Recent Posts

banner image
banner image

KETIKA MANUSIA MENJADI BARANG DAGANGAN (Catatan atas Anomali Praktik Belis di Manggarai)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah La'at Natas (Buletin Para Frater SVD Asal Provinsi SVD Ruteng) edisi Januari-Juni 2018.

Ferdi Jehalut
Membebaskan Perempuan dari Jerat Adat - Kompasiana.com
Foto ilustrasi: Kompasiana.com

Pengantar

            Budaya adalah hal yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Para antropolog mengatakan bahwa budaya merupakan ciptaan manusia dan manusia juga adalah produk budaya.  Budaya adalah ciptaan manusia karena memang ia  dihasilkan oleh manusia dalam relasinya dengan sesama dan lingkungan. Manusia adalah produk budaya karena manusia lahir dan dibesarkan selalu dalam budaya atau konteks masyarakat tertentu. Dengan demikian, seluruh hidupnya sudah pasti dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
            Budaya berhubungan dengan nilai. Nilai itu terungkap dalam ekspresi budaya dalam kehidupan masyarakat. Antara nilai dan ekspresi budaya itu bisa saja muncul ketegangan. Ketegangan muncul ketika ekpresi budaya tidak mencerminkan dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya bersangkutan sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang.
            Ketegangan di atas hemat saya tampak juga dalam praktik belis yang terjadi di Manggarai saat ini. Jika kita mengamati dan memperhatikan secara serius, praktik belis di Manggarai saat ini menunjukkan adanya anomali yang mungkin sulit diatasi. Ekspresi budaya ini dalam kenyataannya menunjukkan adanya penyimpangan dari nilai-nilai awal yang hendak diungkapkan dari budaya itu sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang. Perempuan seringkali diperlakukan seolah sebagai barang dagangan yang standar harganya ditetapkan dengan tegas tanpa kompromi. Praktik semacam itu tak jarang mendapatkan pembenaran karena didasari oleh alasan sebagai bentuk penghormatan terhadaap martabat perempuan. Pertanyaannya, benarkah hal itu sebagai perwujudan penghormatan terhadap martabat perempuan? Ataukah ada suatu penyimpangan yang terselubung di baliknya yang mungkin kurang disadari?
Manusia dan Barang Dagangan
Saat kita berbelanja di tokoh, kita akan menemukan sejumlah barang dengan harganya masing-masing. Untuk bisa mendapatkan barang-barang itu, kita harus membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sesuai dengan harga barang yang kita mau beli. Setiap barang memunyai standar harganya masing-masing. Standar itu sudah ditetapkan oleh pemiliknya berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Kalau saja terjadi tawar-menawar saat proses transaksi, mustahil pemilik tokoh itu menetapkan harga di bawah standar yang ada, karena jika demikian maka ia akan rugi dan usahanya sudah pasti bangkrut. Hal ini akan selalu berlaku kapan dan di mana pun. Sebab hukum pasar berlaku di mana-mana, yakni “mengejar keuntungan sebesar-besarnya”. Membalikan hukum ini berarti membiarkan bisnis hancur dan mati.
Dalam dunia bisnis, setiap barang selalu punya harga. Untuk suatu yang punya harga selalu ada alternatif untuk menggantikannya. Misalnya kita hendak membeli “rinso” di tokoh, tapi ternyata persediaan rinso habis; kita bisa membeli “daia” atau detergen lain sebagai penggantinya. Selain itu, barang-barang yang punya harga tidak bernilai dalam dirinya sendiri. Ia baru bernilai sejauh berhubungan dengan manusia yang menghasilkan dan menggunakannya.[1] Rinso misalnya tidak punya nilai dalam dirinya sendiri. Ia baru bernilai sejauh dihubungkan dengan manusia yang menghasilkan dan menggunakannya. Nilai itu adalah nilai guna. Nilai ini tidak melekat dalam rinso itu sendiri. Ia selalu dihubungkan dengan manusia yang menghasilkan dan memanfaatkannya. Itu berarti, pada tataran tertentu, nilai merupakan hasil konstruksi (budaya) manusia.
Berbeda dengan barang-barang dagangan di pasar, manusia adalah makluk yang bernilai bagi dan dalam dirinya sendiri. Dalam terang pemikiran Kristen, manusia adalah ciptaan yang paling istimewah dari segala ciptaan lainnya. Ia memiliki martabat yang tak dapat ditukar oleh barang apa pun. Martabat itu melekat dalam dirinya semata-mata karena ia manusia. Hukum atau budaya apa pun tidak bisa mencabutnya, karena ia melekat dalam kemanusiaan manusia. Dengan demikian, martabat luhur manusia itu merupakan suatu kualitas yang tak tergantikan dan tak dapat dihapus oleh kategori apa pun, termasuk kategori budaya. Ia sudah selalu berada bersama dengan adanya manusia.
Belis dan Martabat Manusia
            Coba kita sejenak melihat praktik belis yang terjadi di Manggarai saat ini. Di beberapa wilayah kita akan sulit membedakan antara belis yang sesunguhnya sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang kita dan praktik “jual-beli manusia” yang terselubung. Hal itu tampak dalam kenyataan penetapan standar belis yang mengikuti pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial orangtua atau keluarga di tengah masyarakat. Hukum yang berlaku biasanya ialah semakin tinggi pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial orangtua atau keluarga besar dari mempelai wanita semakin tinggi pula belis yang mesti dibayar oleh mempelai laki-laki. Bahkan yang menarik ialah tuntutan itu harus dilunasi oleh mempelai laki-laki. Jika tidak, perkawinan bisa saja dibatalkan. Hal ini barangkali tidak terjadi untuk kebanyakan keluarga yang masih sadar akan nilai-nilai hakiki belis yang diwariskan oleh nenek moyang. Akan tetapi, mesti diakui bahwa fenomena seperti itu ada dan sedang terjadi.
Praktik belis seperti digambarkan di atas hampir menyerupai transaksi barang-barang dagangan di pasar. Dalam dunia pasar atau bisnis kita mengenal hukum ini: “semakin tinggi kualitas barang, semakin mahal pula harganya”. Jadi, harga barang bergantung pada kualitas barang bersangkutan. Di sini pertimbangan psiko-emosional, afeksi, cinta, relasi, sosial, kultural dan martabat tidak muncul, karena memang hal-hal semacam itu tidak ada pada barang-barang.  Hanya manusia sebagai “individu yang memasyarakat dan masyarakat yang mengindividu serta sebagai makluk yang tersusun atas kesatuan harmonik jiwa-raga-lah” yang memiliki hal-hal semacam itu. Di sinilah letak perbedaan manusia dan bukan manusia.
Manusia memiliki martabat, sedangkan barang-barang tidak. Martabat manusia merupakan suatu yang secara niscaya ada pada manusia. Ia melekat dalam diri manusia semata-mata karena ia manusia. Hal itu membawa serta konsekuensi bahwa setiap orang pertama-tama mesti dihargai sebagai manusia  terlepas dari kategori dia sebagai laki-laki atau perempuan, orangtua atau anak-anak, berkulit putih atau berkulit hitam, dll. Dengan demikian, pola relasi atau budaya apa pun mesti selalu berpegang pada prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Perendahan terhadap martabat manusia justu terjadi ketika manusia diperlakukan sama seperti barang-barang, binatang atau yang bukan manusia.
Dalam hubungannya dengan budaya belis, pertanyaan yang muncul ialah, apakah benar belis merupakan perwujudan penghormatan terhadap martabat perempuan sebagai manusia? Jawabannya bisa “ya” dan bisa “tidak”. Hal itu tergantung ekspresi budaya itu dalam praktiknya di tengah masyarakat. Belis menjadi perwujudan penghoramatan terhadap martabat perempuan apabila ekspresi budaya itu dalam praktiknya tidak menyerupai transaksi barang dagangan di pasar. Sebaliknya ia bukanlah perwujudan penghormatan terhadap martabat perempuan ketika ekpresi budaya itu menyerupai transaksi barang dagangan di pasar. Dalam konteks ini pemaksaan terhadap mempelai laki-laki untuk melunasi hutang belis agar hubungan sebagai suami-istri antara kedua insan tetap berlanjut berarti justru merendahkan martabat perempuan, karena perempuan direduksi menjadi semacam barang dagangan yang standar harganya tidak mengenal kompromi.
Kita tahu bahwa barang-barang di pasar memunyai standar harga yang tidak mengenal kompromi bagi para pembeli. Kalau pun ada tawar-menawar antara pembeli dan penjual, mustahil penjual menetapkan harga di bawah standar yang ada, karena jika demikian, penjual akan rugi. Apabila uang pembeli tidak cukup, maka dengan sendirinya ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan barang tersebut. Di sini tidak ada kompromi, karena pertimbangan ekonomis, seperti mengejar keuntungan, menentukan pola relasi antara penjual dan pembeli.
Hal di atas tentu berbeda dengan pola relasi dalam perkawinan. Hukum yang terutama dalam perkawinan ialah hukum cinta. Cinta antara kedua mempelai tidak bisa dibatalkan hanya karena urusan adat tidak beres. Hal ini tidak berarti bahwa adat itu tidak penting. Adat tetaplah penting. Akan tetapi, adat itu hanya berfungsi untuk mengesahkan hubungan antara kedua mempelai secara sosial kultural. Oleh karena itu, keterbatasan ekonomi dari salah satu mempelai sehingga tidak bisa melunasi hutang belis misalnya, sama sekali tidak menjadi alasan mendasar untuk membatalkan hubungan cinta antara kedua insan. Pada titik ini, harus disadari bahwa budaya diciptakan untuk manusia dan bukannya manusia untuk budaya. Oleh karena itu, budaya apa pun harus menjunjung tinggi prinsip penghormatan terhadap martabat manusia.
Banyak orang berasumsi bahwa semakin mahal belis untuk seorang perempuan, semakin tinggi harkat dan martabatnya. Pada titik ini, kita mesti membedakan harkat dan martabat yang melekat pada manusia sebagai manusia dengan harga diri sebagai kualitas eksternal manusia yang sangat bergantung pada penilaian masyarakat. Sebagai suatu kualitas yang melekat secara inheren pada manusia, keberadaan martabat manusia tidak bisa direduksi kepada penerimaan uang dan barang materiil oleh seseorang dari orang lain baik melalui suatu hubungan adat maupun hubungan sosial lainnya. Bahwa pola hubungan itu menentukan penghoramatan terhadap martabat manusia benar. Namun, tidak benar bahwa pola hubungan itu menentukan keberadaan martabat manusia. Itu berarti, seorang dihargai atau tidak di masyarakat, ia tetap memiliki martabat luhur sebagai manusia. Penghargaan yang diberikan masyarakat tidak menambah atau mengurangi apa pun pada martabat manusia. Penghargaan yang diberikan hanya bertujuan agar orang merasa martabatnya tidak dilecehkan atau  supaya orang merasa dihargai sebagai manusia, tetapi tidak menambah apa pun pada keberadaannya sebagai manusia. Ia tetaplah manusia yang punya esensi kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan harga diri. Harga diri bukanlah suatu yang esensial pada manusia. Ia tidak berkaitan langsung dengan keberadaan manusia sebagai manusia. Entah orang dihargai atau tidak dalam masyarakat, ia tetaplah manusia. Akan tetapi, kita pun tetap dituntut untuk menghargai sesama. Namun, tidak benar bahwa demi memenuhi kebutuhan akan harga diri dan prestise sosial kita mengorbankan dimensi-dimensi hakiki pada manusia, seperti dimensi psikologis, afeksi, cinta, dan lain-lain. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa mahalnya belis untuk seorang perempuan tidak menambah apa pun pada kualitas harkat dan martabat manusia (perempuan). Hal itu hanya bertujuan meningkatkan prestise seseorang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, ia bisa dikompromi.
Belis: antara Nilai dan Ekspresi Budaya
Belis pada dasarnya merupakan suatu khazanah budaya yang bernilai. Ia bernilai bukan karena diwariskan secara turun- temurun, melainkan karena ia bernilai maka ia selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menuntut masyarakat kita untuk tetap melestarikan budaya itu. Tanpa kesadaran itu, budaya belis pasti sudah ditinggalkan sejak dulu, karena tidak ada gunanya orang melestarikan suatu yang tidak punya nilai dan makna bagi kehidupan masyarakat.
            Budaya selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Karena belis memunyai nilai-nilai maka ia layak disebut budaya. Budaya tanpa nilai dalam arti tegas bukanlah budaya, melainkan kebiasaan semata. Belis memiliki sejumlah nilai yang membuatnya layak disebut budaya dan karena itu pantas untuk dilestarikan. Nilai-nilai itu misalnya, nilai kekeluargaan, nilai gotong-royong, nilai tanggung jawab, nilai kemanusiaan, nilai perjuangan, nilai kesetiaan dan pengorbanan, dan lain-lain.
Bertolak dari kerangka penjelasan di atas, yang paling penting dari belis adalah nilai-nilai adat yang hendak diungkapkanya dan bukannya uang dan barang-barang materiil yang hendak dibawah. Uang dan barang-barang materiil hanyalah sarana untuk mengungkapkan nilai-nilai itu. Maka, akan menjadi terbalik tatkala kita mengedepankan uang dan barang-barang dari pada nilai-nilai yang diungkapkannya. Itu berarti uang dan barang-barang materiil tidak perlu berjumlah sangat besar sampai-sampai menimbulkan hutang baru bagi keluarga mempelai laki-laki. Selain itu, tidak perlu ada pemaksaan yang melampaui kemampuan ekonomis keluarga mempelai laki-laki. Apalagi kalau pemaksaan itu berujung pada pembatalan hubungan kedua mempelai. Hal ini jika terjadi berarti ekspresi budaya kita menyerupai hukum pasar dan dengan sendirinya budaya itu kehilangan nilainya yang luhur, karena manusia justru menjadi objek dari budaya yang diciptakannya. Padahal, ekspresi budaya itu bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada asalkan ia tidak kehilangan nilai-nilainya. Itu berarti yang penting adalah pembicaraan adat atau meja adat bukan barang-barang material dan uang. Dalam kebudayaan Manggarai dikenal istilah rojo wae nelu. Rojo wae nelu tidak menyerupai pola relasi di dunia bisnis. Hubungan yang terjalin dalam rojo wae nelu bukan hubungan yang langsung berakhir, melainkan hubungan yang akan terus berlanjut. Mengapa demikian? Karena rojo wae nelu menyingkapkan komunikasi manusia dengan manusia dan bukan manusia dengan binatang. Karena komunikasi itu melibatkan manusia dengan manusia, maka tidak ada yang ditempatkan sebagai objek. Keduanya sebagai subjek. Uang, barang material, dan binatang bisa saja menjadi sarana simbolis untuk mengungkapkan nilai-nilai dalam komunikasi itu, tetapi manusia tidak pernah menjadi objek. 
Penutup
            Belis tetaplah suatu warisan budaya yang bernilai. Kesadaran ini mendorong setiap generasi untuk mewarisinya secara turun-temurun. Dalam proses pewarisan itu, ekspresi budaya untuk mengungkapkan nilai itu bisa saja berubah, tetapi nilai-nilainya tetap atau ditambahkan, tetapi tidak boleh dikurangkan. Namun, hal yang penting diperhatikan ialah, ekspresi budaya apa pun bentuknya mesti menjunjung tinggi pernghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia mengandaikan manusia selalu ditempatkan sebagai subjek dari budaya dan bukannya objek yang diperlakukan sama seperti barang-barang dagangan di pasar.


[1] Pandangan ini berlaku untuk barang-barang yang dihasilkan oleh manusia untuk kepentingan atau kebutuhan kelangsungan hidupnya dan bukan untuk realitas ciptaan yang menurut Kitab Kejadian telah diciptakan baik adanya.
KETIKA MANUSIA MENJADI BARANG DAGANGAN (Catatan atas Anomali Praktik Belis di Manggarai) KETIKA MANUSIA MENJADI BARANG DAGANGAN  (Catatan atas Anomali Praktik Belis di Manggarai) Reviewed by insancerdaspolitik on August 01, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.