Recent Posts

banner image
banner image

Toleransi dan Politik Multikulturalisme




Oleh Ferdi Jehalut


Toleranz sollte nur eine vorübergehende Gesinnung sein: sie muss zur Anerkennung führen. Dulden heißt beleidigen” – “Toleransi seharusnya hanya sebuah sikap sementara: Toleransi harus berkembang menuju pengakuan. Izinan adalah sebuah penghinaan” (J. W. Goethe, 1981:507, dikutip oleh Otto Gusti Madung, 2017:45)

Sekretaris Jenderal Amnesty International, Salil Shetty, pada acara ceramah Yap Thiam Hien Human Rights berjudul "Pluralisme dan Perjuangan untuk Keadilan dan Kesetaraan", di Jakarta, Kamis (23/3), pernah mengungkapkan kalimat yang hemat saya penting untuk direnungkan. Beliau mengatakan, “Dunia butuh Indonesia dengan warisan pluralismenya untuk mengawal dan menjaga perdamaian serta sikap saling menghargai satu dengan lainnya pada masa datang. Hal itu akan menjadi hadiah besar dari Indonesia untuk dunia yang pasti disetujui Yap Thiam Hien, tokoh anti diskriminasi” (Kompas, 24/03/2017:2).

Pernyataan Salil Shetty di atas mengungkapkan harapan dunia internasional akan kontribusi Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia. Dunia internasional membutuhkan Indonesia dengan warisan pluralismenya dalam upaya menciptakan perdamaian global. Warisan itu pertama dan terutama dapat ditemukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar penyangga kehidupan bersama yang harmonis, toleran, dan beradab.

Harapan di atas pada akhirnya bagaikan mimpi di siang bolong jika gema Bhineka Tunggal Ika tak mampu menembus sendi-sendi dan pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia. Dugaan ini benar jika kita menyaksikan kenyataan di negara kita akhir-akhir ini. Setiap hari ruang publik hampir tidak pernah absen dari berita-berita yang berbau SARA. Narasi-narasi sektarian semakin menguat menguasai ruang publik. Media-media sosial dibanjiri postingan-postingan yang antipluralis dan antikeberagaman. Bahkan, tempat ibadah yang seharusnya menjadi tempat suci dijadikan panggung untuk menyebarkan ajaran-ajaran radikal. Survei Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sepanjang 29 September sampai 21 Oktober 2017 misalnya ditemukan, dari 100 masjid  kementerian, lembaga negara, dan BUMN yang menjadi sampel penelitian, terdapat 41 masjid terindikasi menjadi tempat penyebaran paham radikal. Indikasi radikalisme itu ditemukan dari materi-materi khotbah salat Jumat yang disampaikan para khatib (Liputan6.com, 08/07/2018, diakses pada 06/08/2018).
           
Kenyataan di atas serentak mematikan harapan dunia internasional akan kontribusi Indonesia dalam menciptakan perdamaian global. Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin Indonesia dapat berkontribusi dalam menciptakan perdamaian global jika situasi di Indonesia sendiri tidak mencerminkan adanya perdamaian? Skeptisisme akan bertambah lagi kalau kita memperhatikan aksi-aksi terorisme yang hampir terjadi setiap tahun di bumi pertiwi ini.

Akan tetapi, hal itu tak mesti membuat kita benar-benar kehilangan harapan. Kita mempunyai tokoh-tokoh pluralisme dan multikulturalisme yang memberikan seberkas harapan bagi kita, entah yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Sebut saja misalnya, almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang mempunyai komitmen kuat dalam memperjuangkan hak-hak kolektif kelompok minoritas, Prof. Azyumardi Azra, CBE, cendekiawan muslim yang gencar mengkampanyekan semangat toleransi, Prof. Franz Magnis-Suseno, imam dan cendekiawan Katolik yang juga mempunyai pikiran-pikiran progresif dalam menata Indonesia yang semakin demokratis. Ini hanyalah beberapa nama dari sekian banyak para pencinta keberagaman yang ada di tanah air ini yang dapat memberikan seberkas harapan bagi kita dalam memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.

Toleransi dan Demokrasi

Berbicara tentang toleransi dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia memang seharusnya tidak perlu menjadi agenda utama, karena demokrasi selalu mengandaikan toleransi.  Toleransi menjadi salah satu prinsip demokrasi. Prinsip itu mestinya sudah menjadi semangat yang menjiwai semua warga negara yang hidup dalam negara demokrasi. Akan tetapi, di Indonesia kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Toleransi seolah menjadi suatu yang dipaksakan dari luar untuk diterapkan. Padahal, kita mempunyai warisan toleransi yang berharga, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hal ini diperkuat lagi dengan sistem demokrasi yang kita anut.

Sulitnya mewujudkan perdamaian dan toleransi yang otentik di negara kita disebabkan oleh ‘virus perusak demokrasi yang dibawa oleh kelompok-kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan’ (Adnan Buyung Nasution, 2011:14). Selain melakukan aksi brutal, kelompok ini juga terus melakukan intimidasi dan penyerangan terhadap penganut agama, aliran agama minoritas, dan peminggiran terhadap orang kecil dan aktivis yang memperjuangkan kebebasan beragama. Bahkan, kelompok fundamentalis ini telah berhasil membajak prosedur demokrasi. Hal ini tampak dalam pembentukan hukum “syariah islam” yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM (ibid.,hlm. 122).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa demokrasi kita sebenarnya masih berkutat pada ranah prosedural. Kita belum sepenuhnya menyentuh ranah substansial dari demokrasi. Kenyataan ini mendesak kita untuk melakukan apa yang oleh Anthony Giddens sebut “demokratisasi atas demokrasi atau proses pematangan demokrasi”. Hal ini kiranya menjadi agenda prioritas ke depan mengingat keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara belum cukup mencerminkan dan merepresentasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi (ibid., hlm. 3).

Di Indonesia, prinsip-prinsip demokrasi seperti egalitarianisme, liberalisme, toleransi, responsibilitas, respek terhadaap sesama, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia masih menjadi jargon hampa yang kehilangan daya praksisnya. Padahal, nilai-nilai inilah yang menjadi spirit demokrasi. Jika dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, nilai-nilai ini tidak dihayati atau dijalankan dalam keseluruhan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesungguhnya demokrasi yang dijalankan telah kehilangan jiwanya. Kehilangan jiwa berarti kehilangan spirit atau semangat yang menjadi dasar kehidupan bersama yang demokratis. Jika demikian, ancaman disintegrasi, fundamentalisme agama, radikalisme, dan terorisme sangat rentan terjadi; karena masing-masing orang menganggap sepih kehadiran yang lain yang berbeda dengannya. Paradigma yang dibangun adalah paradigma “kami” versus “mereka”. Kata “kita” disingkirkan dari peradaban sosial dan politik. Akibatnya, setiap bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia pertama-tama bukan dilihat sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), melainkan dilihat sebagai tindakan kriminal yang dilakukan terhadap kelompok agama atau golongan yang bukan “kita”. Jadi identitas primordial melampaui kemanusiaan. Padahal, seharusnya dimensi kemanusiaan mesti menembus sekat-sekat primordial semacam itu.

Paradigma konservatif yang menempatkan kemanusiaan di balik identitas primordial di atas, hemat saya menjadi salah satu alasan di Indonesia orang lebih menghayati toleransi pasif ketimbang toleransi aktif atau otentik (penjelasan lebih komprehensif mengenai kedua model toleransi ini dapat dibaca dalam Otto Gusti Madung, Post-Sekularisme, Toleransi, dan demokrasi, 2017). Kedua model toleransi ini mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Toleransi pasif menggunakan paradigma belas kasihan. Kebebasan yang dialami oleh kelompok minoritas untuk tinggal di Indonesia misalnya dilihat sebagai hadiah yang diberikan oleh kelompok mayoritas. Kebebasan ini mesti dibayar dengan ketaatan kepada kelompok mayoritas. Oleh karena itu, setiap usaha untuk membongkar kemapanan kelompok mayoritas dicap membangkang, maka dengan sendirinya kebebasan itu dicabut. Toleransi semacam ini sangat rentan terhadap perpecahan dan pertikaian. Sebab ada kelompok yang merasa dirinya sebagai warga negara kelas satu, sedangkan yang lain ditempatkan sebagai warga negara kelas dua.

Berbeda dengan toleransi pasif. Toleransi aktif menggunakan paradigma hak. Baik kelompok minoritas maupun kelompok mayoritas mempunyai hak dan kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan itu bukanlah hadiah dari kelompok mayoritas yang harus dibayar dengan ketaatan. Model toleransi ini sangat cocok untuk konteks kita yang menganut sistem demokrasi. Sebab dalam demokasi siapa pun boleh hidup di dalamnya. Tidak ada kategori warga negara kelas satu dan kelas dua. Model toleransi ini dapat menjadi basis yang kokoh dalam membangun peradaban politik multikulturalisme.

Politik Multikulturalisme
      
Pernyataan Goethe yang dikutip pada awal tulisan ini menjadi basis dalam membangun kultur politik multikulturalisme. Ia benar, “Toleransi seharusnya hanya sebuah sikap sementara: Toleransi harus berkembang menuju pengakuan. Izinan adalah sebuah penghinaan.” Politik multikulturalisme mengandaikan adanya pengakuan semacam itu. Pengakuan mengandaikan identitas yang lain diterima sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal. Bahwa uniformitas itu tidak mungkin. Sebab kita mempunyai isi kepala yang berbeda. Perbedaan itu memberi peluang bagi kemungkinan adanya perbedaan cara berpikir. Menghapus kemungkinan ini berarti sebuah pencaplokan terhadap kebebasan asasi manusia. Sebab, sebagaimana Rosa Luxemburg, “Kebebasan selalu berarti kebebasan berpikir lain” (Otfried Höffe, 2015:187, dikutip oleh Otto Gusti, 2017:50).

Politik multikulturalisme hanya mungkin dibangun di atas dasar pluralisme dan toleransi. Sementara toleransi sendiri selalu mengandaikan pluralisme. Dalam masyarakat homogen yang ditandai oleh keseragaman budaya dan agama misalnya, tidak mungkin kita berbicara tentang toleransi budaya dan agama. Sebab semuanya menganut agama dan budaya yang sama. Namun demikian, antara pluralisme dan multikulturalisme ada distingsi yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Otto Gusti Madung dalam bukunya Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia? (2011: 26) menguraikan pembedaan itu dengan cukup jelas.

“Baik pluralisme maupun multikulturalisme mengakui keberbedaan dan keanekaragaman. Akan tetapi masyarakat plural dan multikultural tidaklah sama, meskipun masyarakat plural menjadi dasar bagi perkembangan masyarakat multikultural. Dalam masyarakat plural diakui bahwa tatanan masyarakat terbentuk dari berbagai unsur yang memiliki ciri-ciri budaya berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat plural, masing-masing entitas relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antarberbagai unsur yang berbeda ditandai oleh corak hubungan yang dominatif dan selanjutnya juga diskriminatif, walaupun wujud diskriminasi itu sangat tersamar. 

Jadi, perbedaan dalam pluralisme bisa disertai gradasi nilai. Dalam pluralisme, perbedaan dan keanekaragaman diakui, akan tetapi tetap terbuka peluang besar ke arah dominasi dan hegemoni oleh elemen-elemen yang mengklaim diri superior terhadap elemen-elemen yang diklaim inferior. Sementara dalam masyarakat multikultural, elemen-elemen yang plural dan berbeda saling berkomunikasi dan berdialog secara intens untuk mengenal lebih dalam kekhasan dan berbedaan masing-masing. Perbedaan-perbedaan tersebut dihargai sebagai nilai dalam dirinya sendiri. Dalam multikulturalisme, ada pengakuan akan perbedaan dalam kesederajatan (dalam arti tidak disertai dengan gradasi nilai), baik pada level individual maupun pada level kultural-komunal, dan karenanya tidak ada peluang ke arah dominasi dan diskriminasi yang lahir dari adanya klaim-klaim tentang elemen-elemen yang lebih superior dibandingkan dengan yang lain.”
            
Dalam konteks politik multikulturalisme, distingsi antara pluralisme dan multikulturalisme di atas mengantar kita pada beberapa kesimpulan berikut. Pertama, politik multikulturalisme selalu mengandaikan pengakuan akan perbedaan. Itu berarti perbedaan yang ada dalam masyarakat tidak perlu dilihat sebagai ancaman terhadap kehidupan bersama. Hal yang justru menjadi ancaman bagi kehidupan bersama ialah perasaan heterofobia. Perasaan ini selalu melihat keberlainan sebagai ancaman yang menakutkan. Perasaan takut yang berlebihan (hiper-fobia) ini menjadi akar dari terorisme  dan fundamentalisme agama. Kelompok yang mengidap heterofobia ini selalu menempatkan dirinya sebagai korban ketidakadilan sosial. Logika yang digunakan ialah logika bahasa korban: “kami adalah korban ketidakadilan sosial”.

Di Indonesia, penyakit kronis itu justru seringkali mengidap kelompok agama dan budaya mainstream dalam masyarakat. Di Maumere, Flores, NTT misalnya, pada pertengahan Maret 2010, pimpinan jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rock cabang Maumere mengajukan pengaduan kepada Forum Kepedulian Sosial di Maumere. Alasan pengaduan itu ialah kelompok GBI Rock merasa hak-hak asasi dan konstitusionalnya untuk beribadah telah dilecehkan. Mereka dilarang beribadah karena dianggap mengganggu ketertiban umum lantaran mereka menjalankan ibadat di rumah pemimpin jemaat tanpa izinan ketua RW dan lurah. Sementara, kelompok mayoritas Katolik juga sering menjalankan ibadat di rumah-rumah warga tanpa izinan dari ketua RW dan lurah (bdk. Otto Gusti Madung, 2011:3-4). Ini hanyalah salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana kelompok agama mainstream dalam masyarakat menempatkan dirinya sebagai korban untuk menutupi diagnosa heterofobia-nya.

Kedua, ada atau tidak adanya pengakuan turut memengaruhi sebagian dari formasi identitas kita. Hal ini dijelaskan oleh Charles Taylor (1993, dikutip oleh Otto Gusti, 2011) demikian: identitas kita separuhnya terbentuk lewat pengakuan atau tidak adanya pengakuan, bahkan sering juga lewat pengakuan yang keliru dari sesama. Pengakuan yang keliru dari sesama ini dapat menyebabkan seorang atau sekelompok orang menderita deformasi.

Ketiga, politik multikulturalisme selalu menghendaki adanya dialog lintas batas atau dialog antargolongan. Pertanyaannya, dialog macam mana yang dapat mendongkrak citra rasa toleransi dan perdamaian otentik di Indonesia?

Selama ini, dialog antaragama atau antargolongan sudah sering dibuat. Akan tetapi, hasilnya terorisme dan radikalisme atas nama agama tetap bercokol di Indonesia. Mengapa? karena yang terlibat dalam dialog sering kali hanya kalangan elite agama. Isi dialog pun sering berkutat pada ranah teologis semata. Padahal, yang sering terlibat dalam konflik antaragama dan antargolongan adalah masyarakat akar rumput. Sentimen primordial yang tertanam kuat dalam diri mereka membuat mereka dapat dengan mudah dicuci otaknya untuk menyebarkan pahap atau ideologi radikal, bahkan tak pelak juga menjadi aktor kekerasan atas nama agama. Saya optimis, kalau dialog itu langsung menyentuh masyarakat akar rumput, mereka akan tahan banting berhadapan dengan idelogi-ideologi sesat yang menyerbu mereka. Dan dialog yang paling penting menurut saya di sini ialah dialog kehidupan. Di beberapa wilayah di NTT misalnya, kalau umat katolik merayakan natal atau paskah, remaja masjid (Remas) ikut serta dalam menjaga keamanan. Demikian pun sebaliknya, kalau umat muslim merayakan idul fitri, orang muda katolik (OMK) ikut serta menjaga keamanan. Ketika hal serupa ini dilakukan secara terus-menerus, ruang dialog yang lebih intens terbuka lebar dan dengan sendirinya kerukunan tercipta. Maka, saat ideologi radikal menyerbu mereka, mereka sudah mempunyai dasar yang kokoh untuk menolak atau melawannya.

Ketiga, tujuan dialog sebenarnya adalah untuk mencapai saling pemahaman. Pemahaman yang benar tentang agama dan keyakinan orang lain membuat orang tidak mudah terjebak dalam lingkaran radikalisme dan terorisme. Pemahaman yang benar itu kemudian dapat mendorong pengakuan akan identitas yang lain sebagai yang berbeda dengannya. Untuk itu, selain pentingnya dialog kehidupan di kalangan masyarakat akar rumput, kiranya penting juga jika di sekolah-sekolah dasar dan menengah diajarkan mata pelajaran khusus untuk semua agama yang ada di Indonesia. Tujuannya ialah supaya peserta didik memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya sendiri dan agama lain. Hemat saya, hal ini dapat mengurangi pemahaman yang keliru tentang agama lain. Sehingga sikap prasangka buruk terhadap agama lain dapat diatasi. Dengan demikian, toleransi akan tetap terjaga.

Keempat, dalam rangka mewujudkan politik multikultural, kita perlu menguatkan narasi-narasi pluralis untuk mengimbangi narasi-narasi sektarian. Kita bisa memanfaatkan media-media sosial dan media apa saja untuk tujuan ini. Selain itu, dalam momentum Pileg dan Pilpres yang akan datang, kita mesti mampu meredam isu-isu SARA. Hal ini pertama-tama dapat dimulai dari diri kita sendiri. Masing-masing kita berupaya untuk tidak menjadi aktor yang memainkan isu-isu SARA dalam pemilu yang akan datang. Dengan beberapa upaya sederhana ini, saya yakin, pada masa mendatang, Indonesia bisa mewujudkan harapan internasional untuk berkontribusi dalam menciptakan dan menjaga perdamaian global. Impian ini akan terwujud kalau citra toleransi kita tetap terjaga.
Toleransi dan Politik Multikulturalisme Toleransi dan Politik Multikulturalisme Reviewed by insancerdaspolitik on August 08, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.