Semiotika Pilkada
Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa STFK
Ledalero, Anggota KMK Ledalero
Pilkada
serentak untuk 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) di
Indonesia sebentar lagi akan digelar. Sejauh ini, rakyat sekurang-kurangnya
sudah mengetahui nama-nama kandidat yang ikut bertarung dalam kontestasi
bergengsi ini. Nama-nama kontestan itu diketahui baik melalui deklarasi terbuka
para calon dan pemberitaan media maupun melalui baliho-baliho yang terpancang
di pinggir-pinggir jalan dan di tempat-tempat umum yang menampilkan wajah para
calon yang ikut bertarung. Selain wajah para kontestan, baliho-baliho yang
tersebar itu juga disertai dengan tag-line
paslon, visi-misi, dan propaganda politik.
Pada
momen pilkada seperti ini biasanya setiap tindakan, perilaku, dan tutur kata
para calon di hadapan rakyat dan di media-media memunyai arti secara politik. Bukan hanya itu, senyuman dan lambaian tangan
pun juga memunyai arti politis. Yah, apalagi kalau bukan untuk memantik simpati
rakyat. Dalam filsafat bahasa dan ilmu komunikasi politik, hal semacam ini
disebut semiotika (politik).
Mitos dan Kode Semiotik Pilkada
Semiotika
sendiri berarti teori tentang tanda dan penandaan. Roland Barthes, seorang ahli
semiotika terkenal misalnya melihat kehidupan sosial, kultural, dan politik
dalam kerangka penandaan. Hal itu berarti dalam kerangka sifat-sifat objek yang
tidak bersifat esensial. Dikatakan demikian, karena tanda selalu menyimpan
“kebohongan”, dalam arti ia tidak mengartikan dirinya sendiri. Tanda selalu
mengartikan apa yang ditandakan. Dalam konteks ini, tanda sangat mungkin
menimbulkan multitafsir. Maka, bagi orang yang gagal fokus, ia sulit membedakan
antara “tanda” dan “apa yang
ditandakan”, antara fakta dan fiksi, serta antara realitas dan mitos.
Mengutip
Barthes, mitos didefinisikan dengan “bagaimana caranya mengutarakan pesan”.
Dalam mitos, yang penting adalah cara ia mengatakan apa yang harus
dikatakannya, dan ini menyesatkan. Dalam arti tertentu ia sebenarnya bukanlah
kebohongan atau pengakuan, melainkan pembelokan (John Lechte dalam Admiranto
(penter.), 2001). Oleh karena itu, rakyat mesti pandai-pandai membaca tanda dan
penandaan para calon menjelang pilkada ini. Sebab bukan hal baru lagi jika kita
melihat dalam momen seperti ini para calon begitu pandai merumuskan propaganda
politik untuk mengelabui pikiran rakyat serentak menggiring pilihan rakyat pada
paslon bersangkutan. Selain itu, mereka juga pandai menggunakan simbol-simbol
budaya untuk membangkitkan sentimen kedaerahan. Sebab mereka tahu benar bahwa orang
NTT masih kuat terikat oleh sentimen kedaerahan dan primordialisme. Akan tetapi
kode semiotik semacam itu akan menjadi dagelan pada siang bolong jika rakyat
benar-benar kritis menilai gerak-gerik para calon.
Salah
satu contoh kode semiotik pilkada yang menurut saya menarik untuk ditelisik
ialah propaganda politik yang muncul pada baliho salah satu pasangan calon
bupati di Kabupaten Sikka yang bertuliskan “beri bukti, bukan janji”. Sebagai
suatu propaganda politik pernyataan ini tidak menimbulkan persoalan. Yah,
namanya propaganda, yang dipentingkan ialah bagaimana ia memengaruhi keyakinan
orang untuk menganut aliran (politik) tertentu atau dalam konteks pilkada untuk
memilih pasangan calon bersangkutan. Akan tetapi, sebagai suatu pernyataan
politik, hal itu merupakan hoaks atau dalam bahasa Barthes disebut “mitos”
(politik). Sekurang-kurangnya ada beberapa alasan mengapa pernyataan ini
disebut hoaks atau “mitos” (politik).
Pertama, kalau kita perhatikan secara teliti, pernyataan “beri bukti,
bukan janji” sebenarnya merupakan serangkaian janji. Formulasi lain dari
pernyataan ini adalah kami berjanji bahwa kami akan memberikan bukti, bukan
hanya sekedar janji. Kedua, politik
tidak pernah terlepas dari janji. Politik tanpa janji adalah absur, irasional,
dan naif. Yang dibutuhkan dalam politik ialah bahwa janji politik mesti
proporsional dan realistis dan jangan mengawang-awang. Janji politik merupakan
bahasa lain dari komitmen politik yang terejawantahkan dalam visi-misi paslon
bersangkutan. Ketiga, dalam arti
tertentu pernyataan “beri bukti, bukan janji” merupakan sebuah antisipasi mekanisme
pertahanan diri, ketika nanti ego pemimpin diserang, sebab bukti yang
dimaksudkan masih kabur dan tidak jelas. Rakyat tidak tahu pasti bukti apa yang
dimaksudkan oleh paslon bersangkutan. Maka hemat saya, sangat boleh jadi
pasangan calon bersangkutan ragu-ragu untuk mengumbar janji, karena mereka tahu
bahwa janji adalah utang dan utang mesti dibayar. Konsekuensinya ketika suatu
saat saat janji itu tidak dipenuhi, rakyat berhak menagihnya. Pada tataran ini,
kiranya disadari bahwa janji dalam politik tetap merupakan hal yang niscaya.
Masih
banyak contoh semiotika pilkada yang mesti dikritisi oleh rakyat. Rakyat mesti
pandai membaca sistem tanda yang digunakan oleh para calon baik itu berupa,
visi dan misi, tutur kata, propaganda politik, maupun aksi-aksi musiman para
calon yang hanya muncul pada saat pilkada untuk memberi kesan semu bahwa
dirinya adalah pribadi yang pro-rakyat dan “penderma ulung” yang prihatin
dengan keadaan rakyat. Selain itu, sebagai suatu sistem makna, makna dari tanda
mesti disingkapkan. Untuk menyingkapkan makna yang tersirat itu, dibutuhkan
kejelian dan kejernian berpikir dari rakyat sebagai pusat demokrasi. Sudah
saatnya kita menjadi rakyat yang kritis menilai dan cerdas memilih. Salam
perubahan!
Semiotika Pilkada
Reviewed by insancerdaspolitik
on
August 01, 2018
Rating:
No comments: