Etika Heteronom Emanuel Levinas
dan Implikasinya untuk Keadilan Kaum Buruh
Oleh Ferdinandus Jehalut
Pengantar
Dalam
‘Manifesto of the Communist Party’ (1848),
Karl Marx menegaskan bahwa sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga
sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-orang merdeka dan budak,
patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli dan tukang
pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas atau kaum berjouis dan kaum proletar
melakuan perjuangan yang tak putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi,
kadang-kadang secara terang-terangan.[1]
Analisis
Marx secara implisit menunjukkan bawah konflik dalam masyarakat sering kali
terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara elemen-elemen masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari analisis lanjutannya. Marx
mengatakan bahwa hakekat kenyataan sosial adalah konflik. Konflik sosial adalah
pertentangan antara segmen-segmen
masyarakat untuk memperebutkan aset-aset
yang bernilai. Bagi Marx, konflik yang paling menonjol adalah konflik yang
disebabkan oleh cara produksi barang-barang material.[2]
Konflik ini melibatkan kaum proletar dan kaum berjouis yang berujung pada kekalahan
kaum proletar.
Dengan
tidak menyangkal analisis sosiologis Marx, hemat penulis persoalan alienasi dan
ketidakadilan terhadap kaum buruh dapat pula ditelisik dari perspektif etika.
Analisis etika menunjukkan bahwa munculnya segala macam penindasan yang terjadi
dalam masyarakat adalah akibat dari pola relasi instrumental yang berlandaskan
etika subjek-objek. Etika subjek-objek mengandaikan adanya relasi subordinasi dan
instrumental. Dalam sejarah perkembangan etika modern, etika semacam ini dapat
ditemukan dalam pemikiran Jean-Paul Sartre yang melihat orang lain sebagai
neraka[3],
Edmund Husserl yang menonjolkan aspek kesadaran subjek berhadapan dengan yang
lain, yang menjerumuskannya dalam pola relasi subjek – objek[4]
dan beberapa pemikir etika lainnya. Hemat penulis, analisis etika melampaui
interpretasi sosiologis. Sebab etika pada dasarnya mempertanyakan dasar bagi
sebuah tindakan etis. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis meninjau secara kritis fenomena ketidakadilan kaum baruh dari perspektif etika. Analisis penulis berbasis pada perspektif ‘Emanuel Levinas’[5].
Konsep Dasar Etika Emanuel Levinas
Jika ditinjau dari perspektif etika,
realitas penindasan dan alienasi terhadap kaum buruh mempunyai dasar dalam
etika instrumental. Etika ini mengandaikan adanya relasi subordinasi atau subjek
– objek
antara individu-individu.
Sebagai makhluk berpribadi
yang sadar akan diri, dunia
dan lingkungannya manusia senantiasa bertindak berdasarkan kesadaran. Dengan
demikan tindakan manusia sesunggunhya tidak semata-mata didasarkan pada
pertimbangan kepentingan-kepentingan yang selalu membelenggu dirinya. Pada
tataran ini pengetahuan tentang etika niscaya dibutuhkan agar manusia tidak memperlakukan sesamanya sebagai
alat.
Menurut penilaian beberapa filsuf kontemporer, etika
Emanuel Levinas amat berbeda dari etika-etika yang dikembangkan oleh para
filsuf lainnya. Mengapa
demikian? Emanuel Levinas tidak
mempertanyakan prinsip-prinsip moral, cara mengatur kelakuan manusia atau
bahasa etika. Etikanya lebih tepat disebut etika fundamental. Ia berusaha menunjukkan bahwa manusia
dalam segala penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis,
oleh tanggung jawab terhadap sesama. Tanggung jawab itu membebankan manusia
setiap kali ia berhadapan dengan ‘orang lain’.[6]
Levinas ingin mengatakan bahwa pembentukan identitas kita selalu sudah
berdasarkan sebuah peristiwa asali yang terulang setiap kali kita bertemu
dengan orang lain.[7]
Perkembangan etika Emanuel Levinas
harus selalu dilihat dalam tanggapannya terhadap Edmund Husserl dan Martin
Heideger. Edmund Huserl mencari hakikat realitas dengan memperhatikan apa yang
nyata-nyata menampakan diri dalam kesadaran (fenomen). Menurut Levinas, seperti diulas
Magnis-Suseno, analisis
fenomenologis Husserl berhenti terlalu cepat sehingga tidak berhasil mengangkat
struktur realitas yang sebenarnya. Husserl berhenti pada struktur kesadaran.
Dengan demikian, Husserl terjebak dalam kerangka subjek – objek. Objek hanya ada sebagai objek sebuah
subjek yang menangkapnya, dan sebaliknya.[8]
Etika subjek – objek pada prinsipnya cenderung mengarah kepada relasi instrumental. Dalam pola relasi ini subjek memperlakukan objek sebagai alat
dan eksistensi objek diakui sejauh ia ada dalam kesadaran subjek. Dengan demikian eksploitasi objek
oleh subjek dapat dibenarkan.
Menurut
Emanuel Levinas sebagaimana diulas oleh Magnis-Suseno, Kalau orang lain
hanyalah objek saya, maka kelainannya, kediriannya, hilang. Pada tataran ini
orang tidak diakui dalam dirinya sendiri. Karena itu, dalam kerangka
fenomenologis Husserl orang lain sudah diperkosa karena tidak dijamin dalam
kelainannya. Ia hanya diakui sebagai unsur, objek, kesadaran saya. Dengan
demikian menurut Emanuel Levinas pemikiran totaliter Husserl adalah salah satu
unsur di belakang segala penindasan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap orang
yang ‘lain dari pada kita’, yang terjadi sepanjang sejarah.[9]
Menanggapi
Husserl, Emanuel Levinas menegaskan bahwa data paling dasar kesadaran kita
adalah munculnya orang lain sebagai orang lain yang seakan-akan mendobrak masuk
ke dalam dunia saya yang tertutup.[10].
Pengalaman bertemu dengan yang lain mengandaikan bahwa kita selalu terikat oleh
tanggung jawab terhadap sesama. Begitu orang lain menatap kita, kita mau tidak
mau sudah bertanggung jawab atasnya. Keterikatan dalam tanggung jawab total
terhadap sesama itu adalah data paling pertama dalam segala orientasi kita.[11]
Martin
Heidegger juga mendobrak keterbatasan fenomenologis Husserl. Dalam tanggapannya
terhadap kerangka fenomenologis subjek – objek Husserl, Heidegger menunjukkan
bahwa manusia dalam segala tindakannya
selalu sudah berada dalam cakrawala kemengadaan (horison of being). Kemengadaan adalah suatu realitas eksistensial
yang dialami oleh manusia. Hal itu berarti bahwa dalam segala-galanya manusia
berada dalam panggilan untuk taat kepada kemengadaan.[12]
Namun demikian, bagi Levinas konsep Heideger ini mengandung kelemahan karena manusia direlatifkan, dikebiri dalam kelainannya,
karena ia sudah diintegrasikan ke dalam cakrawala kemengadaan. Dengan demikian konsep Heideger mengandung
pengertian bahwa bukan sesama yang pertama-tama perlu diperhatikan, melainkan
cakrawala kemengadaan. Pada tataran ini,
keberlainan orang lain tidak terjamin.[13]
Seperti
diulas oleh Magnis-Suseno, tanggung jawab dalam perspektif Levinas merupakan
tanggung jawab yang mendahului, atau mendasari, sikap yang dalam bahasa
sehari-hari kita sebut ‘tanggung jawab’ (misalnya tanggung jawab dosen terhadap
mahasiswa). Levinas menekankan
bahwa begitu seorang menghadap saya, dan sebelum saya sempat mengambil sikap
terhadapnya, saya sudah dibebani tanggung jawab
atasnya. Selain itu, dalam arti yang lain Levinas tidak bicara soal imperatif
normatif. Melainkan ia bicara secara fenomenologis. Artinya, ia menunjuk pada
sebuah realitas dalam kesadaran kita.[14]
Dalam dimensi yang lain juga filsafat Levinas
dimengerti sebagai pesan tentang humanisme orang lain.[15]
Humanisme selalu
ada dalam hubungan dengan bentuk relasi dalam dunia manusia. Relasi yang
mengarah kepada humanisme adalah relasi ‘Aku-Engkau’[16].
Dalam hubungan ‘Aku-Engkau manusia membentuk dirinya secara personal sekaligus
turut membentuk persona yang lain. Dengan kata lain relasi ‘Aku-Engkau
membentuk pribadi manusia sesungguhnya.[17]
Humanisme orang lain
mengandaikan setiap pribadi mesti memperlakukan orang lain sebagai manusia yang
secara hakiki memiliki dimensi manusiawi di dalam dirinya. Hal ini menunjukkan
bahwa etika Levinas menempatkan manusia dalam relasi subjek – subjek.
Pendekatan Levinas dengannya sangat kontekstual berhadapan dengan maraknya
penindasan terhadap manusia yang dilakukan oleh manusia lain yang terjadi pada
hampir sepanjang sejarah manusia.
Etika
Levinas boleh dikatakan menjadi dasar pengakuan akan hak orang lain sebagai
pribadi yang mesti dihormati. Selain itu, etika Levinas juga dapat menjadi
fundamen bagi pembentukan sikap tanggung jawab manusia terhadap yang lain.
Sikap hormat dan tanggung jawab selalu mengandaikan adanya perlakuan adil
terhadap sesama dan tentu sikap itu hendak melenyapkan segala macam penindasan,
pemerasan, pemerkosaan atas hak-hak orang lain.
Implikasi Etika Emanuel Levinas untuk Keadilan Kaum Buruh
Fakta ketidakadilan terhadap kaum buruh selalu memperlihatkan bentuk
relasi subjek – objek. Kapitalis memperlakukan buruh sebagai alat. Dalam
konteks ini identitas kaum buruh sebagai manusia menjadi hilang. Eksistensinya
direduksi hanya sebagai alat produksi. Kaum buruh pun identik dengan
mesin-mesin produksi. Dengan demikian kemanusiaan kaum buruh disangkal. Kaum
buruh dimarginalkan dari kemanusiaannya. Humanitasnya hilang ditelan kekejaman
kapitalis.
Jika ditelusuri lebih jauh, ada
semacam aksioma yang membenarkan
penindasan terhadap kaum buruh. Aksioma itu
bisa dilihat dari beragam alasan yang dikemukakan para pelaku penindasan
(kapitalis) pada saat diperikasa oleh penegak hukum. Salah satu contohnya, mereka
mengatakan bahwa kita tidak bisa menuntut keadilan terhadap para pekerja tanpa
memperhatikan minimnya etos kerja dari pekerja sendiri. Dalam alasan seperti
ini, terimplisit pemikiran bahwa etos kerja yang kurang maksimal dari pekerja
dapat membenarkan penindasan terhadapnya.
Pada tataran ini seolah kemanusiaan manusia (pekerja) memudar ketika ia
tidak memiliki etos kerja yang maksimal. Dengan kata lain, kemanusiaan manusia
dipangkas karena ketidakterampilannya. Karena itu, seseorang layak ditindas
ketika ia menuntut hak tanpa diimbangi dengan pemenuhan kewajibannya.
Gagasan di atas menunjukkan suatu
bentuk penyangkalan terhadap humanitas kaum buruh dengan basis pada pendekatan subjek
– objek. Dalam perspektif Emanuel
Levinas, seperti nampak dalam kritikannya terhadap pemikiran totaliter Husserl, pola relasi semacam ini
menjadi salah satu unsur di
belakang segala penindasan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap orang yang
‘lain dari pada kita’, yang terjadi sepanjang sejarah.[18] Dalam kasus buruh, pola
relasi subjek – objek menjadi salah satu unsur di balik penindasan dan ketidakadilan
terhadap kaum buruh. Lalu, etika apa yang ditawarkan Levinas? Pertanyaan ini
dapat dikerucutkan menjadi di manakah keadilan ditempatkan dalam etika Emanuel
Levinas?
Secara sepintas etika Levinas boleh
dikatakan hanya mampu menampung prinsip sikap baik dan tidak mampu menampung prinsip keadilan. Karena
etika Levinas menekankan peristiwa di mana saya sebagai subjek berhadapan
dengan muka orang lain yang juga berkedudukan sebagai subjek. Dalam situasi ini
saya bertanggung jawab total terhadap orang lain. Akan tetapi saya tidak pernah
memberikan diri secara total kepada seseorang.[19]
Namun, dalam perspektif Levinas, munculnya orang lain memaksa saya untuk harus berpikir bagaimana
saya bertanggung jawab atasnya. Dalam kesadaran ini keadilan sebenarnya dimulai.
Dengan demikian saya tidak lagi tenggelam dalam pasivitas total tetapi saya
dituntut untuk menjadi aktif.[20]
Lebih lanjut seperti diulas oleh
Magnis-Suseno, “Levinas menegaskan bahwa kemungkinan untuk bersikap adil, untuk
dengan sebaik-baiknya memperbantukan diri kepada orang-orang lain, serta
keadilan melalui lembaga-lembaga itu, tetap berakar dalam kebaikan primordial
yang mendasari segenap sikap saya, yang dihayati kembali dalam setiap kali kita
berhadapan dengan muka orang lain, sesama, yang terhadapnya saya bertanggung
jawab.”[21]
Dengan kata lain, yang lain dalam perspektif levinas adalah yang heteronom. “Etika
heteronom selalu dibicarakan dalam hubungan dengan yang lain. Lahirnya
diskursus etis tentang keadilan, perdamaian, kesetaraan, dan dialog, sebagian
besar berawal dari pengalaman universal manusia tentang hubungannya dengan yang
lain.”[22]
Yang lain itu bukan suatu objek, bukan juga suatu ancaman. Bagi Levinas yang
lain karena keberlainannya, adalah fakta heteronom yang niscaya. Fakta ini tidak
dapat dibantah.[23] Sampai pada taraf ini,
kita lantas bertanya, apa yang ditawarkan Levinas dalam kasus ketidakadilan
terhadap buruh?
Meskipun Levinas tidak menjawab
secara langsung pertanyaan di atas, tetapi etikanya dapat menjadi dasar dalam
menganalisis kasus tersebut. Sekali lagi ditekankan, pada dasarnya penindasan
terhadap kaum buruh oleh pemilik modal didasari oleh pandangan subjek – objek.
Pemilik modal mengidentifikasikan dirinya sebagai subjek sementara pekerja
(buruh) diidentifikasikan sebagai objek. Sebagai subjek, kapitalis merasa
berkuasa atas kaum buruh (objek). Karena itu, ia bebas memperlakukan objek
seturut kemauannya. Objek pun tak jarang diinstrumentalisasi demi kepentingan subjek.
Dalam kenyataan seperti itu, Levinas
menekankan tanggung jawab subjek berhadapan dengan yang lain. Dalam konteks kasus
buruh, ia menekankan tanggung jawab timbal balik antara kapitalis dan pekerja.
Dengan demikian pola relasi yang ditawarkan Levinas adalah pendekatan subjek – subjek.
Pola relasi ini menggiring kapitalis dan buruh untuk bertanggung jawab satu
sama lain. Pemilik modal terikat tanggung jawab dengan pekerja dan pekerja
terikat tanggung jawab dengan pemilik modal. Pada tataran lebih lanjut pemenuhan
hak buruh menjadi kewajiban bagi pemilik modal dan sebaliknya pemenuhan hak
pemilik modal menjadi kewajiban bagi buruh. Hal itu mengandaikan sudah ada
kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab di sini harus
dimengerti sebagai suatu yang apriori.
Namun, apabila dalam kenyataannya buruh tidak melaksanakan kewajibannya dengan
baik oleh karena keterbatasan manusiawinya tidak pernah dibenarkan pemilik
modal menindasnya atau pun sebaliknya, karena keterbatasan tidak pernah
mereduksi kemanusiaan manusia sebagai pribadi yang bermartabat dan bernilai
dalam dirinya. Keterbatasan justru mengafirmasi kemanusiaan manusia sebagai
makhluk yang terbatas. Pada titik ini etika Levinas secara substansial merujuk pada humanisasi
yang lain.
Humanisasi yang lain menjadi
penekanan utama etika heteronom dalam tatanan etika global. Humanisasi
mengandaikan kemanusiaan kita menjadi lebih manusiawi hanya dalam domain
hubungan dengan manusia-manusia yang lain. Diskursus tentang keadilan kaum
buruh dan keadilan pada umumnya, hak-hak asasi manusia, kemerdekaan,
egalitarianisme bagi semua hanya mungkin
dalam hubungan dengan humanisasi tentang yang lain. Dalam perspektif Levinas
epifani wajah membuka tabir humanisme universal.[24]
Penutup
Realitas ketidakadilan dan penindasan
terhadap kaum buruh mempunyai dasar dalam etika instrumental. Etika ini
mengandaikan adanya relasi subjek – objek antara individu-individu yang
berinteraksi. Penerapan etika ini dalam kehidupan praktis selalu melahirkan
anarki, penindasan, pemerkosaan hak-hak, ketidakadilan, alienasi dan lain-lain.
Etika ini mengandung pengertian orang lain tidak lebih dari objek yang ada
dalam kesadaran subjek. Eksistensi dan keberlainan orang lain itu diakui sejauh
ia masuk dalam kesadaran subjek. Kalau pun ia telah masuk dalam kesadaran subjek,
ia tetap berdiri sebagai objek bagi subjek. Karena itu, ia dapat diperlakukan sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan subjek. Subjek seolah menjadi ukuran bagi
pengakuan akan eksistensi orang lain.
Pola relasi subjek – objek menurut
Levinas menjadi latar belakang penindasan dan pemerkosaan terhadap hak-hak
individu dalam sejarah (termasuk fakta ketidakadilan terhadap buruh). Oleh
karena itu, Emanuel Levinas mengubah paradigma subjek – objek menjadi subjek – subjek.
Levinas mengajukan etika ini berangkat dari fakta fundamental yang dialami oleh
manusia yaitu pengalaman bertemu dengan yang lain sebagai suatu pengalaman
hakiki. Bagi Levinas, ketika kita bertemu dengan yang lain, kita selalu sudah
terikat tanggung jawab terhadapnya. Tanggung jawab yang dimaksudkan Levinas
adalah tanggung jawab apriori dan
etikanya disebut etika heteronom. Dari fakta ini, sebenarnya keadilan itu mulai
muncul.
Dalam konteks masalah ketidakadilan
yang dialami oleh kaum buruh, Emanuel Levinas (meskipun tidak secara
eksplisit), menekankan pentingnya tanggung jawab untuk menciptakan keadilan.
Pemilik modal terikat tanggung jawab dengan pekerja demikian pun pekerja
terikat tanggung jawab dengan pemilik modal. Pada taraf inilah, fenomena
penindasan terhadap kaum buruh mesti diakhiri.
BIBLIOGRAFI
Baghi, Felix. Alteriatas - Pengakuan, Hospitalitas,
Persahabatan (Etika Politik dan Post Modernisme). Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
Magnis-Suseno,
Franz. Etika
Abad Kedua Puluh- 12 Teks Kunci. Cet. 5. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
-----------------------------. 12
Tokoh Etika Abad ke-20. Cet. 7. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Marx, Karl dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis. Terj. D. N. Aidit dkk.. Yogyakarta:
Cakrawangsa, 2014.
Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere:
Penerbit Ledalero, 20014.
Sitohang,
Kasidin. Filsafat Manusia - Upaya Membangkitkan
Humanisme. Cet. 8. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
[1] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto
Partai Komunis, terj. D. N. Aidit dkk. (Yogyakarta: Cakrawangsa, 2014),
hlm. 35.
[2] Bernard Raho, SVD, Sosiologi (Maumere:
Penerbit Ledalero, 20014), hlm.162-163.
[3]Lihat Franz Magnis-Suseno, 12
Tokoh Etika Abad ke-20, cet. 7 (Yogyakarta: Kanisius,
2007), hlm. 73-84.
[4] Ibid., hlm. 89.
[5]Levinas adalah seorang keturunan Yahudi berkebangsaan Prancis. Ia lahir
pada tahun 1912 di Lituania. Pada tahun 1939, pada permulaan perang Dunia II,
ia masuk tentara dan setahun kemudian menjadi tahanan perang di Jerman. Sementara itu seluruh
keluarganya di Lituania yang diduduki tentara Jerman dibunuh karena mereka
orang Yahudi. Dengan peristiwa itu, Levinas tidak pernah berniat untuk kembali
lagi ke Jerman. Tahun 1961 Levinas menerbitkan buku besarnya berjudul “Totalité et infini” (Totalitas dan Tak
Terhingga). Ia mengajar seagai guru besar di beberapa universitas di Prancis.
Tahun 1974 ia menerbitkan karya utamanya yang kedua berjudul “Autrement qu’être ou au-delà de l’essence”
(Lain Dari Pada Ada atau Di Seberang Esensi). Levinas dikenal sebagai salah
satu filsuf etika abad ke-20. Ia meninggal
dunia tahun 1995. Bdk. Franz
Magnis-Suseno, Etika Abad Keuda Puluh- 12
Teks Kunci, cet. 5 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 85-86.
[6] Ibid.
[7] Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh
Etika Abad ke-20, loc. cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 90.
[10] Ibid.
[11] Frans Magnis-Suseno, Etika Abad
Kedua puluh - 12 Teks Kunci, loc. cit.
[12] Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika
Abad ke-20, loc. cit.
[13] Ibid., hlm. 91.
[14] Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua
Puluh , op. cit., hlm. 86-87.
[16] Dalam pemahaman Martin Buber ‘Engkau’ mengandung makna bahwa setiap orang
memiliki posisi yang sama dengan ‘aku’. ‘Aku’
menjadi ‘aku’ karena ‘engkau’, dan ‘engkau’ menjadi ‘engkau’ karena
‘aku’. Karena itulah ‘aku’ tidak mungkin menjadikan ‘yang lain’ sebagai objek
baginya. Model relasi ‘Aku-Itu’ adalah hubungan yang pada umumnya terjadi
dengan benda-benda. ‘itu’ adalah objek-objek’. Dalam hubungan ini ‘aku’ dan
‘itu’ tidak merupakan subjek yang sama. Yang menjadi subjek hanyalah ‘aku’,
sementara ‘itu’ adalah objek. Karena itu di sini tidak terjadi hubungan
interpersonal. Buber menegaskan bahwa relasi ini juga sering terjadi dalam
hidup manusia. Bdk. Kasidin Sitohang, Filsafat
Manusia - Upaya Membangkitkan Humanisme, Cet. 8 (Yogyakarta: Kanisius,
2009), hlm.40-41.
[22] Felix Baghi, Alteriatas – Pengakuan, Hospitalitas,
Persahabatan (Etika Politik dan Post Modernisme) (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2012), hlm. 75.
Etika Heteronom Emanuel Levinas dan Implikasinya untuk Keadilan Kaum Buruh
Reviewed by insancerdaspolitik
on
August 01, 2018
Rating:
No comments: