OLIGARKI DAN
PARADOKS DEMOKRASI DI INDONESIA[1]
Ferdinandus Jehalut

Abstraksi:
Oligarki sedang mencengkram Indonesia. Dari lima preferensi demokrasi, pasar
menjadi preferensi yang paling dominan berkuasa di Indonesia. Ia membawahi
preferensi-preferensi lainnya seperti komunitas politis, ekonomi kooperatif,
kebangsaan, dan masyarakat warga. Kenyataan ini menunjukkan titik genting
demokrasi Indonesia. Ia menjadi signal bahwa demokrasi Indonesia telah dan
sedang dibajak oleh kaum oligark. Pertanyaannya ialah mengapa oligarki
bertumbuh subur di Indonesia? Sejumlah ahli mengatakan bahwa oligarki bertumbuh
subur di Indonesia bukan karena sistem demokrasi yang salah, melainkan karena
penegakan hukum yang lemah dan sistem politik masa lalu yang buruk. Akan
tetapi, penulis berargumentasi bahwa munculnya oligarki di Indonesia
pertama-tama merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang kita anut. Lemahnya
penegakan hukum dan buruknya sistem politik masa lalu hanya memberi daya tumbuh
bagi oligarki yang secara potensial sudah ada dalam demokasi itu sendiri. Sebab
demokrasi sejak semula mengandung sejumlah paradoks yang sulit diatasi.
Paradoks yang paling kentara ialah adanya penekanan pada kesetaraan di satu
sisi dan kebebasan di sisi lain. Kebebasan di sini niscaya akan menciptakan
ketidaksetaraan yang besar baik dalam distribusi kekayaan maupun distribusi
kekuasaan. Paradoks lain dari demokrasi ialah terletak pada sistem demokrasi
elektoral. Sistem ini selalu membutuhkan uang sebagai penggeraknya. Itu
berarti, sistem ini menciptakan peluang masuknya para oligark ke dalam pentas
politik dan menduduki kursi-kursi kekuasaan. Ketika mereka berhasil masuk dalam
kursi-kursi kekuasaan atau menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan, pada saat
yang sama demokrasi Indonesia dibajak oleh oligarki.
Kata-kata
kunci: oligarki,
demokrasi, distribusi kekuasaan dan kekayaan, pasar, dan masyarakat warga.
I.
Pengantar
Jika mengacu pada pandangan demokrasi modern, secara
substansial Indonesia sudah lama bukan lagi sebuah negara demokrasi. Demokrasi modern
dibangun di atas dasar dua tradisi yang berbeda. Di satu sisi, ada tradisi
liberal yang memberikan penekanan pada hak-hak asasi manusia, peraturan hukum,
dan penghormatan atas kebebasan individual. Di sisi lain, ada tradisi
demokratis yang ide utamanya adalah kesetaraan, identitas antara yang
memerintah dan diperintah, dan kedaulatan rakyat (popular sovereignty).[2]
Sementara di Indonesia, nilai-nilai itu belum cukup kuat menjiwai kehidupan sosial
dan politik. Demokrasi di Indonesia lebih banyak hanya berkutat pada ranah
prosedural. Padahal, demokrasi yang otentik mesti mencakup bukan hanya prosedur
semata, melainkan juga implikasi nilai-nilai substansial yang menjadi unsur
konstitutif dari demokrasi itu sendiri.
Untuk mengidentifikasi keberhasilan dan otentisitas
praktik demokrasi di suatu negara orang tidak cukup melihat suksesi
kepemimpinan lima tahunan yang tampak dalam pelaksanaan demokrasi elektoral. Lebih
dari itu, pertama-tama yang mesti dilihat adalah apakah masyarakat warga-nya
menjadi preferensi utama yang memegang kendali atas demokrasi. Kedua, apakah
warisan-warisan tradisi liberal dan demokratis sungguh-sungguh dihidupi dalam
kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Kalau dalam suatu negara masyarakat
warga tidak menjadi preferensi utama yang memegang kendali atas sistem politik,
sosial, dan ekonomi, maka negara itu jelas bukanlah negara demokrasi. Kalau
yang berkuasa adalah kaum aristokrat, negara itu disebut negara aristokrasi; kalau
yang berkuasa adalah perusahaan-perusahaan, negara itu disebut negara
korporatokrasi; kalau yang berkuasa adalah (segelintir) orang kaya, negara itu
disebut negara oligarki.
Untuk konteks Indonesia, sejumlah analis politik
mengklaim bahwa oligarki sebenarnya
sedang mencengkram sistem politik Indonesia saat ini. Hal ini ditandai dengan
menguatnya dominasi kekuasaan material dalam percaturan politik, jurang antara
orang kaya dan orang miskin semakin besar, lemahnya partisipasi rakyat dalam
mengontrol dan mengendalikan sistem politik, dan adanya kolonialisasi pasar dalam
sistem politik.
Bertolak dari kenyataan di atas, Jeffrey A. Winters
mengklaim bahwa teori paling baik yang bisa menangkap (fenomena) kekuasaan dan
politik konsentrasi kekayaan ekstrem
dalam ekonomi politik Indonesia adalah teori oligarki.[3] F.
Budi Hardiman juga, yang mengacu pada ulasan Michael Walzer tentang lima preferensi demokrasi
(komunitas politis, ekonomi kooperatif, pasar, kebangsaan, dan masyarakat
warga), mengklaim bahwa yang mengambil alih penentuan preferensi dalam
demokrasi di Indonesia adalah pasar. Subjeknya tidak lain adalah para oligark.[4]
Selain itu, Robison dan Vedi R. Hadiz menggambarkan bahwa demokrasi di
Indonesia saat ini mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran karena ia justru
dibajak oleh para elit mereka sendiri, yang mereka sebut sebagai elite predator.[5] Lebih
lanjut, Vedi Hadiz juga mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia dibajak oleh
oligarki sejak awal demokratisasi, karena ketika Orde Baru turun tidak ada
kekuatan-kekuatan progresif yang bisa menggantikannya. Kelompok elite lama yang
selama masa Orde Baru berkonspirasi dengan Soeharto hanya mengubah dirinya
menjadi demokrat dengan membuat partai-partai politik yang dulu membahas
integralisme Orde Baru tiba-tiba menjadi prodemokrasi.[6]
Pertanyaan lanjutan dari ulasan di atas ialah,
bagaimana oligarki itu bisa bertumbuh subur di Indonesia? Winters berargumen
bahwa makin berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia justru makin membuat
oligarki merajalela. Namun, hal itu bukan karena sistem demokrasi yang salah,
melainkan penegakan hukum yang lemah.[7] Menurut
Winters, sebagaimana dikutip oleh Hutomo Saputra, “Demokrasi yang sepenuhnya
dikangkangi oleh kaum oligark tidak memiliki insentif yang kuat untuk
ditegakkannya hukum yang independen dan bersifat membatasi kekuasaan mereka.”[8]
Sementara Vedi Hadiz berargumen bahwa oligarki di Indonesia dilanggengkan oleh
populisme Islam. Akan tetapi, demikian Hadiz, jauh sebelum populisme Islam itu menguat
di Indonesia, oligarki sudah lama ada di Indonesia.[9]
Berbeda
dengan Winters dan Hadiz, saya beragumentasi bahwa oligarki di Indonesia
pertama-tama muncul sebagai akibat langsung dari demokrasi yang kita anut.
Demokrasi dalam dirinya mengandung paradoks yang sulit teratasi. Ia adalah
satu-satunya sistem yang memungkinkan oligarki, tirani, timokrasi, dan
korporatokrasi berpenetrasi di dalamnya. Hal itu tidak berarti analisis
Winters, Hadiz, dan Robison tidak tepat dalam menggambarkan perkembangan
oligarki di Indonesia. Akan tetapi, point yang mau ditampilkan dalam tulisan
ini ialah bahwa benih oligarki sebenarnya secara potensial sudah ada dalam
demokrasi. Penegakan hukum yang lemah dan sistem politik masa lalu yang buruk
hanya memberikan daya tumbuh bagi oligarki yang benihnya sudah ada dalam
demokrasi itu sendiri. Selanjutnya, ketika oligarki bertumbuh subur, ia justru
menciptakan paradoks-paradoks baru dalam demokrasi yang membuat demokrasi
semakin jauh terperangkap dalam disorientasi. Paradoks yang paling kentara
ialah soal distribusi kekayaan dan kekuasaan. Dalam demokrasi, distribusi kedua
hal ini tersebar secara merata, sedangkan dalam oligarki, distribusi kedua hal
itu terpusat pada segelintir elite, baik elite ekonomi maupun elite politik.
II. Karakteristik
Oligarki
Terminologi oligarki sudah lama dikenal
dalam sejarah filsafat politik. Dalam karyanya The Republic, Plato memperkenalkan beberapa bentuk negara
(pemerintahan), yakni “Creta dan Sparta”, aristokrasi, timokrasi, oligarki,
demokrasi, dan tirani. Dari beberapa bentuk negara itu, oligarki adalah bentuk
pemerintahan yang berkubang dalam lumpur kejahatan. Demokrasi pada dasarnya
mengikuti bentuk oligarki ini, meskipun sangat berbeda.[10]
Plato mendefinisikan oligarki sebagai
bentuk pemerintahan yang bersandar pada penilaian dan penaksiran harta benda,
di situ kaum kaya memiliki kekuatan, sedangkan kaum papa sama sekali tidak
mempunyai hak untuk merasakan hal yang sama. Dalam negara semacam ini, sebagian
besar warga kota menjadi maniak uang.[11]
Berdasarkan definisi itu, Plato
menguraikan beberapa karakteristik oligarki yang membedakannya dengan bentuk
pemerintahan yang lain.[12] Pertama, para pemimpin dipilih
berdasarkan harta benda yang mereka miliki dan orang yang miskin tidak diberi
izin untuk memimpin sekalipun kemampuannya jauh lebih baik. Ini adalah cacat
pertama bagi oligarki. Kedua, perpecahan
tidak bisa terhindarkan lagi, karena negara semacam ini bukan lagi satu negara,
melainkan terdiri dari dua negara, yang satunya milik orang miskin, sedangkan
yang lainnya milik orang kaya atau dalam istilah Chantal Mouffe, “yang satunya demos dan yang lainnya berada di luar demos”[13]. Mereka hidup di
tempat yang sama dan selalu berkonspirasi untuk melawan satu sama lain. Ketiga, kegilaan terhadap uang membuat
orang tidak rela membayar pajak. Keempat,
dalam negara oligarki ada dua sisi yang sangat ekstrem, yaitu orang yang sangat
kaya raya dan orang yang sangat melarat. Orang kaya membeli semua harta benda
orang miskin dan kemudian orang miskin itu menjadi makhluk yang tidak berdaya
lagi. Kelima, dalam negara ini
seorang pemimpin tampaknya saja seorang pemimpin, tetapi sebenarnya dia adalah
seorang pemboros.
Searah dengan Plato, Aristoteles mendefinisikan
oligarki sebagai “konstitusi yang di bawahnya kaum kaya, juga karena sedikit
jumlahnya, memangku jabatan-jabatan publik; dan demikian pula demokrasi dapat
didefinisikan sebagai konstitusi yang di bawahnya kaum miskin, juga karena
banyak jumlahnya, berlaku sebagai pemimpin.”[14]
Akan tetapi, perbedaan besar atau kecilnya jumlah yang memerintah dalam
oligarki dan demokrasi adalah hal yang sifatnya aksidental. Sebab, boleh jadi
juga kaum kaya menjadi mayoritas, sedangkan kaum miskin menjadi minoritas,
meskipun fakta menunjukkan bahwa kaum kaya pada umumnya sedikit, sedangkan kaum
miskin pada umumnya banyak. Dengan demikian, dasar nyata perbedaan antara
oligarki dan demokrasi adalah kekayaan dan kemiskinan.[15]
Jadi, oligarki pada dasarnya merupakan pemerintahan yang dikendalikan oleh
orang-orang kaya, sementara demokrasi oleh orang-orang miskin. Kapan pun
orang-orang memimpin atau memerintah dengan alasan kekayaan, entah jumlahnya
sedikit atau banyak, itu disebut oligarki, dan di mana pun orang miskin
memimpin, hal itu disebut demokrasi.[16]
Jika mengacu pada pandangan Plato dan
Aristoteles di atas, definisi yang diberikan oleh Oxford Advanced Learners’s Dictionary tentang oligarki dinilai kurang
memadai, karena ia justru memberikan penekanan pada jumlah orang yang
memerintah, bukan pada akumulasi dan kekuasaan material dari orang yang
memerintah. Menurut kamus itu, “Oligarchy
is a form of government which only a small group of people hold all the power.”[17]
Definisi ini terlalu terpaku pada arti etimologi dari kata oligarki yang
diambil dari kata Yunani, yakni oligarchia, dari kata oligoi (sedikit)
dan arkhein (memerintah). Dengan demikian oligarki berarti pemerintahan oleh
yang sedikit.[18]
Jeffrey Winters memiliki definisi sendiri
tentang oligarki. Analis politik Northwestern University ini mendefinisikan
oligarki sebagai “Politik mempertahankan kekayaan (wealth defense), dan ini mengasumsikan adanya bentuk yang
berbeda-beda karena ancaman kepada dan tanggapan oleh oligark juga terus
berubah.”[19] Yang menjadi titik
perhatian adalah apakah para oligark terlibat secara langsung dalam kekuasaan
dan apakah mereka bertindak sebagai individu-individu atau sebagai kelompok.
Kombinasi dari semua faktor itu menghasilkan beberapa tipe oligarki: berseteru
(warring), berkuasa (rulling), sultanistik, dan sipil.
Oligarki sultanistik di Indonesia dihidupi selama masa Soeharto. Kemudian sejak
1998, oligarki sultanistik menjadi oligarki-elektoral yang berkuasa (electoral rulling oligarchy) yang
menggabungkan elemen-elemen kuat demokrasi dan oligarki yang berkuasa, tetapi
tanpa adanya institusi-institusi hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan
impersonal atas kepemilikan dan kekayaan.[20]
Dari semua definisi di atas, oligarki
pada dasarnya adalah politik konsentrasi kekayaan material pada sekelompok
orang. Konsentrasi kekayaan ini menjadi kriteria utama yang menentukan proses
politik. Sebagai akibatnya, kekuasaan politik dimonopoli oleh segelintir orang
kaya. Mereka itulah yang menjadi pemimpin atas rakyat kebanyakan, baik dalam
bidang politik maupun dalam bidang ekonomi dan hukum. Ciri yang paling kentara
dari oligarki adalah adanya kesenjangan yang sangat lebar antara orang kaya dan
orang miskin. Sebab, sebagai orang yang berkuasa, para oligark bisa mengatur
segalanya, termasuk kebijakan ekonomi dan hukum yang tidak lain hanya
menguntungkan mereka sendiri.
III.
Pertautan Antara Oligarki dan Paradoks Demokrasi di
Indonesia
3.1 Demokrasi
dalam Paradoks
Demokrasi di Indonesia sudah lama
mengalami disorientasi. Ia telah jatuh ke dalam sejumlah paradoks yang sulit
diatasi. Meskipun dahulu Mohammad Hatta, dalam diskursus awal demokrasi,
menekankan bahwa demokrasi di Indonesia bukan hanya dalam bidang politik,
melainkan juga dalam bidang ekonomi,[21]
tetapi hari-hari ini kita mengalami demokrasi bukan hanya tidak dijalankan
secara konsekuen dalam bidang politik, melainkan juga dalam bidang ekonomi
demokrasi hampir tidak dipraktikkan sama sekali. Hal ini dapat dibuktikan lewat
kenyataan semakin besarnya jurang antara segelintir orang kaya dan sebagian
besar orang miskin,[22]
adanya kesenjangan pembangunan regional,
korupsi publik merajalela, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
merajalela, kapitalisme dan politik ekonomi neoliberalisme serta penyerbuan
parusahaan-perusahaan tambang transnasional dan sejumlah masalah lainnya.[23]
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa politik Indonesia kontemporer memang ditandai oleh ketidaksetaraan,
baik dalam distribusi kekayaan maupun distribusi kekuasaan. Beberapa ahli
oligarki, seperti Richard Robison, Vedi
R. Hadiz, dan Jeffrey A. Winters, memberikan analisis tajam tentang ketimpangan
distribusi kekayaan material di Indonesia sebagai ciri utama politik Indonesia kontemporer.
Mereka mengajukan analisis perbandingan mengenai sistem politik nasional dengan
menggunakan konsep oligarki dalam kasus Indonesia sebagai sebuah kategori
analisis politik.[24]
Pertanyaannya yang dapat diajukan di sini ialah mengapa oligarki di Indonesia
bertumbuh subur, padahal Indonesia adalah negara demokrasi?
Sebagaimana tesis awal saya, benih
oligarki sebenarnya secara potensial sudah ada dalam demokrasi. Hal itu karena
demokrasi modern atau sering juga disebut demokrasi liberal sejak awal ditandai
oleh paradoks yang sulit diatasi. Menurut Chantal Mouffe, demokrasi liberal
merupakan hasil dari artikulasi dua logika yang tidak kompatibel dan tidak ada
jalan yang dapat mendamaikannya secara sempurna.[25]
Logika-logika demokrasi selalu membawa gambaran pembatasan antara “kami” dan
“mereka”, kami yang termasuk demos dan
mereka yang ada di luar itu. Inilah kondisi di mana hak-hak demokratis itu
dilaksanakan. Hal ini menciptakan
ketegangan dengan pendirian liberal pada penghormatan atas hak-hak asasi
manusia, sejak tidak adanya jaminan bahwa sebuah keputusan yang diambil melalui
prosedur demokrasi tidak akan membahayakan keberadaan hak-hak asasi. Dalam
demokrasi liberal batasan-batasan selalu ditempatkan dalam penggunaan
kedaulatan rakyat. Karena itu, apa yang tidak dapat diperjuangkan dalam
demokrasi liberal adalah gagasan bahwa sah untuk menetapkan batas-batas
kedaulatan rakyat atas nama kebebasan. Karena itu sifatnya paradoks.[26]
Lebih lanjut, Mouffe menjelaskan bahwa
ketegangan antara kesetaraan dan kebebasan (individual) dalam demokrasi
liberal modern tidak bisa didamaikan.[27]
Inilah paradoks demokrasi liberal modern, karena ia menjembatani dua hal yang
sangat bertentangan yakni kebebasan individual di satu sisi dan prinsip
kesetaraan di sisi lain. Ketegangan ini tidak mungkin teratasi.[28]
Paradoks demokrasi di Indonesia justru terletak
dalam dua hal di atas. Alih-alih ingin memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan,
demokrasi kita justru menciptakan ketidaksetaraan yang besar di antara
masyarakat. Sebab kebebasan di sini selalu dipahami sebagai kebebasan massa dan
bukannya kebebasan sipil.[29]
Pada tataran ini, atas nama kebebasan dan hak atas perlindungan properti-properti,
demokrasi menciptakan peluang persaingan bebas antara orang-orang dalam satu
negara. Persaingan ini menjadi semakin tak terkendali ketika hukum mengizinkan
privatisasi ekonomi yang dipropagandakan oleh lembaga keuangan internasional
(Bank Dunia dan IMF) dengan eksekutornya perusahaan-perusahaan transnasional
(TNCs). Jelas bahwa dalam persaingan itu orang-orang kecil selalu kalah, karena
mereka tidak mempunyai uang dan kuasa.
Sementara orang-orang kaya dan kaum elite (ekonomi dan politik) semakin
berjaya dalam kemapanannya. Hal ini niscaya menciptakan ketidaksetaraan yang
besar di kalangan warga negara, baik dalam hal distribusi kekayaan maupun
distribusi kekuasaan. Dengan demikian, demokrasi semakin jauh dari esensinya
sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sebab di sini, masyarakat
warga jelas bukanlah subjek yang menentukan preferensi politik. Yang menentukan
preferensi politik adalah kekuasaan material (pasar), yang aktornya tidak lain
adalah para oligark.
Daron Acemoglu, dalam Journal of the
European Economic Association, membuat
suatu analisis yang menarik tentang model perkembangan ekonomi di antara dua rezim
yang berbeda (oligarki dan demokrasi). Menurutnya, hak atas perlindungan
properti bukanlah obat mujarap (panacea)
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam banyak masyarakat oligarki, di mana
kekuasaan politik berpusat di tangan segelintir elite ekonomi (seperti para
pengusaha besar dan para investor dalam bidang ekonomi) yang menyediakan
derajat yang tinggi untuk perlindungan atas properti-properti tidak selalu
menunjukkan kesuksesan pertumbuhan ekonomi. Contoh yang paling jelas menurut
dia adalah koloni perkebunan Karibia di mana kekuasaan politiknya berada di
tangan para pemilik perkebunan. Di sana, hak-hak properti dari kaum elite
sangat dilindungi, tetapi mayoritas masyarakat – buruh/budak (the slaves) – memiliki sangat sedikit
hak ekonomi dan politik. Data menunjukkan bahwa selama abad ke-18 pendapatan
per kapita negara ini relatif tinggi, tetapi selama abad ke-19 koloni-koloni
perkebunan gagal meningkatkannya; bahkan saat ini banyak dari masyarakatnya
tersebar di negara-negara miskin di dunia.[30]
Lalu bagaimana dengan negara-negara
demokrasi yang distribusi kekuasaannya tersebar secara merata? Menurut Daron
Acemoglu, meskipun ada banyak fitur
menarik dalam institusi politik demokratis, demokrasi sering menunjukkan
kecenderungan kerakyatan, yang mungkin mengarah ke tingkat redistribusi
pendatapan yang tinggi, aneka kebijakan yang tidak efisien, dan pengambilalihan
aset dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan, bukti lintas negara menunjukkan
bahwa, negara-negara demokratis (termasuk Indonesia) belum mengalami
pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara non-demokrasi
pada era pasca-perang.[31]
Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya, salah satu alasannya ialah hampir
semua negara demokrasi di dunia (termasuk Indonesia) adalah oligarkis.
Paradoks lain dari demokrasi yang
mendorong pertumbuhan oligarki di Indonesia ialah terletak pada pelaksanaan
demokrasi elektoral yang menelan biaya yang sangat tinggi. Menurut riset Prof. Stein
Kristiansen dari University of Agder, Norway dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, untuk menjadi seorang gubernur
di Indonesia orang bisa menghabiskan dana antara 10 hingga 400 miliar rupiah
atau setara dengan 1 hingga 20 juta USD. Sedangkan untuk mendapat posisi
sebagai bupati atau wali kota orang bisa menghabiskan dana antara 5 sampai 20
miliar rupiah atau setara dengan 1 sampai 2 juta dolar USD. Padahal, gaji
normal dari seorang gubernur hanya berkisar 8 sampai 9 juta rupiah per bulan
dan bupati atau wali kota hanya berkisar 6 sampai 7 juta rupiah per bulan. Lebih
lanjut Stein Kristiansen menandaskan bahwa adalah suatu yang biasa di Indonesia
orang bisa menghabiskan dana 2 sampai 3 miliar rupiah hanya untuk membeli
partai politik supaya bisa lolos dalam nominasi menjadi calon kepala daerah.[32]
Salah
satu contoh yang paling konkret dari data di atas ialah jumlah dana kampanye
Anis-Sandi pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta pada 2016/2017 lalu.
Menurut laporan Sandiaga Uno, menjelang masa tenang pilkada DKI Jakarta putaran
pertama, total pengeluaran kampanye Anies-Sandi hingga 11/02/2017 sebesar Rp
64,4 Miliar dari total penerimaan dana, sejak rekening khusus dana kampanye
dibuka sebesar Rp 65,3 miliar. Menurut Sandiaga Uno, penerimaan dana tersebut berasal dari 5
unsur, yakni Gerindra sebesar Rp 750 juta, PKS Rp 350 juta, Anies Baswedan Rp
400 juta, Sandiaga Uno Rp 62,85 miliar, serta perusahaan swasta Rp 908 juta.[33]
Dari data-data di atas, sangat jelas
bahwa biaya pelaksanaan demokrasi elektoral di Indonesia sangat mahal. Fakta
ini tak terbantahkan. Sebab mesin demokrasi elektoral hanya bisa berjalan kalau
ditopang dengan uang. Hal ini terutama sangat kentara sejak era desentralisasi dan
demokrasi langsung 1998 hingga saat ini. Pada masa Soeharto hal itu tidak
tampak karena sistem yang berlaku saat itu ialah sentralisasi. Selain itu, pada
masa Soeharto juga pemilu hanyalah suatu seremoni simbolis atau artifisial,
sebab sebelum pemilu berlangsung pun orang sudah tahu siapa yang akan terpilih.
Lewat kekuatan yang represif dan otoriter, Soeharto mampu menekan oposisi dan
mengendalikan massa untuk hanya boleh memilih “warna kuning”.
3.2 Oligarki
Mencengkram Indonesia
Mahalnya biaya demokrasi elektoral di
Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas demokrasi serta
kemakmuran masyarakatnya. Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan oleh
Kristin Ross bahwa melalui demokrasi elektoral negara menghabiskan banyak uang
untuk suatu hasil yang paling buruk. [34]
Masyarakat
modern memang memahami demokrasi sebagai suatu sistem yang dijalankan melalui voting, otoritas untuk memutuskan
sesuatu melalui kekuasaan mayoritas, kekuasaan suara terbanyak.[35] Akan
tetapi, tidak mungkin masyarakat setiap saat melakukan voting untuk memutuskan hal-hal penting berkaitan dengan hidup
mereka. Maka, satu-satunya jalan yang harus diambil ialah melalui sistem demokrasi
representatif. Melalui sistem ini, masyarakat cukup memilih (vote) wakil-wakil atau para pemimpin
mereka sekali dalam lima tahun melalui suatu pemilihan umum. Orang-orang
terpilih itulah yang kemudian bertugas memutuskan hal-hal penting berkaitan
dengan nasib mereka. Tentu harapannya, mereka itu dapat sungguh-sungguh
merepresentasikan kehendak rakyat.
Meskipun sistem demokrasi representatif
dapat mempermudah serta memperlancar proses pengambilan kebijakan publik, hal
itu tetap tidak berarti bahwa demokrasi tidak punya kendala yang berarti. Untuk
menyukseskan proses itu dibutuhkan dana yang relatif besar. Sebab, mesin
demokrasi elektoral hanya bisa digerakan melalui uang. Karena negara tidak
mampu membiayai semua proses ini (misalnya untuk biaya kampaye para calon
pemimpin saat pemilu), maka kemungkinan akan masuknya para pemilik modal dalam
proses itu sangat besar. Memperbolehkan para pemilik modal masuk dalam proses
itu sama dengan membiarkan para oligark mengendalikan sistem politik. Pada
titik inilah negara mau tidak mau dikuasai oleh tangan-tangan tak kelihatan
atau invisible hand dalam istilah
Adam Smith.[36] Sebab tak selamanya para
oligark itu adalah pemimpin yang terpilih yang kelihatan secara kasat mata.
Mereka boleh jadi adalah kekuatan di belakang para pemimpin yang kelihatan itu
yang telah memberikan sejumlah uang untuk proses pemenangan dalam pemilu. Maka,
pada akhirnya keputusan-keputusan politik para pemimpin yang kelihatan itu
tidak lain adalah keputusan-keputusan para oligark atau tangan-tangan tak kelihatan
tadi. Dalam konteks ini, yang pasti tidak semua pola atau susunan yang
didirikan atau dibangun oleh proses tangan yang tak kelihatan itu diinginkan
atau diperlukan (oleh masyarakat).[37]
Berkaitan dengan hal di atas, Winters
memberikan suatu lukisan yang manarik dan mengesankan. Menurutnya, politik
Indonesia kontemporer lebih tepatnya dijabarkan sebagai demokrasi kriminal,
karena para oligark secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum sebagai alat
berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan (power of wealth) mereka untuk
mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan.[38]
Dari ulasan terdahulu kiranya jelas bahwa
oligarki di Indonesia bertumbuh subur pada era demokratisasi dan desentralisasi
sejak 1998 sampai saat ini. Jika pada masa Orde Baru kaum oligark hanya terpusat
pada Soeharto dan kroni-kroninya yang berhasil menjinakkan para oligark di luar
kekuasaan melalui kekuatan subversi sehingga mau tidak mau harus masuk dalam
lingkaran kekuasaan, maka pada era reformasi ini para oligark itu menyebar ke
berbagai kelompok yang saling bersaing satu sama lain. Para oligark di
Indonesia saat ini senantiasa berada dalam suasana persaingan untuk
memperebutkan pengaruh dan aset-aset yang bernilai yang dapat memperkuat
hegemoninya dalam politik, ekonomi, dan hukum. Maka, pertarungan-pertarungan
politik yang kita saksikan pada momentum-momentum pemilu hari-hari ini
sebenarnya tidak lain adalah pertarungan antar-oligark untuk merebut pengaruh
atau hegemoni. Dalam situasi semacam ini, tentu rakyat kecil selalu menjadi
korban. Demokrasi pun akhirnya kehilangan makna dan orientasinya yang otentik.
Rakyat bukan lagi asal dan tujuan dari demokrasi, melainkan keberadaannya telah
direduksi hanya sebagai voters dalam
setiap momentum pemilu.
Menurut
Wintters, penjeratan oligarkis atas demokrasi Indonesia saat ini dimulai oleh
suatu kelompok oligark yang menjadi aktor di balik layar dalam kejatuhan
Soeharto dan secara perlahan memapankan diri selama tahun-tahun transformasi
politik sejak 1998 sampai sekarang.[39]
Setelah kejatuhan Soeharto, para oligark ini mulai menyesuaikan diri dengan
demokrasi untuk tetap melanjutkan misi mereka. Dengan kemampuan yang ada,
mereka pada akhirnya berhasil menduduki kursi-kursi kekuasaan. Itu artinya,
misi mereka tetap berjalan terus. Di hadapan publik memang mereka menampilkan
diri sebagai kaum yang pro-demokrasi, tetapi nyatanya semangat oligarkisnya
masih menyala-manyala. Hasil akhirnya, negara diatur dengan logika pasar. Dan
di mana-mana logika pasar selalu sama, yakni berorientasi pada profit yang
sebesar-besarnya (maximize profit). Jadi,
ada semacam kolonialisasi pasar dalam politik.
Lalu, bagaimana oligarki di Indonesia
diatasi? Winters benar bahwa oligarki di Indonesia bertumbuh subur karena
penegakan hukum yang lemah. Hukum di Indonesia tidak mampu menjinakkan mereka
yang memiliki ultra-pengaruh. Hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke
atas. Berdasarkan argumen ini, untuk mengatasi oligarki di Indonesia hukum
harus ditegakkan. Namun, yang menjadi problemnya di sini ialah bagaimana hukum
itu ditegakkan sementara para penegak hukum juga masuk dalam lingkaran para
oligark. Suatu yang mustahilnya tentunya kalau mereka menjerat diri mereka
sendiri. Aristoteles, dalam hal ini benar, “Sebagian besar orang, biasanya,
adalah hakim yang buruk ketika kepentingan mereka sendiri dilibatkan”[40].
Salah satu solusi yang ditawarkan di sini
ialah memperkuat masyarakat warga sebagai preferensi utama demokrasi. Masyarakat
warga mesti bisa mengambilalih dominasi kekuasaan pasar dalam politik. Hal itu
bisa dilakukan lewat pembentukan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai-partai
atau kelompok-kelompok kiri baru yang berani menentang kekuasaan oligarkis. Kelompok
organiasi semacam ini mestinya dapat menjadi kelompok penekan penguasa yang
cenderung melanggengkan kekuasaan oligarki. Pembentukan Partai Solidaritas
Indonesia untuk sementara merupakan salah satu contoh yang mesti didukung.
Meskipun, kita juga tidak bisa membuktikan dengan pasti apakah partai ini tidak
didanai oleh para oligark yang bermain di belakang layar. Akan tetapi, untuk
sementara, dari visi-misinya, partai ini dapat memberikan angin segar bagi
perjuangan melawan kekuasaan oligarkis di Indonesia.
Usaha di atas diakui bukanlah tugas yang
mudah. Sebab, seperti tesis awal dalam tulisan ini, oligarki sebenarnya memang
secara potensial sudah ada dalam demokrasi, penegakan hukum yang lemah dan
sistem politik masa lalu yang buruk hanya memberikan daya tumbuh bagi oligarki
yang secara potensial sudah ada dalam demokrasi itu. Akan tetapi, pada mana
rakyat dalam negara demokrasi memiliki kekuatan yang besar, demokrasi bisa
menjadi kekuatan yang dahsyat dalam melawan oligarki dan dominasi kekuasaan
material.
IV.
Penutup
Demokrasi di Indonesia sudah lama
terjerembap ke dalam disorientasi. Ia telah jatuh ke dalam sejumlah paradoks
yang sulit diatasi. Paradoks ini pada mulanya terkandung dalam demokrasi itu
sendiri yang menekankan kesetaraan di satu sisi dan kebebasan di sisi lain.
Dalam situasi role of law tidak
menjalankan fungsinya dengan baik, ketegangan antara kedua hal itu akan
menghasilkan sejumlah persoalan baru yang sulit diatasi. Oligarki adalah salah
satu contoh dari sekian persoalan yang dihasilkan oleh ketegangan antara kedua
hal itu.
Ketika demokrasi telah terjebak ke dalam
oligarki, sejumlah paradoks lain akan muncul dengan sendirinya. Paradoks yang
paling kentara ialah soal distribusi kekayaan dan kekuasaan. Demokrasi memiliki
ideal bahwa distribusi kekayaan dan kekuasaan dalam suatu negara tersebar
secara merata. Sementara demokrasi memperjuangkan ideal itu, oligarki yang
berpenetrasi dengan demokrasi justru menciptakan kesenjangan yang besar dalam
distribusi kekayaan dan kekuasaan. Demokrasi akhirnya semakin jauh dari
orientasinya yang luhur.
Oligarki di Indonesia diberi daya tumbuh
oleh sistem politik masa lalu yang buruk dan penegakan hukum yang lemah.
Sebagai akibatnya, para oligark semakin berhasil memperkuat kedudukan mereka di
atas kursi-kursi kekuasaan. Untuk mengatasi dominasi mereka tentu bukanlah
perkara yang mudah. Sebab setiap usaha untuk melemahkan mereka dengan
sendirinya memperkuat kedudukan mereka. Sebab dengan kekuasaan dan kemampuan
yang mereka miliki, mereka dapat dengan mudah menciptakan undang-undang atau
sistem baru yang dalamnya mereka dapat menyesuaikan diri supaya tetap survive. Satu-satunya jalan untuk
melumpuhkan mereka saat ini ialah dengan memperkuat masyarakat warga melalui
pembentukkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi
oposisi yang bertujuan melawan kekuasaan para oligark. Hemat saya, ini menjadi
kekuatan kiri yang maha-dahsyat jika bisa diinstitusionalisasi secara baik.
BIBLIOGRAFI
Kamus:
Oxford
Advanced Learner’s Dictionary – International Student’s Edition. 7th edition. New York:
Oxford University Press, 2008.
Buku-buku:
Aristoteles. Politik. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Narasi-Pustaka
Promethea, 2017.
Budi Hardiman, F. Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi
di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.
Gusti Madung, Otto. Post-Sekularisme, Toleransi, dan
Demokrasi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.
Hadiz, Vedi R. Islamic Populism in Indonesia and the
Middle East. United Kingdom: Cambridge University Press, 2016.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang
Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat. Cet. IX. Bandung: Sega Arsy, 2018.
Jebadu, Alexander. Bahtera Terancam Karam, Lima Masalah
Sosial Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Mouffe,
Chantal. The Democratic Paradox. London:
Verso, 2000.
Plato. Republik. Terj. Sylvester G. Sukur. Yogyakarta: Narasi-Pustaka
Promethea, 2018.
Priyono, AE. “Demokratisasi
Indonesia dan Paradoks-Paradoks Reformasi”. Prolog dalam AE Priyono dan Usman
Hamid (eds.). Merancang Arah Baru
Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2014.
Ross, Kristin. “Democracy for
Sale”, dalam Giorgio Agamben dkk. Democracy
in What State? New York: Columbia University Press, 2011.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik, Kajian Historis dari
Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam
Baehaqi. Cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Winters, Jeffrey A. “Oligarki dan
Demokrasi di Indonesia”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.). Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia
Pasca-Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.
Jurnal
dan Artikel:
Acemoglu, Daron. “Oligarchic versus Democratic
Societies”, dalam Journal of the European Economic Association, Vol. 6, No. 1,
Maret 2008.
Kristiansen, Stein. “Recovering
the costs of power: Corruption in local political and civil service positions
in Indonesia.” Governance Problems Workshop,
Jakarta, 16 Juli 2008.
Nozick, Robert. “Invisible-Hand
Theory, Invisible-Hand Explanation”, dalam The American Economic Review, Papers and
Proceedings of the Hundred and Sixth Annual Meeting of the American Economic Association, Vol. 84,
No. 2, Mei, 1994.
Thomas B. Pepinsky, “Pluralisme
dan Perseteruan Politik di Indonesia”, dalam
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014.
Artikel
dan Berita dari Internet:
Insan
Wawasan. Hasil wawancara
dengan Vedi R. Hadiz, “Vedi Hadiz:
Kuasa Oligarki Dilanggengkan lewat Populisme Islam” (27 Agustus 2018),
http://www.balairungpress.com/2018/08/19211/,
diakses pada 05 Oktober 2018.
Ismail, Taufik. “Jelang Masa
Tenang Total Pengeluaran Kampanye Anies-Sandi Rp 64,4 Miliar”, dalam tribunnews.com (Sabtu, 11 Februari
2017), diakses pada 13 Februari 2017.
Samudra, Herke Satria Bayu. “Oligarki Kawan atau Lawan?” – Review buku Jeffrey A. Winters – Oligarcy. Cambridge University Press, New York,
2011. https://www.scribd.com/document/324869605/Oligarki, diakses
pada 05 Oktober 2018.
Saputra, Erandhi Hutomo.
“Demokrasi Indonesia di Bawah Kendali Oligarki”,
http://mediaindonesia.com/read/detail/148526-demokrasi-indonesia-di-bawah-kendali-oligarki,
diakses pada 06 Oktober 2018.
Wijayanto. “Oligarki, Ketimpangan Ekonomi,
dan Imajinasi Politik Kita”,
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/07/06460031/oligarki-ketimpangan-ekonomi-dan-imajinasi-politik-kita?page=all,
diakses pada 05 Oktober 2018.
[1]
Tulisan ini keluar sebagai juara satu dalam perlombaan penulisan karya Ilmiah
untuk Jurnal Ilmiah Akademika STFK Ledalero, edisi Agustus-Desember 2018. Dimuat
dalam Jurnal Akademika Mahasiswa STFK Ledalero Vol. 14. No. 1, Agustus-Desember
2018, hlm. 18-39
[2] Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso,
2000), pp.3-4.
[3] Jeffrey A. Winters, “Oligarki
dan Demokrasi di Indonesia”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.), Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia
Pasca-Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), p. 202.
[4] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di
Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), pp. 11 & 22.
[5] Wijayanto, “Oligarki,
Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita”,
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/07/06460031/oligarki-ketimpangan-ekonomi-dan-imajinasi-politik-kita?page=all,
diakses pada 05 Oktober 2018.
[6] Insan Wawasan, hasil wawancara dengan Vedi R.
Hadiz, “Vedi Hadiz: Kuasa Oligarki
Dilanggengkan lewat Populisme Islam” (27 Agustus 2018),
http://www.balairungpress.com/2018/08/19211/,
diakses pada 05 Oktober 2018.
[7] Erandhi Hutomo Saputra,
“Demokrasi Indonesia di Bawah Kendali Oligarki”, http://mediaindonesia.com/read/detail/148526-demokrasi-indonesia-di-bawah-kendali-oligarki, diakses pada 06 Oktober 2018.
[8] Jeffrey A. Winters, op. cit., p. 223.
[9] Vedi R. Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle
East (United Kingdom: Cambridge University Press, 2016). Bdk. juga Insan Wawasan, hasil wawancara dengan Vedi R.
Hadiz, loc. cit.
[10] Plato, Republik (VIII), terj. Sylvester G. Sukur (Yogyakarta:
Narasi-Pustaka Promethea, 2018), pp. 353-354.
[11] Ibid., p. 363.
[12] Ibid., pp. 364-367.
[13] Chantal Mouffe, loc. cit.
[14] Aristoteles, Politik, buku III bab 8, terj. Saut
Pasaribu (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2017), p. 121.
[15] Ibid.
[16] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, Kajian Historis dari Zaman
Yunani Kuno sampai Zaman Modern, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Baehaqi,
cet. IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), p. 99.
[17] Oxford Advanced Learner’s Dictionary – International Student’s Edition,
7th edition (New York: Oxford University Press, 2008), p. 1016.
[18] Bdk. International
Encyclopedia of Social Sciences,
dikutip oleh Herke Satria Bayu Samudra dalam
“Oligarki Kawan atau Lawan?” – Review buku Jeffrey A. Winters – Oligarcy, Cambridge University
Press, New York, 2011, https://www.scribd.com/document/324869605/Oligarki,
diakses Jumat, 05 Oktober 2018.
[19] Jeffrey A. Winters, op. cit., p. 206.
[20] Ibid.
[21] Menurut Hatta, demokrasi di Barat
hanya berlaku dalam bidang politik karena individualisme yang sangat tinggi.
Sementara di Indonesia penyakit individualisme itu tidak ada. Masyarakat
Indonesia sejak dahulu menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat, yang menjadi
dasar demokasi politik, dan sifat tolong-menolong dan gotong royong sebagai
sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi. Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang
Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, cet. IX (Bandung: Sega Arsy, 2018), pp.
69-70.
[22] Pada tahun 2017, Oxfam
mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir
separuh (49 persen) kekayaan nasional. Berikutnya, empat orang terkaya di
Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin,
atau sekitar 100 juta orang. Dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang
terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan
pokok selama satu tahun. Sementara itu, survei lembaga keuangan Swiss, Credit
Suisse, mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama, di mana ketimpangan
kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di
dunia. Satu persen orang terkaya di
Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik
dibanding Rusia, India, dan Thailand (katadata.co.id, 15 Januari 2017). Data
bank dunia pada 2015 menunjukkan bahwa Indeks Gini Indonesia pada tahun 2000-an
semakin memburuk dibandingkan tahun 1990-an, di mana kini Ratio Gini kita ada
di kisaran 39,0. Pada tahun 90-an ada di angka 30,0. Secara sederhana, kita
bisa juga menyebut Indeks Gini ini sebagai indeks ketimpangan ekonomi di mana
semakin tinggi ketimpangan di suatu negara, maka semakin tinggi Indeks
Gini-nya. Bdk. Wijayanto, loc. cit.
[23] Ulasan lebih terperinci mengenai
beberapa persoalan ini dapat dibaca dalam Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam, Lima Masalah Sosial
Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018).
[24] Thomas B. Pepinsky, “Pluralisme
dan Perseteruan Politik di Indonesia”, dalam Majalah Prisma Vol. 33, No. 1, 2014, p. 58. Untuk ulasan lebih
detail mengenai tesis ketiga ahli ini dapat dibaca dalam karya mereka: Richard
Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge Curzon, 2004)
dan Jeffrey A Winters, Oligarchy (New York:
Cambridge University
Press, 2011).
[25] Chantal Mouffe, op. cit., p. 5.
[26] Ibid., p. 4.
[27] Ibid., p. 5.
[28] Otto Gusti Madung, Post-Sekularisme, Toleransi, dan Demokrasi (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2017), p. 131.
[29] AE Priyono, “Demokratisasi
Indonesia dan Paradoks-Paradoks Reformasi”, Prolog dalam AE Priyono dan Usman
Hamid (eds.), Merancang Arah Baru Demokrasi
Indonesia Pasca-Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), p.
x.
[30] Daron Acemoglu, “Oligarchic versus Democratic Societies”,
dalam Journal of
the European Economic Association, Vol. 6,
No. 1, Maret 2008, pp. 1-2.
[31] Ibid.
[32] Prof. Stein Kristiansen, “Recovering
the costs of power: Corruption in local political and civil service positions
in Indonesia”, Governance Problems Workshop,
Jakarta, 16
Juli 2008,
n. p.
[33] Taufik Ismail, “Jelang Masa
Tenang Total Pengeluaran Kampanye Anies-Sandi Rp 64,4 Miliar”, dalam tribunnews.com - Sabtu, 11 Februari
2017, diakses pada 13 Februari 2017.
[34] Kristin Ross, “Democracy for
Sale”, dalam Giorgio Agamben dkk., Democracy
in What State? (New York: Columbia University Press, 2011), p. 85.
[35] Ibid., p. 89.
[36] Robert Nozick, “Invisible-Hand
Theory, Invisible-Hand Explanation”, dalam The American Economic Review,
Papers and Proceedings of the Hundred and
Sixth
Annual Meeting of the American Economic Association,
Vol. 84, No. 2, Mei, 1994,
p. 314.
[37] Ibid. Yang di dalam kurung ditambahkan oleh penulis
[38] F. Budi Hardiman, op. cit. p. 35.
[39] Jeffrey A. Winters, op. cit., p. 209.
[40] Aristoteles, op. cit., p. 123.
Oligarki dan Paradoks Demokrasi di Indonesia
Reviewed by insancerdaspolitik
on
March 03, 2019
Rating:
No comments: