Masalah Hidup, Bunuh Diri,
dan Rasionalitas Manusia
Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa Tingkat II STFK Ledalero
Pengantar
“Jika seorang membunuh
yang lain, ia harus dihukum. Ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Akan tetapi, jika seorang membunuh dirinya sendiri, siapa yang harus dihukum
dan harus bertanggung jawab atas perbuatan itu. Setiap orang yang membunuh
dirinya sendiri adalah pelaku sekaligus korban. Sebagai pelaku ia seharusnya
dihukum, tetapi di sisi lain ia juga korban yang sudah mati karena perbuatannya
sendiri. Lalu pantaskah dia yang sudah terbaring kaku itu dihukum? Untuk apa
menghukum dia yang sudah mati itu?”
Pertanyaan di atas
mungkin kesannya agak naif. Namun, di sini mau dikatakan bahwa pernyataan bahwa
membunuh adalah perbuatan melanggar hukum dengan konsekuensi pelakunya harus
dihukum menemukan titik batas untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya
apalagi untuk mengatasinya. Mungkin tidak menjadi problematis kalau pelakukanya
bukan sekaligus korban, tetapi ketika si pelaku serentak juga menjadi korban, seperti
dalam kasus bunuh diri, pendekatan hukum seperti memberikan punishment menjadi tidak efektif dan
tidak relevan. Tindakan membunuh jelas merupakan suatu pelanggaran hukum (legal-formal).
Namun, lebih dari itu membunuh in se (dalam
dirinya sendiri) buruk atau jahat. Perbuatan itu jelas melanggar etika.
Bertolak
dari pandangan di atas, hemat saya agaknya susah berbicara tentang fenomena
bunuh diri yang selama ini cukup sering terjadi di daerah kita dari perspektif
hukum. Maka, baiklah jika fenomena itu ditelisik dari perspektif etika.
Tinjauan dari perspektif etika kiranya dapat menjelaskan sebab terdalam dari
fenomena bunuh diri sambil juga berupaya menemukan solusi atasnya. Maka, fokus
tulisan ini ialah melihat fenomena bunuh diri dari perspektif etika khususnya
etika teleologis Aristoteles, yakni eudaimonisme.
Eudaimonisme berasal dari bahasa
Yunani eudaimonia yang artinya kebahagiaan.
Etika ini melihat kebahagiaan sebagai tujuan ultim hidup manusia. Tujuan itu
dilihat dalam kerangka hakikat manusia sebagai ens rationale.
Ens Rationale
dan Ideal Manusia
Sebagai makhluk rasional, manusia dalam segala
tindakannya selalu terarah kepada tujuan ultim tertentu. Tujuan itu merupakan
sesuatu yang bernilai baginya. Nilai dari suatu tindakan itu berkaitan dengan
keberhargaan atau lebih tepat martabat-nya sebagai manusia, tetapi keberhargaan
dirinya (harkat dan martabatnya) sebagai manusia tidak ditentukan oleh nilai
dari tindakan itu. Aristoteles dalam Nichomachean
Ethics menyebutkan bahwa tujuan ultim itu tidak lain adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan berkaitan
dengan kebaikan manusia itu sendiri. Kalau begitu, bagaimana jika kebahagiaan
itu tidak tercapai? Apakah kebernilaian manusia itu hilang? Pertanyaan
lanjutannya ialah apa yang dilakukan manusia jika kebahagiaan itu tidak
tercapai? Apakah ia harus mengakhiri hidupnya (misalnya dengan cara bunuh
diri)?
Para
penganut hedonisme (kata Yunani hedone:
kenikmatan) menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup manusia dengan mengatakan,
manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan atau kesenangan. Jadi,
seluruh tindakannya diarahkan untuk mencapai kesenangan atau kenikmatan. Ada
yang melihat kesenangan itu berhubungan dengan kesenangan fisik dan ada pula
yang melihatnya berhubungan dengan ataraxia
atau kesenangan rohani. Gagasan ini berkembang sejak zaman Yunani Kuno (bdk.
Aristippos dan Epikurus) dan pada saat ini muncul dalam bentuknya yang sangat
praktis.
Ideal
mencari kenikmatan dan kesenangan semata-mata dan menghindari rasa sakit ditolak
dengan tegas oleh Aristoteles. Bagi Aristoteles tindakan yang hanya didasarkan
atas dorongan untuk mencari kenikmatan dan kesenangan belaka itu khas hewani. Aristoteles
menyebutnya dengan istilah “pola hidup ternak”. Yang membedakan manusia dengan
hewan justru terletak pada ciri rasionalnya.
Bertindak
untuk suatu tujuan tertentu merupakan suatu konsekuensi lansung dari hakikat
manusia sebagai makhluk rasional. Manusia melalui berbagai pertimbangan selalu
bertindak untuk tujuan tertentu. Aristoteles membedakan tujuan itu atas dua
macam. Pertama, tujuan antara (transistory: sementara) yang dikejar
demi tujuan lain. Ia berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan ultim. Misalnya
saya makan supaya kenyang. Kenyang di sini hanyalah tujuan sementara untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi dari padanya, yakni untuk bisa mempertahankan
hidup. Kedua, tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri. Tujuan yang dikejar demi
dirinya sendiri adalah kebahagiaan.[1] Kebahagiaan
adalah tujuan ultim dari semua tindakan manusia yang rasional. Disebut tujuan
ultim karena tujuan itu apabila dicapai tidak ada lagi yang masih dapat diminati
selebihnya, tetapi selama belum tercapai manusia belum merasa puas dan masih
harus mencarinya.[2]
Untuk
mencapai kebahagiaan selalu dibutuhkan proses. Kebahagiaan tidak pernah datang
dengan sendirinya. Kebahagiaan bukanlah rahmat yang semata-mata bergantung pada
kemurahan Tuhan. Kebahagiaan bukanlah barang yang bisa dimiliki selama-lamanya.
Memiliki barang tertentu boleh saja membuat anda senang, tetapi ia tidak
menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai yang ‘dialami’ bukanlah sesuatu yang statis,
melainkan sesuatu yang dinamis. Hari ini anda boleh bahagia, tetapi itu tidak
menjamin bahwa tahun depan anda akan tetap bahagia. Kebahagiaan juga tidak
menjadi monopoli pribadi tertentu, tetapi setiap makhluk rasional sangat
mungkin mengalaminya. Akan tetapi, keberadaan manusia sebagai manusia tidak
boleh direduksi hanya pada pencapaian kebahagiaan. Dengan ini pertanyaan
menyangkut dilema tindakan yang harus dilakukan manusia jika kebahagiaan itu
tidak tercapai bisa terjawab. Bahwa manusia tidak pernah boleh mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri jika kebahagiaan itu tidak tercapai.
Kalau
dikatakan bahwa tujuan tindakan manusia ialah untuk mencapai kebahagiaan,
pertanyaannya ialah bagaimana manusia yang rasional itu bisa mencapai
kebahagiaan? Pertanyaan ini tidak lain adalah pertanyaan tentang bagaimana
manusia harus hidup. Aristoteles akan menjawab, “manusia harus menata
kehidupannya sedemikian rupa hingga ia menjadi semakin bahagia”.[3] Di
sini perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan Aristoteles semua tindakan manusia
itu ‘baik’ karena senantiasa terarah pada satu tujuan yang in se ‘baik’.[4] Dalam
hal keburukan, itu hanyalah privatio
(kekurangan dari sesuatu yang seharusnya ada). Keburukan atau malum adalah privatio boni (kebaikan yang seharusnya ada, tapi nyatanya tidak
ada).
Kebahagiaan
dalam perpektif Aristoteles didefinisikan sebagai “tindakan jiwa yang selaras
dengan keutamaan sempurna”. Istilah Yunani psyche
dan arete yang digunakan oleh
Aristoteles sering diterjemahkan dengan jiwa atau keutamaan. Kekhususan jiwa
manusia adalah ciri rasionalnya. Oleh karena itu, tindakan manusia berhubungan
dengan pemikiran dan penalaran.[5] Di
sini tidak dimaksudkan bahwa moralitas kehilangan tempatnya dalam hidup
bahagia. Dalam pembahasannya tentang keutamaan, Aristoteles membedakan antara
keutamaan moral dan keutamaan intelektual.[6] Keutamaan
moral justru terletak dalam upaya menjadikan hasrat untuk mencari kenikmatan
dan menghindari perasaan sakit sebagai hal yang membantu manusia untuk
mengembangkan diri. Dengan kata lain, upaya mengatasi hasrat mencari kenikmatan
dan menghindari rasa sakit adalah keutamaan moral pada manusia. Keutamaan moral
sering juga disebut keutamaan etis yang berhubungan dengan penyempurnaan
tingkah laku. Namun, ini bukanlah puncak dari tindakan manusia.[7] Sedangkan,
berkaitan dengan keutaman intelektual kiranya jelas bahwa manusia yang utama
ialah manusia yang bertindak selalu berdasarkan pertimbangan akal budinya.
Itulah yang membedakannya dengan binatang yang hanya bertindak berdasarkan
naluri atau insting semata-mata.
Masalah
Hidup, Bunuh Diri, dan Rasionalitas Manusia
Selama
kita masih hidup masalah akan selalu ada. Bagi manusia yang terbatas, kebaikan
selalu dialami beriringan dengan keburukan. Tidak ada manusia yang sejak kelahiran
sampai kematiannya selalu mengalami kebaikan, demikian pun sebaliknya. Pada
suatu saat di mana kebaikan itu seharusnya ada, tetapi nyatanya tidak ada,
manusia mengalami keburukan. Keburukan itulah yang sering disebut sebagai
derita.
Derita sering membuat
manusia merasa cemas, gelisah, tidak aman dalam hidup, putusasa, dan bahkan tak
jarang manusia merasa hidupnya tidak berarti lagi. Inilah “problem”[8]
dalam hidup manusia. Namun, bagaimanapun manusia harus menghadapi itu, karena
selama manusia masih hidup pengalaman semacam itu akan selalu ada. Oleh karena
itu, tidak ada pilihan yang lebih bijak bagi manusia yang rasional untuk
menghadapi serta mengatasinya dan bukan malah menghindarinya.
Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa masalah atau problem tidak bisa terlepas dari hidup manusia. Akan
tetapi manusia itu sendiri tidak pernah menghendaki adanya masalah-masalah yang
membuat dirinya guncang dan goyah. Secara ontologis, manusia dari kodratanya
selalu menghendaki kebaikan. Tidak ada manusia yang menghendaki penderitaan. Menghendaki kebaikan adalah suatu kecendrungan
kodrati manusia (appetitus naturalis).
Namun, dalam mengejar kebaikan itu sering kali secara tidak langsung manusia
juga mengejar keburukan.
Misalnya, seorang anak
gadis dan seorang lelaki yang belum menikah melakukan hubungan seks dengan
tujuan untuk mengejar kenikmatan seksual. Ketika suatu waktu anak gadis itu
hamil sementara lelaki yang menggaulinya tidak mau bertanggung jawab, anak
gadis itu menjadi frustrasi, malu, tertekan, dan stress. Untuk mengakhiri
keadaan itu, si gadis tadi bukannya mencari solusi yang bijak, tetapi justru
bunuh diri. Ia mengira bahwa bunuh diri bisa menghindarkannya dari perasaan
sakit dan stress, tapi nyatanya hal itu justru mengakhiri hidupnya di dunia
ini. Di sini gadis dan lelaki yang pada mulanya bermaksud mengejar kebaikan
(kenikmatan), pada akhirnya justru mengalami keburukan. Nasib malang menimpa
keduanya, terutama si gadis.
Masalah di satu sisi
merupakan sesuatu yang secara tidak langsung dikejar oleh manusia ketika ia
mengejar kebaikan. Di sisi lain, masalah merupakan sesuatu yang ditemukan dan dialami oleh
manusia dan menuntut dia untuk menggumuli dan mengatasinya melalui kemampuan
inteleknya. Dalam situasi itu baiklah
kalau manusia selalu menyadari bahwa masalah merupakan suatu yang tak
terhindarkan dari hidup manusia. Bahkan ada sebagian orang mengatakan bahwa
hidup manusia itu sendiri adalah masalah. Di sini tidak dimaksudkan bahwa in se hidup itu buruk. Akan tetapi mau
dikatakan bahwa selama manusia hidup ia akan selalu mengalami kompleksitas
masalah kehidupan. Pada tataran ini manusia tidak boleh menghindar dari masalah-masalah
itu. Menghindar dari masalah-masalah hidup berarti manusia menjadikan dirinya
sebagai pengecut yang tidak mau
bertanggungjawab atas hidupnya sendiri. Manusia justru dituntut untuk
menggumuli dan mengatasi masalah-masalah hidupnya dengan menggunakan kemampuan
akal budi yang ada padanya. Dengan demikian pilihan bunuh diri untuk mengakhiri
masalah bukanlah pilihan yang bijaksana.
Bertolak dari kerangka
penjelasan di atas, hemat saya ada tiga cacat besar yang tampak dari aksi bunuh
diri. Pertama, manusia enggan untuk
berpikir. Kemalasan dan keenggan untuk berpikir menjadi salah satu faktor utama
munculnya keputusan untuk bunuh diri. Seorang tidak mau berpikir untuk mencari
solusi yang baik atas masalah yang dia hadapi. Kemalasan berpikir ditunjukkan
dalam kenyataan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, meskipun
sebenarnya hal itu justru menimbulkan masalah baru baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.
Kedua, manusia dikuasai oleh emosi atau perasaan
dari pada akal budi. Ketika akal budi berada dibawah kendali nafsu dan emosi,
tindakan-tindakan yang tak terpuji akan segera muncul. Singkatnya kejahatan itu
muncul ketika akal budi berada di bawah kendali nafsu dan emosi. Manusia
menjadi liar dan tidak teratur karena akal budi kehilangan daya gigitnya.
Padahal, idealnya manusia mesti menggunakan kesanggupan berpikirnya untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Dalam hal ini, akal budilah yang mesti
mengendalikan perasaan (nafsu) yang sering tidak teratur.
Ketiga, manusia membangun konsep yang salah
tentang ideal hidupnya. Pada umumnya orang yang memandang hidup beserta
kompleksitas masalahnya secara negatif cenderung pesimis. Manusia semacam itu
tidak yakin bahwa persoalan apa pun yang dihadapi manusia pasti menemukan jalan
keluarnya. Jadi, manusia kehilangan optimisme dalam hidupnya.
Hidup
Bijaksana: Tuntutan Dasar Bagi Manusia
Kekhususan
intelek yang ada pada manusia mengharuskannya untuk hidup secara bijaksana.
Manusia dibedakan dari binatang (seperti anjing, kerbau, kambing, dll.) justru
karena ia memiliki akal budi. Kepemilikan akal budi menyanggupkan manusia untuk
berpikir. Hewan bertindak semata-mata berdasarkan insting dan nalurinya,
sedangkan manusia bertindak berdasarkan akal budinya.
Setiap tindakan
mengandaikan motivasi, maksud, dan tujuan yang hendak dikejar. Dalam rangka
itu, manusia membuat pertimbangan-pertimbangan rasional.
Pertimbangan-pertimbangan itu kiranya membantu manusia untuk bertindak secara
tepat pada situasi yang tepat dan pada tempat yang tepat. Akan tetapi, dalam
setiap tindakannya manusia harus selalu ingat tuntutan dasar ini: seorang
manusia tidak boleh memperlakukan dirinya dan orang lain sebagai alat. Itu
berarti harkat dan martabatnya sebagai manusia harus dijunjung tinggi. Dalam
bahasa etika, ini merupakan tuntutan moral etis yang berlaku mutlak.
Sebagai pribadi yang
rasional dan bermoral, manusia harus mampu memberi arah yang benar pada
hidupnya. “Bagi Aristoteles itu berarti: kita harus membangun kekuatan
intelektual dan etis yang membuat kita mampu untuk memberi arah yang semestinya
pada hidup kita. Kualitas seseorang ditentukan oleh keutamaan yang
dimilikinya.”[9] Keutamaan kunci bagi
Aristoteles ialah “kebijaksanaan praktis” atau phronesis. Phronesis adalah
kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu meliputi kelakuan bijaksana,
kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi secara bijaksana dan sebagainya.[10] “Phronesis menjadikan manusia pandai dan
benar dalam membawa diri dan dalam berkomunikasi dengan orang lain.”[11]
Mengapa manusia harus
hidup bijaksana? Jawaban pertama dan terutama terletak pada hakikat manusia
sebagai makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional manusia selalu dituntut untuk
menggunakan akal budi dalam menyelesaikan masalah-masalah hidupnya.
Jawaban kedua ialah
manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan atas hidup orang lain
dan tidak boleh mengakihiri hidupnya dan hidup orang lain lantaran suatu
masalah hidup yang tak terselesaikan. Siapa pun termasuk diri sendiri tidak
berhak mengakhiri hidup manusia dengan cara apa pun dan atas alasan apa pun.
Dalam perspektif teologis ini adalah tuntutan utama, karena hidup itu anugerah
Allah dan hanya Allah yang berhak mencabutnya. Hal ini secara tidak langsung
mengharuskan manusia untuk bijaksana dalam menyingkapi persoalan dalam hidupnya.
Persoalan apa pun tidak boleh diakhiri dengan mengakhiri hidup manusia.
Penutup
Sebagai
kesimpulan saya mengutip dua ungkapan penulis anonim berikut:[12] “Jika
kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari
Jerman, tidak akan menabrak badanya ke kereta api. Jika ketenaran bisa membuat
orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal dari USA, tidak akan
meminum obat tidur hingga overdosis. Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia,
tentunya G. Vargas, presiden Brazil tidak akan menembak jantungnya sendiri.
Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter
terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.
Ternyata bahagia atau tidaknya hidup seseorang, bukan ditentukan oleh seberapa
kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sukses apapun hidupnya.
Akan tetapi, yang bisa membuat seorang itu bahagia adalah dirinya sendiri.
Mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal.”
“Kalau
kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti di belahan lain di bumi ini akan
kosong karena semua orang akan ke sana berkumpul di mana kebahagiaan itu
berada. Untunglah kebahagiaan itu berada
di dalam hati setiap manusia. Jadi kita tidak perlu membeli atau pergi mencari
kebahagiaan itu. Yang kita butuhkan ialah hati
yang bersih dan ikhlas serta pikiran yang jernih, maka kita bisa
menciptakan rasa bahagia itu kapan pun, di manapun, dan dalam situasi apapun.”
Kutipan
di atas selaras dengan pandangan Aristoteles tentang bagaimana manusia itu
harus hidup. Kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Untuk mencapai tujuan itu
manusia harus mengembangkan dua keutamaan dasar, yakni keutamaan etis atau
moral dan keutamaan intelektual. Dua keutamaan ini mampu membimbing manusia
menuju kebahagian kapanpun, dalam situasi apapun, dan di mana pun. Kunci utama
untuk menciptakan kebahagiaan di sini terletak dalam kekuatan pikiran.
Aristoteles secara
tersirat menganjurkan siapapun untuk “berpikir” secara bijaksana sesuai dengan
kodrat esensial manusiawi kita sebagai ens
rationale. Jadi kita harus berpikir (bijaksana). Berpikir bijaksana dapat
mengantar seseorang kepada kebijaksanaan praktis (phronesis), kebijaksanaan dalam hidup sehari-hari. Kekuatan pikiran
menjadi kunci kebahagiaan hidup manusia. Di sini etika Aristoteles mengajarkan
kita untuk membangun optimisme dalam hidup. Dengan demikian, “mengatasi”
persoalan hidup tidak harus dengan bunuh diri. Tindakan bunuh diri adalah tanda
manusia yang pesimis dalam hidupnya. Padahal, hidup ini tidak bisa dibangun di
atas sikap pesimisme seperti itu. Maka, jika ingin menjadi manusia bijaksana,
belajarlah dari Aristoteles.
Catatan Akhir
[1] Frans Ceunfin, Lic., Etika (ms.)
(Maumere: STFK Ledalero, 2005), hlm. 55.
[2] Frans Magnis – Suseno, Menjadi
Manusia Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009),
hlm. 3.
[3] Ibid., hlm. 4.
[4] Yosef Keladu Koten, Partisipasi
Politik – Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2010), hlm. 70.
[5] James Garvey, 20 Karya Filsafat
Terbesar, terj. CB. Mulyatno Pr. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010),
hlm. 24-25.
[6] Ibid., hlm. 26.
[7] Frans Ceunfin, Lic., loc. cit.
[8] Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis Katolik Prancis membuat
pembedaan antara ‘problem’ dan ‘misteri’. Problem adalah sesuatu yang tidak
diketahui namun entah bagaimana pada akhirnya melalui kecerdasan manusia atau
kebetulan belaka, saya dapat mengetahui atau menyelesaikannya: probelm adalah
sesuatu yang saya temukan, yang saya hadapi seluruhnya di hadapanku, namun
karenanya saya dapat mengepung atau menguranginya. Contohnya saya memiliki
problem atau masalah dengan perkuliahan saya. Kemudian saya berusaha
mengatasinya dengan menggunakan kemampuan atau pengetahuan yang saya miliki
atau dengan cara mencari bantuan pada orang lain. Sedangkan misteri bukanlah
sesuatu yang tidak diketahui atau yang tidak dapat diketahui, melainkan sesuatu
yang sudah diketahui, tetapi sama sekali tidak mungkin untuk ditemukan,
dipecahkan atau dikendalikan. Contohnya misteri Trinitas. Bdk. Stephen B.
Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global,
Sebuah Pengantar, Terj. Yosef Maria Florisan (Maumere: Penerbit Ledalero,
2010), hlm. 18-19.
[9] Frans Magnis – Suseno, op. cit.,
hlm. 35.
[10] Ibid., hlm. 36-37.
[11] Ibid., hlm. 39.
[12] Ungkapan ini saya kutip dari kumpulan cerita motivasi yang termuat dalam
salah satu aplikasi ofline di handphone saya. Meskipun sumber ini
barangkali kurang ilmiah, tetapi saya tetap berusaha memasukannya dalam tulisan
ini karena dirasa cukup relevan dengan keseluruhan pembahasan tulisan ini.
Masalah Hidup, Bunuh Diri, dan Rasionalitas Manusia
Reviewed by insancerdaspolitik
on
August 01, 2018
Rating:
No comments: