan Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2010.
Gusti Madung,
Otto. Filsafat Politik – Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2013.
. “Modernitas dan Kekerasan”. Prolog dalam Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Koten, Yosef Keladu. Etika
Keduniawian – Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2018.
Lechte, John. 50
Filsfuf Kontemporer – Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas. Terj. A.
Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
[1] Otto Gusti
Madung, Filsafat Politik – Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2013), hlm. 7.
[2] F. Budi
Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma –
Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita (Maumere: Penerbit Ledalero dan Yogyakarta:
Penerbit Lamalera, 2010), hlm. 23., dikutip dari Hannah Arendt, Was ist Politik? (München: Piper, 1993),
hlm. 11.
[4] Aristoteles,
Politik, buku I, bab II, 1253a2,
terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2017), hlm. 5.
[11] Yosef Keladu
Koten, Etika Keduniawian – Karakter Etis
Pemikiran Politik Hannah Arendt (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm.
41.
[13] John Lechte,
50 Filsfuf Kontemporer – Dari
Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 281.
[19] Otto Gusti
Madung, “Modernitas dan Kekerasan”, prolog
dalam Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian
– Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2018), hlm. xxx.
Politik, Kekuasaan, dan Orde Baru (Tinjauan dari Perspektif Teori Politik Hannah Arendt)
Reviewed by insancerdaspolitik
on
March 04, 2019
Rating:
No comments: