Recent Posts

banner image
banner image

KERJA: MEMANUSIAKAN MANUSIA



(Analisis Filosofis Tentang Makna Kerja Manusia)
Ferdi Jehalut

Pengantar

Salah satu terminus lama yang disematkan kepada manusia adalah homo faber (makhluk pekerja). Term ini mengungkapkan suatu fakta eksistensial yang melekat dalam diri manusia. Kerja bagi manusia mengafirmasi eksistensi kondratinya yang mendalam. Dengan demikian kerja bagi manusia bukanlah suatu tuntutan dan kualitas eksternal, tetapi suatu tuntutan kodrati dan kualitas inheren yang dimiliki manusia. Kerja juga mengungkapkan jati diri dan kualitas kemanusiaan manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan akal budi dan kesanggupan berpikir. Tanpa manusia bekerja, dunia tidak akan berkembang dan pertumbuhan manusia sendiri juga akan mengalami kekerdilan. Pemaknaan kerja di sini tidak meluluh dilihat sebagai tuntutan ekonomis dan biologis, tetapi juga dilihat dari sisi personal dan sosial.

Dalam sejarah, ‘kerja manusia’ sering kali mengalami keterlemparan dari maknanya yang sebenarnya. Kerja meluluh dilihat sebagai sebuah tuntutan ekonomis belaka, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Nilai kerja direduksi hanya sekadar untuk memproduksi barang-barang material. Orientasi dan pemaknaan kerja pun dipersempit hanya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan produksi dan kebutuhan pasar. Akibatnya manusia serentak didepak dari kemanusiaannya dan mengalami alienasi dari pekerjaannya sendiri dan dari manusia lainnya. Pada saat yang sama manusia juga dideportasi dari hak dan martabatnya. Ia kehilangan hak dan martabatnya sebagai manusia. Eksistensinya direduksi hanya sebagai alat-alat produksi dan hamba para pengintai modal. Manusia akhirnya hidup untuk kerja dan bukannya kerja manusia bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menegaskan eksistensinya. Kondisi semacam ini dapat ditemukan pada hampir sepanjang sejarah peradaban manusia sejak zaman Yunani Klasik sampai sekarang. Di Indonesia, kenyataan ini bisa ditemukan di banyak tempat. Hal itu terbukti dengan adanya banyak bentuk penindasan dan kekerasan terhadap para pekerja, kasus perdagangan manusia, eksploitasi buruh dan sederetan kasus lainnya. Bahkan sampai saat ini masih ada wilayah di Indonesia yang tetap mempertahankan sistem kekuasaan feodal, di mana praktik perbudakan masih berlaku (bandingkan kepercayaan Marapu di Sumba- NTT).

Fakta di atas menunjukkan betapa manusia sering kali memandang sesamanya hanya sebagai obyek yang menguntungkan, setiap orang saling mengeksploitasi dan menginjak-injak orang yang lemah. Kekuasaan kapitalis merampas segala sesuatu dari masyarakat untuk kepentingan dirinya.[1] Keadaan semacam ini sering kali menguntungkan kaum kapitalis, namun memperburuk keadaan kaum buruh (orang yang lemah). Kondisi ini sering kali tidak terkendali karena hegemoni industri begitu kuat dan tuntutan-tuntutan produksi begitu tinggi. Lebih dari itu, manusia juga sering didominasi oleh nafsu alamiah dan hasrat untuk menguasai.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengupas tuntas sejarah ketidakadilan dalam dunia kerja yang menghisap kemanusiaan manusia (pekerja). Penulis ingin mengulas secara singkat dan padat pemaknaan kerja dari perspektif filsafat dengan menggunakan pisau analisis beberapa filsuf kondang seperti Plato, Aristoteles, Max Weber, John Locke, Adam Smith, Hegel dan Karl Marx. Semua analisis para filsuf kondang tersebut hemat penulis dapat menjadi jembatan menuju pemaknaan kerja yang berbasis pada humanisasi manusia.

Pemaknaan Kerja dari Plato Sampai Karl Marx

           Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan

      Para filsuf Yunani dan filsuf Abad Pertengahan tidak banyak berbicara tentang kerja. Bahkan boleh dikatakan bahwa para filsuf dari kedua mazab ini tidak memusatkan kajian teoritis mereka pada persoalan seputar kerja. Filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles misalnya menyinggung soal kerja hanya terbatas pada sistem kelas-kelas dalam masyarakat. Tendensi para filsuf Yunani yang mengagung-agungkan dunia rohani atau jiwa dan menganggap rendah tubuh atau dunia fisik memengaruhi cara mereka mengelompokan kelas-kelas dalam masyarakat. Jiwa sama dengan baik dan tubuh sama dengan buruk.

 Berdasarkan dikotomi jiwa-raga itu, Plato mengelompokan masyarakat ke dalam tiga kelas. “Pertama adalah para filsuf atau penjaga yang cakap dan bijaksana. Beberapa dari golongan penjaga yang cakap dan sudah disiapkan melalui pendidikan akan dipilih untuk memimpin negara. Kedua adalah prajurit yang gagah berani. Ketiga adalah para petani dan tukang yang bekerja untuk menghasilkan barang kebutuhan dan memberikan jasa.”[2] Dari pengelompokan Plato ini kita mendapat gambaran bahwa  dalam masyarakat Yunani Kuno, semakin suatu aktivitas melibatkan pikiran semakin tinggi nilai dari aktivitas itu. Orang-orang yang kerjanya lebih banyak menggunakan pikiran masuk dalam kelas tertinggi dalam masyarakat. Sebaliknya semakin suatu aktivitas melibatkan dunia fisik atau tubuh semakin rendah nilai dari aktivitas itu. Karena itu, orang-orang yang lebih banyak melibatkan fisik dalam bekerja masuk dalam kelas paling rendah dalam masyarakat. Menurut Plato, orang yang masuk dalam kategori terakhir ini lebih digerakan oleh nafsu dari pada akal.

Dalam karyanya The Republic, Plato secara sangat jelas menegaskan bahwa ‘jiwa manusia memiliki struktur yang memuat tiga hal, yakni rasionalitas atau pikiran, keberanian, dan keinginan atau kebutuhan. Dari ketiga hal itu, yang menduduki posisi tertinggi adalah rasionalitas atau pikiran.’[3] Oleh karena itu setiap pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas badaniah kurang berharga atau bernilai. Bagi Plato tubuh menghalangi jiwa mencapai kebahagiaan karena tubuh dianggap sebagai penjara bagi jiwa.

Pandangan Aristoteles tentang makna kerja hampir sama dengan gagasan yang dikemukakan oleh Plato. Aristoteles menempatkan kebahagian sebagai tujuan tertinggi atau utama hidup manusia. Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah tindakan jiwa yang selaras dengan keutamaan sempurna. Menurut Aristoteles tujuan jika tidak mengarah kepada tujuan tertinggi, kita akan berhenti pada kemungkinan tak terbatas dan tidak akan mencapai tujuan utama dari tindakan-tindakan kita. Kita boleh mengarahkan tindakan kita untuk mendatangkan uang. Uang untuk mendatangkan kesehatan. Kesehatan sebagai bekal untuk mendapatkan kedudukan sosial. Sejauh semua tujuan itu hanya berhenti pada pada dirinya sendiri, kita sesungguhnya hanya mendapatkan kekosongan belaka. Menurutnya suatu kemajuan terus menerus jika tidak sampai pada tujuan akhir adalah tanpa arti. Kekhasan jiwa manusia menurut Aristoteles adalah ciri rasionalnya. Manusia bahagia adalah mereka yang  bertindak selaras dengan pertimbangan rasionya. [4] Maka menurut Aristoteles kerja yang berhubungan dengan tubuh adalah kerja para budak. Dalam masyarakat, para budak menempati kelas paling rendah dalam struktur keluarga Yunani.[5]

Pada abad Pertengahan dengan tendensi teosentris yang begitu kental, hal-hal rohani atau spiritual lebih diutamakan dari pada hal-hal duniawi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kerja fisik dipandang lebih rendah dari pada hal-hal rohani, karena kesalehan religus atau kebajikan-kebajikan rohani dapat memberikan jaminan akan kebahagiaan kekal. Oleh karena itu, pada masa ini kita mengenal praktik-praktik askese. “kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan badan, seperti berdagang, dianggap pengganggu kehidupan spiritual. Karena itu kegiatan-kegiatan seperti ini dicurigai dan dinilai menghambat untuk memperoleh keselamatan.”[6]

b.      Zaman Reformasi dan Industrialisasi   
       
      Pandangan tentang kerja pada masa reformasi dan industrialisasi sedikit mengalami pergeseran. Jika pada zaman Yunani Kuno ada konfrontasi yang cukup tegas  antara kehidupan badani dan rohani, pada masa ini dengan munculnya reformasi protestan, antara hal rohani dan badani tidak lagi dipertentangkan. Max Weber (1897-1974) dalam bukunya “The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism” (1904), mengemukan secara jelas bagaimana hubungan antara kebangkitan kapitalisme dengan ajaran calvinisme. Menurut Max Weber, orang-orang protestan baik sebagai kelas-kelas yang memerintah dan diperintah, baik sebagai mayoritas dan minoritas, telah menunjukkan tendesi khas untuk mengembangkan rasionalisme ekonomi yang tidak dapat diamati pada tingkat yang sama di antara orang-orang katolik. Hal ini, demikian Weber, harus dicari dalam karakter intrinsik permanen dari kepercayaan keagamaan mereka, dan tidak hanya dalam situasi-situasi historis-politis eksternal sementara belaka.[7] Maka, berdasarkan analisis Weber, di dalam Calvinisme terdapat dinamisme untuk mengubah dunia dengan bekerja keras. Hal ini didasarkan pada ajaran Calvinisme tentang predestinasi. Calvinisme mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk berdosa dan tidak bisa diselamatkan. Tetapi oleh karena Tuhan Mahamurah, maka melalui Kristus ia memilih sejumlah manusia untuk diselamatkan. Akan tetapi tak satu pun yang tahu siapa di antara manusia itu yang diselamatkan. Nah, untuk mengetahui siapa yang diselamatkan, orang-orang berlomba-lomba untuk menaati perintah Tuhan. Salah satu cara menaati perintah Tuhan adalah dengan bekerja keras.[8] Mereka percaya bahwa keberhasilan dalam dunia kerja merupakan indikator bahwa mereka masuk dalam kategori orang-orang yang diselamatkan. Dengan ajaran predestinasi ini ‘protestantisme memunculkan konsep baru bahwa kerja dilihat sebagai sesuatu yang penting dalam dunia manusia. Kerja adalah sarana untuk mengembangkan pribadi dan dunia serta sarana bagi keselamatan jiwa.’[9]

       Pada masa industrialisasi, kerja tidak dilihat dalam kerangka religius, tetapi dalam kerangka humanisasi. Perubahan ini terjadi karena manusia semakin sadar untuk mengakui dirinya sebagai subyek. Para Filsuf yang memiliki perspektif seperti ini adalah John Locke, Adam smith, George Wilhem Friedrich Hegel, dan Karl Marx.[10] Pada masa inilah manusia tidak lagi dilihat sebagai obyek yang dipekerjakan, tetapi subjek yang bekerja. Pada tataran ini makna kerja sebagai suatu cara berada untuk menegaskan kemanusiaan manusia sudah mulai tampak.

      Dalam sejarah filsafat, John Locke digolongkan sebagai filsuf  yang meletakan dasar bagaimana kerja menjadi bagian penting dari eksistensi manusia. Menurutnya pekerjaan menciptakan hak alamiah. Analisis Locke ini berbasis pada kenyataan bahwa setiap orang yang bekerja menghasilkan hak, yaitu hak milik atas karyanya. Karena kerja menghasilkan hak dan hak itu merupakan milik setiap orang, maka kerja merupakan hak asasi manusia.[11]
       
      John Locke memberikan tiga argumen dasar yang mendukung pernyataan bahwa kerja merupakan sesuatu yang mendasar bagi manusia.[12] Pertama, kerja merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Ia merupakan bagian integral dari tubuh manusia. Karena itu, kerja adalah bagian dari kodrat manusia.  Karena kerja merupakan bagian dari kodrat manusia, maka kerja menjadi hak asasi manusia. Dengan demikian mengingkari kenyataan ini berarti sama halnya dengan mengingkari hak asasi manusia.
  
      Kedua, kerja merupakan perwujudan diri manusia. Manusia menegaskan identitas kemanusiaannya melalui kerja. Melalui kerja manusia dapat membangun hidup dan lingkungannya ke arah yang lebih baik. Dalam konteks ini, kerja dapat dilihat sebagai sarana humanisasi.

      Ketiga, kerja berkaitan dengan hidup. Menurut Locke manusia dapat mempertahankan hidupnya melalui kerja. Ini adalah suatu fakta yang tak terbantahkan dalam hidup manusia. Manusia diciptakan bukan hanya untuk tinggal diam dan menantikan segala sesuatu tersedia di depan matanya, tetapi manusia harus bekerja agar ia bisa makan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
   
       Adam Smith sedikitnya melampaui Locke dalam menjelaskan makna kerja. Ia menguniversalkan makna kerja bagi manusia. Menurutnya, seluruh peradaban kebudayaan merupakan produk dari pekerjaan manusia. Berdasarkan pandangan ini, ia membedakan dua jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan produktif (pekerjaan kaum tani dan buruh) dan pekerjaan yang tidak produktif (pekerjaan para prajurit, politisi dan ahli hukum). Bagi Adam Smith kegiatan yang tidak produktif tidak memberikan manfaat bagi masyarakat karena tidak menghasilkan sesuatu.[13] Pandangan Smith ini dapat dilihat sebagai antitesis dari pandangan para filsuf Yunani yang menempatkan karya intelek sebagai karya terluhur dan terutama. Para filsuf Yunani menganggap rendah tubuh dan menilai tinggi hal-hal yang bersifat rohani. Sedangkan Smith justru berpandangan sebaliknya. Kerja fisik lebih berarti karena kerja fisik lebih bersifat produktif dibandingkan dengan kerja non fisik.

      George Wilhelm Friedrich Hegel menempatkan kerja sebagai keseluruhan konteks kegiatan manusia. Hegel menilai kerja sebagai sesuatu yang dinamis, berkembang dan menjadi sarana bagi manusia untuk menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam. Hal ini berarti manusia menemukan diri apabila ia menyadari sepenuhnya apa yang dikerjakannya. Menurutnya, kerja memainkan peran utama dalam pengungkapan kepribadian manusia. Selaras dengan Locke, menurut Hegel, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya. Dengan kata lain kerja merupakan suatu proses aktualisasi diri. [14]
  
      Tokoh yang terakhir adalah Karl Marx. Karl Marx menjadi salah satu tokoh penting yang memicu lahirnya diskursus yang mengemuka tentang tema kerja, khususnya tentang hubungan kerja-kerja industri.  Dalam ‘Manifesto of the Communist Party’ (1848)  Marx menegaskan, “Sejarah dari semua masyarakat: yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”[15]. Menurut Marx, dalam hubungan dengan kerja-kerja industri ada dua kelompok yang terlibat. Pertama adalah kaum berjouis. Mereka adalah para pemilik modal yang mempekerjakan kaum buruh di lahan-lahan produksi mereka. Credo utama dari kaum berjouis (kapitalis) ini adalah mencapai keuntungan sebesar-besaranya. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal itu, mereka menekan upah buruh serendah-rendahnya. Selain itu, kekhasan mereka adalah jumlah mereka yang sangat sedikit. Kedua adalah kaum proletariat atau kaum buruh. Mereka adalah orang-orang yang berjumlah banyak. Mereka menggunakan tenaga mereka untuk bekerja di lahan-lahan produksi milik kaum kapitalis. Sebagai imbalannya mereka tidak mendapatkan apa yang mereka hasilkan, tetapi mendapatkan upah yang sering kali tidak sebanding dengan kerja mereka. Ditinjau dari perspektif John Lock, hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan dan pemangkasan hak asasi kaum buruh. Karena hak milik mereka atas apa yang mereka hasilkan sama sekali disangkal.

      Tentang situasi yang dialami oleh kaum buruh dan berjouis, Marx menulis:
Syarat terpokok untuk hidupnya, dan berkuasanya kaum berjouis, adalah terbentuknya dan bertambah besarnya kapital; syarat untuk kapital adalah kerja-upahan. Kerja upahan semata-mata bersandar pada persaingan di antara kaum buruh sendiri. Kemajuan industri, yang pendorongnya dengan tak sengaja adalah berjouis, menggantikan terpencilnya kaum buruh, yang disebabkan oleh persaingan, dengan tergabungnya mereka secara revolusioner, yang diperoleh karena perserikatan. Perkembangan industri besar, karenanya, merenggut dari bawah kaki berjouis landasan itu sendiri yang di atasnya berjouis menghasilkan dan memiliki hasil-hasil.[16]

Situasi yang digambarkan Marx di atas menujukkan beberapa kenyataan berikut: Pertama, kaum proletar mengalami alienasi dalam empat bidang. Meraka teralienasi dari pekerjaannya karena mereka diperlakukan sebagai alat produksi yang bersifat mekanik, alienasi dari hasil pekerjaannya karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka hasilkan, tetapi mereka mendapat upah, alienasi dari pekerja lainnya karena mereka senantiasa berada dalam persaingan satu sama lain, dan alienasi dari kemampuan mereka karena  mereka tunduk di bawah mesin-mesin produksi.[17]

Berdasarkan situasi di atas dan juga dipengaruhi oleh Hegel, Marx menempatkan pekerjaan sebagai realisasi diri melalui obyektivasi. Ia yakin bahwa kenyataan manusia sepenuhhnya hanya bisa tercapai melalui pekerjaan. Namun, bagi Marx pernyataan diri yang tidak terungkap dalam keterlibatan penuh dalam pekerjaan, tetapi terlebih juga melalui karya-karya nyata yang memungkinkan manusia memandang diri dalam hasil pekerjaannya. Menurut Marx, hasil kerja manusia tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri, tetapi juga dirasakan oleh orang-orang lain, bahkan oleh orang-orang dari zaman yang berbeda. Oleh sebab itu, kerja juga dapat menjadi penghubung manusia dengan manusia lain dari generasi ke generasi. Di sinilah letak dimensi sosial dan historis dari kerja manusia.[18]

Relevansi Etis antara Kerja dan Humanisasi Manusia

Peradaban manusia yang berubah dari waktu ke waktu turut memengaruhi pola pikir dan cara manusia memaknai kerja sebagai salah satu fakta eksistensial dalam hidupnya. Pada filsuf Yunani kuno dan abad Pertengahan misalnya, kita menemukan bagaimana kerja (tubuh) dianggap kurang bernilai atau bermakna. Hal yang bersifat rohani lebih bernilai dari pada hal-hal badaniah. Pada masa yang sama, praktik perbudakan dianggap lumrah dalam masyarakat. Wacana dan praksis  hak asasi manusia belum terlalu disadari. Sehingga suatu pemaknaan kerja yang berbasis pada refleksi atas hak-hak asasi manusia juga belum muncul. Dalam konteks inilah tendensi eksploitasi manusia oleh manusia lain sangat besar. Esploitasi para budak oleh majikannya bahkan tidak dilihat sebagai suatu bentuk ketidakadilan. Hal itu diterima begitu saja (taking for granted) sebagai suatu yang memang seharusnya demikian karena para budak tidak memiliki kesanggupan untuk berpikir (menggunakan pikirannya secara maksimal) sebagai sesuatu yang bernilai tinggi.
      
Pada era reformasi dan industrialisasi, kesadaran akan pentingnya kerja sebagai suatu bentuk aktualisasi diri yang sempurna mulai muncul. Kerja mulai dilihat sebagai bagian integral dari diri manusia dan merupakan haknya yang mesti dihormati. Kesadaran ini muncul di tengah maraknya eksploitasi para buruh oleh para pemilik modal. Manusia sering kali dikontrol oleh nafsu alamiah dan keinginan untuk menguasai. Dominasi manusia terhadap manusia lain marak terjadi.  “Nafsu yang dominan adalah kecenderungan untuk bertahan hidup dan untuk berkuasa.”[19] Kondisi ini melahirkan apa yang oleh Hobbes sebut, ”Bellum omnium contra omnes” - perang semua melawan semua. “Salah satu alasan mendasar perang semua melawan semua adalah dinamika kekuasaan yang menjadi karakter dasar hidup manusia.”[20]

Kompetisi adalah pernyataan paling tinggi dari peperangan semua lawan semua dalam mengatur masyarakat sipil modern.[21] Kompetisi telah melahirkan perang terbuka satu sama lain. Dalam pemahaman Hegel, dengan adanya kompetisi, orang melihat sesamanya hanya sebagai obyek yang menguntungkan. Konsekuensinya setiap orang saling mengeksploitasi dan menginjak-injak orang yang lemah.[22] Dalam kesadaran inilah kaum proletariat dan orang-orang lemah dirugikan. Karena mereka hampir pasti tidak memiliki kekuatan untuk melawan dominasi kaum kapitalis. Sementara pada saat yang sama orang-orang lemah itu butuh sokongan untuk mempertahankan hidupnya. Perindustrian sendiri juga, sebagaimana diulas Engels, tidak bisa bertahan hidup tanpa perbudakan dan pemiskinan buruh ini.

Kondisi di atas memicu lahirnya refleksi mendalam akan kerja manusia. Sebab manusia pada dasarnya berharga. Manusia tidak layak diinjak-injak dan dieskploitasi.  Manusia begitu berharga. Oleh karena itu kerja manusia tidak bisa disamakan dengan kerja hewan. Kerja manusia seharusnya mematangkan kepribadiannya dan merupakan  suatu sarana aktualisasi dirinya sebagai manusia. Manusia akan menjadi semakin manusiawi melalui kerja. Dengan demikian, seperti dikatakan Locke, kerja merupakan suatu yang sangat penting bagi eksistensi manusia. Kebermaknaan eksistensi manusia dalam hal ini juga sangat ditentukan oleh bagaimana manusia bekerja secara maksimal dan penuh tanggung jawab. Hal itu berarti kerja butuh keseriusan dan tanggung jawab. Adanya keseriusan dan tanggung jawab mengandaikan adanya kesadaran dalam diri manusia itu sendiri tentang makna kerja bagi eksistensi dan kehidupannya.

Kerja tetap merupakan suatu yang sangat mendasar bagi manusia. Kerja bagi manusia tidak meluluh dilihat sebagai suatu tuntutan ekonomi dan biologis. Lebih dari itu kerja merupakan suatu tuntan kodrati bagi manusia sebagai makhluk sosial dan personal. Melalui kerja kepribadian manusia dibentuk. Melalui kerja juga manusia dapat mewujudkan dirinya secara sempurna. Maka kerja sebenarnya merupakan sarana untuk memanusiakan manusia. Agar kita lebih memahami bagaimana hubungan antara kerja dan humanisasi manusia, maka baiklah kita perlu memahami dimensi-dimensi kerja manusia.

Dimensi - Dimensi Kerja

Secara umum kerja manusia memiliki empat dimensi, yaitu dimensi sosial, dimensi personal, dimensi etis, dan dimensi rohani. Pertama, dimensi sosial. Faktum bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri mendorong manusia keluar dari dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Martin Heideger menyebut kenyataan ini sebagai sebuah keterlemparan. Menurutnya eksistensi kita berperan sebagai Dasein. Oleh karena itu, eksistensi kita menentukan kemungkinan-kemungkinan pengetahuan sekaligus segala sesuatu yang lain. Peristiwa eksistensi ini adalah keterlemparan.[23] Hidup manusia adalah sebuah keterlemparan bersama orang lain. Gagasan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu melibatkan orang lain. Hal ini merupakan kodrat mendasar manusia. Dengan demikian kerja tidak bisa terlepas dari bingkai sosialitas.[24] Manusia akan berkembang sebagai pribadi yang utuh melalui perjumpaan dengan orang lain, antara lain melalui tugas dan pekerjaannya.[25] Dalam pandangan Karl Marx, ‘setiap orang bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain’. Beras yang dihasilkan oleh seorang petani sawah misalnya tidak hanya berguna untuk dirinya sendiri, tetapi juga berguna untuk kepentingan banyak orang. Dengan demikian tidak harus semua orang mengambil pekerjaan sebagai petani sawah, cukuplah jika hanya sebagian orang saja yang bekerja sebagai petani sawah sedangkan yang lain boleh menikmati hasil dari pekerjaan mereka.
            Kedua, dimensi personal. Setiap orang niscaya membutuhkan apresiasi dan pengakuan dari orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam dunia kerja, seseorang akan semakin termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi jika ia mendapat apresiasi dan pengakuan serta penghargaan (reward) dari orang lain atas keberhasilannya dan bahkan jika perlu juga untuk kegagalannya. Dukungan yang diberikan dapat meningkatkan gairah dan kepercayaan diri seseorang, sehingga ia akan terus berusaha bekerja dengan maksimal. Dalam konteks ini pengakuan orang lain juga dapat mendorong individu untuk terus mengaktualisasikan diri dan kemampuannya.
     
Kerja merupakan sarana untuk mengekspresikan kemampuan diri seseorang. Manusia dapat berkembang menjadi pribadi yang utuh melalui kerja; karena dalam pekerjaannya manusia dapat menggunakan segala kemampuan kognitif, afektif dan personalnya.  Di sini, kerja turut mengafirmasi kemanusiaan manusia, karena kemanusiaan manusia justru semakin mendapat pengakuannya ketika manusia sendiri mewujudkan dirinya secara sempurna dalam tugas dan karyanya. Dengan kata lain, kerja adalah sarana perwujudan diri manusia. “Bagi orang yang bekerja baik, sesuai dengan standar yang ada untuk berprestasi, akan sangat terbuka kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Orang tidak berkembang optimal, kadang-kadang bukan karena tidak mampu, tetapi karena kurang mendapat kesempatan, atau lebih ironis lagi, kurang, bahkan tidak mau menggunakan kesempatan.”[26]
           
Ketiga, dimensi Etis. Salah satu aspek vital dari kerja manusia adalah dimensi etis. Dimensi ini mengandaikan bahwa kerja manusia tidak hanya bermakna bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Dimensi etis berhubungan dengan nilai moral. Nilai ini bahkan menjadi landasan untuk mewujudkan dimensi personal dan sosial dari kerja. Nilai moral selalu berkaitan dengan beberapa hal ini, yaitu keadilan, tanggung jawab, dan kejujuran.[27] Dimensi etis ini mengingatkan kita akan keharusan untuk tidak menempatkan manusia sebagai obyek dari manusia lainnya dan dari pekerjaannya. Kekerasan yang muncul dalam dunia kerja sering kali terjadi karena manusia mengobyekan yang lain. Pemilik modal misalnya mengobyekan kaum buruh melalui sistem kerja yang melampaui batas waktu kerja normal, pemberian upah yang tidak sesuai dengan UMR, adegan-adegan penyiksaan dan penyekapan, dan berbagai macam penyimpangan lainnya. Selain itu, dimensi etis ini juga menyadarkan kita akan pentingnya tanggung jawab dalam dunia kerja. Pemilik modal terikat tanggung jawab dengan pekerja, demikian pun sebaliknya pekerja terikat tanggung jawab terhadap pemilik modal. Lebih dari itu, bentuk tanggung jawab yang paling mendasar adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri. Tanggung jawab terhadap diri sendiri mendahului tanggung jawab terhadap sesama.
           
Keempat, dimensi rohani atau spiritual. Dimensi rohani merupakan suatu pemaknaan kerja dari perspektif religius. Hal ini mau menunjukkan bahwa pekerjaan sesorang itu sungguh mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dari sekadar yang dikerjakannya. Pekerjaan merupakan sarana bagi seseorang untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan menyatakan cintanya kepada sesama. Bila hal ini disadari benar, bekerja bisa bernilai kerasulan.[28]

Penutup

Kerja merupakan suatu yang sangat mendasar bagi manusia. Kerja manusia berbeda dengan kerja hewan. Bagi manusia kerja merupakan bagian dari kodratnya dan sebagai sarana perwujudan diri. Melalui kerja manusia mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri yang sempurna tentu turut membentuk kepribadian manusia. Dengan demikian kerja bagi manusia turut mematangkan kepribadiannya. Di sini, nilai kerja tidak hanya dimaknai dari perspektif ekonomis dan biologis, tetapi juga dari perspektif personal dan  sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kerja merupakan sarana pemanusiaan manusia.

Secara sosial, relasi yang dibangun dalam dunia kerja adalah relasi interpersonal. Relasi interpersonal adalah relasi subyek-subyek bukan subyek-obyek. Hal ini berarti dunia kerja seharusnya alergi dengan segala macam bentuk penindasan dan eksploitasi. Setiap pribadi yang terlibat dalam dunia kerja harus memperlakukan sesamanya sebagai partner yang turut membentuk kepribadiannya. Perlakuan yang demikian mengandaikan setiap orang menempatkan sesamanya sebagai manusia yang memang harus dihargai dan bukan alat yang dapat dieskpolitasi dan ditindas. Ketika manusia taat pada nafsu alamiah, ia akan terjebak dalam hasrat untuk menguasai. Hasrat untuk menguasai memperlebar kehendak untuk mendominasi yang lain dan memperlakukan yang lain secara tidak manusiawi.  Dan justru hal inilah yang harus dihindari dalam dunia kerja.

Gagasan para filsuf yang ditampilkan di atas kiranya turut mematangkan penilaian kita terhadap makna kerja bagi manusia. Selanjutnya pemaknaan kerja yang mendalam dan komprehensif mendorong kita untuk semakin bertanggung jawab atas setiap pekerjaan yang kita emban. Lebih dari itu, pengetahuan yang memadai tentang makna kerja manusia kiranya memacu kesadaran kita akan pentingnya perlindungan yang baik terhadap para pekerja. Kita mesti peka terhadap situasi di sekitar kita. Jika ada ketidakadilan terhadap para buruh, kita mesti menjadi orang yang terdepan memperjuangkan keadilan bagi mereka. Selain itu, yang lebih penting adalah dengan memahami makna kerja manusia, kita sendiri tidak menjadi pelaku ketidakadilan terhadap para pekerja, karena kerja manusia pada dasarnya memanusiakan manusia.

           



[1]Friedrich Engels, Kondisi Kelas Pekerja Inggris, Embrio Sosialisme Ilmiah, penyadur Hidayat Purnama (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), hlm. 20.
[2]James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, terj. CB. Mulyatno Pr. (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 8.
[3]Kasdin Sitohang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme, cet. Ke- 8 (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 138.
[4]James Garvey, op. cit., hlm. 25-27.
[5]Kasdin Sitohang, op.cit., hlm. 139.
[6]Ibid., hlm. 140.
[7]Max Weber, Etika Protestan dan spirit Kapitalisme, terj. TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 9.
[8] Bernard Raho, SVD, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 260-261.
[9] Kasdin Sitohang, loc. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 140-141.
[12]Ibid.
[13] Ibid., hlm. 142.
[14] Iibid., hlm 143-144.
[15] Karl Marx & Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis,  terj. D. N Aidit dkk. (Yogyakarta: Cakrawangsa, 2014), hlm. 35.
[16] Ibid., hlm 52.
[17] Bernard Raho, SVD, op.cit., hlm. 164.
[18] Kasdin Sitohang, op. cit., hlm. 144-145.
[19] Otto Gusti Madung, Filsafat Politik, Negara dalam Bentangan diskursur Filosofis (Maumere: Penerbit Ledalero, 2013), hlm. 33.
[20] Ibid., hlm. 34-35.
[21] Friedrich Engels, op. cit., hlm. 31.
[22] Ibid., hlm 20.
[23] Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts, Heideger untuk Pemula, terj. P. Hardono Hadi, cetakan ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 44.
[24] Kasdin Sitohang, op. cit., hlm. 152.
[25] RD. F. A. Teguh Santoso, “Dimensi Kerja”, dalam A. Widyahadi Seputra dkk. (eds.), Kerja Wujud Bela Rasa Kristiani (Diterbitkan oleh Konsorsium Pengembangan Pemberdayaan Pastoral ekonomi Jakarta,  2013), hlm. 152.
[26] Ibid., hlm. 153.
[27]  Kasdin Sitohang, op. cit., hlm. 154-155.
[28] RD. F. A. Teguh Santoso, op.cit., hlm. 155.
KERJA: MEMANUSIAKAN MANUSIA KERJA: MEMANUSIAKAN MANUSIA Reviewed by insancerdaspolitik on August 01, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.