DEMOKRASI
DAN NALAR PUBLIK
(Telaah
Kritis atas Wacana dan Praksis Demokrasi di Indonesia)
Ferdi
Jehalut
Pengantar
Masih segar dalam ingatan kita dua
peristiwa bersejarah yang terjadi pada akhir 2016 lalu. Peristiwa 411 dan 212
adalah dua aksi gigantic yang belum
pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Aksi gigantic itu dipicu oleh pidato Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, di kepulauan seribu yang menyinggung surat Almaedah ayat 51.
Paskaterjadinya dua peristiwa
tersebut, muncul beragam komentar dan interpretasi dari kaum akademisi dan para
pengamat politik. Franz Magnis-Suseno dan beberapa pengamat politik lain
melihat dua peristiwa itu sebagai bentuk kemunculan “politik identitas”. Islam
sebagai Islam menyatakan kehadirannya.[1]
Gelombang politik identitas ini mengingatkan kita akan tesis Samuel P.
Huntington dalam The clash of Civilisations
and the Remaking of World Order (1996). Huntington menggambarkan peradaban
dunia paskaperang dingin sebagai “sebuah dunia Multipolar dan Multisivilisasional”.
Dunia “Multipolar dan Multisivilisasional” adalah suatu dunia yang diwarnai
oleh munculnya gelombang politik identitas. Masing-masing agama, budaya, negara
(superpower) menunjukkan dan
mempertahankan identitasnya. Kekhasan politik identitas ialah membatasi manusia
dalam kerangka “orang kita” dan “bukan orang kita”. Manusia dikotak-kotakkan ke
dalam identitas kultural, agama, dan negara.
Selain kemunculan gelombang politik
identitas, kenyataan lain yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia akhir-akhir
ini ialah munculnya terorisme dan radikalisme atas nama agama serta fenomena
hoax. Beberapa realitas itu tidak terlepas satu sama lain. Politik identitas, terorisme,
radikalisme, dan hoax menjadi topik yang menarik dikaji ketika semuanya
dipertemukan dalam suatu diskursus tentang demokrasi dan nalar publik. Pada
titik ini, paham negara demokrasi digali dan dibongkar. Apakah demokrasi tetap
dianggap sebagai sistem terbaik yang
relevan dengan kenyataan pluralitas masyarakat modern? Dalam rumusan lain,
apakah demokrasi sungguh mampu menampung kenyataan pluralitas masyarakat
modern?
Demokrasi
sebagai Minus Malum
Diskursus tentang demokrasi dan
nalar publik selalu muncul beriringan dengan diskursus tentang civil society. Diskursus tentang civil society sendiri erat kaitannya dengan wacana
kewarganegaraan demokratis. Hal itu terjadi karena demokrasi modern sangat
menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan publik. Keterlibatan
dalam pengambilan kebijakan publik adalah hak rakyat sebagai warganegara yang
mesti diakui. John Rawls memberikan dasar bagi partisipasi warganegara dalam
kehidupan demokratis dengan menempatkan “warganegara sebagai pribadi yang bebas
dan setara” [2]. Will
Kymlicka dan Wayne Norman melihat kewarganegaraan sebagai bentuk turunan dari
demokrasi dan keadilan - artinya, warga negara adalah seorang yang memiliki
hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan.[3]
Sebagai
suatu bentuk pemerintahan yang memberikan ruang cukup besar bagi partisipasi
publik dan menempatkan semua warganegara sebagai pribadi yang bebas dan setara,
demokrasi menjadi suatu sistem pemerintahan yang cukup relevan dengan faktum
pluralitas masyarakat modern. “Sekurang-kurangnya ada empat gagasan mengapa
demokrasi dipandang sebagai primadona tatanan politik. Pertama, demokrasi memungkinkan adanya kebebasaan individual. Kedua, demokrasi menekankan pentingnya
prinsip partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan politik. Ketiga, demokrasi bekerja atas dasar
prinsip persaingan. Keempat,
demokrasi mengedepankan cara-cara efisien, transparan, dan fleksibel dalam
memecahkan masalah-masalah sosial.”[4]
Kendati
dipandang sebagai primadona tatanan politik, diskursus tentang demokrasi itu
sendiri tetap penuh kerancuan, misalnya mengenai prinsip mayoritas. Prinsip
mayoritas memang mengancam demokrasi karena selalu muncul bahaya penindasan
minoritas oleh mayoritas. Dalam sistem demokrasi modern, hal ini diatasi dengan
adanya UUD yang memuat pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Maka dalam
sistem demokrasi modern, kepentingan yang sungguh-sunggu vital tidak dapat
diputuskan dengan prinsip suara mayoritas.[5]
Selain itu, demokrasi pada umumnya cukup sulit menghadapi bahaya-bahaya yang
mengancam. Demokrasi tidak mampu menuntut dari warganegara untuk memikul pengorbanan
yang ekstra. Pada tataran praktis, opini publik dan formasi kehendak politis
dalam negara demokrasi gampang dipengaruhi oleh manipulasi, disinformasi, dan
propaganda.[6]
Dalam hal ini, benar jika dikatakan bahwa demokrasi tetap merupakan minus malum (preferensi terbaik dari
yang terburuk).
Bentuk demokrasi memang cukup
beragam. Namun semuanya tetap mengacu pada satu inti yang sama, yakni adanya
pelembagaan mekanisme-mekanisme yang mengoptimalkan kontrol masyarakat terhadap
pemerintah.[7]
Formasi kehendak dan opini publik dalam negara demokrasi diungkapkan lewat
bermacam-macam sarana. Salah satu di antaranya ialah pemilu. Pemilu merupakan sarana
pengukapan kehendak publik. Melalui pemilu rakyat secara bebas menentukan pemimpinnya.
Selain itu, pintu demokrasi yang terbuka lebar juga memungkinkan rakyat
menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi. Namun, patut dicatat bahwa kualitas
demokrasi tidak diukur oleh banyaknya orang yang turun ke jalan untuk
menyampaikan aspirasinya. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang-orang yang turun ke jalan dalam suatu aksi demonstrasi adalah orang-orang
yang sedang diinstrumentalisasi oleh sekelompok orang yang berkepentingan.
Orang-orang yang diinstrumentalisasi itu sebenarnya adalah orang-orang yang
sedang diisolasi oleh kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Hannah
Arendt menyebut orang-orang seperti itu sebagai ‘pribadi yang
tidak sanggup berpikir mandiri’. Mereka mudah terbakar oleh propaganda, provokasi,
dan isu-isu sentimental dan primordial. Dalam pandangan F. Budi Hardiman
orang-orang semacam itu lebih tepat disebut massa. “Massa adalah kuasa di tangan
para provokatornya. Individu-individu melebur dan tak menyadari diri telah
diperalat sebagai meriam-meriam dari darah dan daging untuk membidik kekuasaan
lawan-lawan politik. Manusia-manusia tanpa wajah itulah korban kuasa.”[8] Pada
tataran ini, dapatlah dimengerti mengapa banyak aksi demonstrasi berakhir
dengan kerusuhan dan kericuhan.
Wacana
tentang partisipasi politik dan fungsi kontrol warga dalam negara demokrasi
juga didukung oleh pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah negara hukum,
masyarakat madani, dan partai politik. Pers menjadi sarana pengungakapan
formasi opini publik. Dalam masyarakat demokratis, media massa bukan saja
berperan mengontrol kekuasaan, melainkan juga tampil sebagai satu bentuk
partisipasi demokratis.[9] Pers
hadir sebagai sarana yang memungkinkan warga mengontrol dan mengkritisi
kebijakan-kebijakan publik dan mengontrol penggunaan kekuasaan oleh pejabat
publik. Pers juga dibutuhkan untuk menelanjangan kebohongan para pejabat publik
dan partai-partai politik.
Idealisme pers di atas tidak serta-merta
terwujud dalam negara demokrasi. Dalam kenyataanya, pers seringkali terkooptasi
oleh kepentingan-kepentingan pasar dan kepentingan politik. Hal itu terjadi
karena pemilik media adalah kapitalis yang mengutamakan kepentingan-kepentingan
pasar dan elite politik yang memiliki posisi strategis dalam partai politik.
Dalam konteks ini, pers kehilangan daya kritis dan daya gigitnya ketika ia ditunggangi
oleh kepentingan pasar dan oleh kepentingan elite yang berkuasa. Konsekuensinya
“media mencari massa untuk meningkatkan pendapatannya. Massa mencarinya untuk
mengimbangi kekerdilan jiwanya.”[10] Maka
jelas bahwa pers yang tidak netral begitu mudah digiring untuk melanggengkan
kepentingan orang-orang yang berkuasa. Pers yang semacam itu seringkali
memproduksi berita-berita hoax. Ketika lebih banyak memproduksi berita-berita
hoax, pers berbalik arah menjadi sarana pembohongan publik. Ketika pers menjadi
sarana pembohongan publik, nalar publik dan rasionalitas kritis publik mesti memainkan
peranannya yang strategis.
Praksis
Demokrasi di Indonesia
Indonesia sudah memasuki usia ke-71
tahun kemerdekaannya. Usia 71 tahun merupakan usia yang sudah cukup tua bila
dibandingkan dengan umur seorang manusia, namun masih terlalu belia untuk suatu
negara seperti Indonesia. Hal itu berarti usia tidak menjamin kematangan
demokrasi. Selama kurun waktu 71 tahun itu, berbagai macam sistem demokrasi
dipraktikkan di Indonesia. Sekurang-kurangnya kita mengenal beberapa nama ini:
demokrasi parlementer (sering juga disebut ‘demokrasi liberal’, meskipun banyak
yang menilai istilah itu kurang tepat), demokrasi terpimpin dan demokrasi
pancasila. Namun, semua bentuk demokrasi itu tetap mengacu pada dasar yang sama
yaitu pancasila dan UUD 1945.
Suatu
'model’ muncul ketika konsep bertemu dengan konteks. Dalam pemahaman ini,
transformasi sistem demokrasi di Indonesia dari masa ke masa merupakan suatu
bentuk tanggapan terhadap situasi dan konteks zaman yang terus berubah.
Transformasi bertujuan agar model demokrasi yang diterapkan selalu relevan
dengan konteks dan situasi zaman.[11] Maka
kita sangat beruntung menganut Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai ideologi
terbuka, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tidak langsung bersifat
“operasional apriori”. Ia selalu mengizinkan pengejawantahan yang sesuai dengan
situasi dan tuntutan zaman.[12]
Maka, transformasi macam mana pun mesti selalu berpijak pada Pancasila sebagai filosofische grondslag. Dengan demikikan,
transformasi demokrasi di Indonesia hanya akan dipahami jika kita tidak
melupakan masa lalu, yakni the
politically devining moment—momen sejarah di mana jati diri suatu bangsa
dirumuskan secara eksplisit.
Dalam sidang BPUPKI terjadi
perdebatan sengit antara Mohamat Hatta dan Soepomo. Inti perdebatan itu adalah tentang
konsep negara macam mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Hatta menekankan
konsep kerakyatan karena baginya kerakyatan sama dengan kedaulatan rakyat.
Namun, Hatta membedakan prinsip kedaulatan rakyat yang berlaku di Barat dengan
prinsip kedaulatan rakyat yang berlaku di Indonesia. Menurut Hatta, kedaulatan
rakyat di Barat hanya terbatas dalam bidang politik karena dikembangkan dalam
rangka individualisme, sedangkan kedaulatan rakyat di Indonesia juga memuat
bidang sosial dan ekonomi. Akan tetapi, Hatta menolak istilah demokrasi asli. Menurutnya
struktur kekuasaan tradisional di Indonesia bersifat feodal dan autokratis,
rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja. Berbeda dengan Hatta, Soepomo
justru menganjurkan ide negara integralistik. Paham negara integralistik
mengimplikasikan penolakan terhadap paham individualisme. Maka, Soepomo secara
tegas menolak paham demokrasi Barat. Menurut Soepomo politik pembangunan di
Indonesia harus disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia.[13]
The
politically devining moment yang digambarkan di atas sekurang-kurangnya
dapat membantu kita memahami perkembangan demokrasi di Indonesia. Indonesia
tidak begitu saja mengadopsi sistem demokrasi yang berlaku di negara-negara
Barat. Sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia merupakan sistem demokrasi
yang sesuai dengan situasi kita sendiri dan bukan diadopsi secara mentah-mentah
dari sistem demokasi barat.
Transformasi sistem demokrasi di
Indonesia sejak Orde Lama sampai era Reformasi harus dibaca dalam kerangka
berpikir bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi khas
Indonesia. Dasarnya dapat ditemukan dalam the
politically devining moment dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia dari
waktu ke waktu. Demokrasi pancasila misalnya muncul sebagai reaksi terhadap
demokrasi terpimpin yang memusatkan kekuasaan di tangan presiden. Dalam hal ini,
ketika musyawarah dan mufakat tidak tercapai, presidenlah yang mengambil keputusan,
sehingga dianggap menjurus ke kediktatoran. Sedangkan demokrasi terpimpin
sendiri muncul sebagai antitesis terhadap demokrasi liberal sebelumnya yang
bebas kendali. Jika dirumuskan menurut skema dialektika Hegel, demokrasi
liberal sebagai tesisnya, demokrasi terpimpin sebagai antitesisnya, dan
demokrasi pancasila sebagai sintesisnya.[14]
Demokrasi pancasila yang berlaku
sampai sekarang merupakan suatu sistem yang sesuai dengan semangat
Undang-Undang Dasar 1945 dan cita-cita the
founding fathers. Meskipun praksis demokrasi pancasila pada era Orde Baru
dan era Reformasi memiliki cukup banyak perbedaan, namun harus diakui bahwa
secara teoritis demokrasi pancasila tetap merupakan bentuk yang sesuai dengan
semangat dasar the founding fathers.
Praksis hanya menyangkut bagaimana nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
pancasila itu diwujudkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Dalam
kenyataannya memang harus diakui juga
bahwa praksis sering tidak terlepas dari kepentingan elite yang berkuasa. Pada
masa Orde Baru misalnya, Pancasila dan UUD 1945 sering menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan Presiden
Suharto. Pancasila dan UUD 1945 diinstrumentalisasi untuk mempertahankan statusqou. Konsekuensinya, kebebasan
rakyat untuk berpendapat sering dikebiri. Rezim kediktatoran berkibar selama 32
tahun.
Pada
masa Reformasi dengan semangat keterbukaan dan kebebasan yang begitu tinggi, Pancasila
dan UUD 1945 menjadi basis partisipasi publik dalam demokrasi dan menjadi landasan
untuk memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan yang sama bagi semua warganegara.
Namun, peningkatan partisipasi publik kini beriringan dengan peningkatan kasus
kekerasan, radikalisme, terorisme, pelecehan terhadap hak dan martabat manusia,
korupsi, hoax dan sederetan kasus lainnya. Jika selama masa Orde Baru sebagian besar
pelaku kekerasan adalah negara, pada era
kebebasan ini banyak orang dari berbagai latarbelakang ramai-ramai
melakukannya. Kenyataan ini mendorong muncul kembalinya diskursus tentang demokrasi yang tentu pada
era-era sebelumnya juga diperbincangkan. Diskursus itu melahirkan pertanyaan,
apakah demokrasi kita sudah terlalu liberal? Demokrasi macam manakah yang
paling cocok diterapkan di Indonesia?
Demokrasi
Indonesia dalam Pertemuan dengan Demokrasi Barat
Diskursus tentang
demokrasi di Barat semakin menarik ketika Jürgen Habermas menawarkan konsep
demokrasi deliberatif sebagai tanggapan terhadap dua konsep demokrasi
sebelumnya, yakni demokrasi liberal dan demokrasi republikan. Demokrasi liberal
pada zaman modern bertolak dari paham liberalisme yang dikembangkan oleh John
Lock. Liberalisme sebagaimana dikembangkan oleh John Lock menempatkan negara
sebagai instrumen atau alat untuk menjamin kebebasan asasi individu.[15]
Sedangkan demokrasi republikan yang pada zaman modern dikembangkan oleh J. J.
Rousseau menekankan pentingya tatanan makna bersama (Gemeinsinn), perjuangan untuk nilai-nilai bersama dan komitmen
warga. Di sini, kekuatan republikanisme terletak pada keberpihakan terhadap
kesejahteraan umum daripada kepentingan partai serta memberi penekanan pada
partisipasi warga.[16]
Perbedaan terpenting antara
liberalisme dan republikanisme ialah bagaimana peran dari proses demokratis
dipahami.[17]
Kaum liberal beranggapan bahwa proses demokratis bertugas memprogramkan negara
demi kepentingan masyarakat. Negara dipahami sebagai aparatur administrasi
publik, sedangkan masyarakat dipahami sebagai suatu interaksi berstruktur pasar
antara orang-perorangan dan pekerjaan
mereka. Dalam pemahaman ini, fungsi politik ialah memberkas dan memusatkan
kepentingan sosial perorangan melawan suatu aparatur negara yang memiliki spesialisasi
dalam pekerjaan administrasi kekuasaan politik untuk tujuan-tujuan bersama.[18]
Singkatnya kaum liberal lebih memperhatikan hak-hak individual masing-masing
warganegara berhadapan dengan negara dan para warga lainnya.
Kaum republikan memahami politik
sebagai bentuk refleksi dari kehidupan etis yang mendasar. Politik dilihat
sebagai suatu sarana bagi para anggota kelompok-kelompok solider yang bercorak
kuasi-alamiah menyadari ketergantungan mereka satu sama lain, tetapi tetap
bertindak dengan pertimbangan penuh sebagai warga negara.[19]
Di sini, para warga dipersatukan secara komunikatif untuk mencapai
kesejahteraan umum atau bonum commune.
Kedua model demokrasi di atas,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model liberal ialah
para warga negara dalam proses politiknya dapat menentukan apakah otoritas
pemerintah dijalankan untuk kepentingan para warga masyarakat.[20]
Kelemahannya terletak dalam kenyataan bahwa model demokrasi liberal yang
terlalu memperhatikan jaminan kebebasan individu (hak-hak individual) mengandung
bahaya bahwa setiap warga negara merasa diri begitu bebas hingga tidak lagi
memperhatikan kebebasan warga negara lainnya. Padahal, kebebasan yang
sebenarnya itu tidak pernah absolut, karena akan selalu menemukan batasnya
berhadapan dengan kebebasan orang lain.
Dalam hubungan dengan model
republikan, menurut Habermas model ini juga mengandung kelebihan dan
kekuarangan.
Kelebihannya
ialah bahwa model ini melestarikan makna
demokrasi yang radikal dari suatu masyarakat yang menata dirinya melalui para
warga negara yang dipersatukan secara komunikatif, dan tidak menurut
tujuan-tujuan kolektif ke berbagai deal (persekongkolan)
yang dibuat antara kepentingan-kepentingan pribadi yang saling bersaing.
Kekurangannya ialah model ini terlalu idealistik dalam arti bahwa ia menjadikan
proses demokrasi bergantung pada kebajikan-kebajikan para warga negara yang
keranjingan pada kemaslahatan umum. Padahal politik pada tempat pertama tidak
berpautan dengan soal-soal menyangkut pemahaman diri secara etis.[21]
Sebagai jalan tengah dari dua model
demokrasi di atas, Habermas menganjurkan paham demokrasi deliberatif. Demokrasi
deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi publik secara
demokratis.[22]
Demokrasi deliberatif menegaskan segi prosedural dari demokrasi itu sendiri. Ia
tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang
menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warganegara, tetapi pada prosedur
untuk menghasilkan aturan-aturan itu.[23]
Konsep demokrasi prosedural (deliberatif) berbeda dari model demokrasi liberal
atau republikan. Dalam demokrasi prosedural, formasi kehendak demokratis tidak
ditentukan oleh para aktor politis yang bertindak strategis untuk meraih
kekuasaan. Selain itu, juga tidak diwarnai oleh bentuk komunikasi etis kolektif
para warga yang memiliki keutamaan moral.[24]
Basis legitimasi demokrasi dalam
pandangan Habermas ialah kualitas hasil formasi kehendak dan opini publik yang
digembleng lewat proses diskursus. Tingkatkan kualitas deliberatif
keputusan-keputusan politis dapat diukur dari segi sejauh mana proses pengambilan
keputusan berlangsung secara terbuka dan inklusif.[25]
Tujuan Habermas menawarkan model demokrasi semacam ini adalah menggerakkan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses sosial politik dan ikut ambil
bagian dalam diskursus publik.[26]
Model ini dilandaskan pada syarat-syarat komunikasi, dalamnya proses politik
diandaikan dapat menghasilkan keputusan-keputasan rasional.[27] Habermas
sendiri menegaskan demikian:
paham
politik deliberatif memperoleh relevansi empiris, hanya jika mengindahkan
keanekaan bentuk komunikasi dalamnya suatu kehendak bersama ditempa, artinya
bukan hanya klarifikasi diri melainkan juga keseimbangan antara kepentingan dan
kompromi, pilihan sarana yang melayani tujuan tertentu, justifikasi moral serta
ujian konsistensi hukum. ... Politik yang ‘dialogis’ dan ‘instrumental’ dapat
saling menerobos dengan medium
musyawarah bila bentuk-bentuk komunikasi yang sepadan dilembagakan secara
memadai.[28]
Dalam arti lain, sebagaimana Habermas
sendiri menyebutnya, demokrasi deliberatif adalah demokrasi yang mengandaikan
adanya komunikasi intersubyektif. Suatu proses pertimbangan yang fair dan bebas represi hanya mungkin
terjadi jika setiap orang yang terlibat dalam pertimbangan itu ditempakan
sebagai subyek. Relasi yang dibangun adalah relasi subyek – subyek dan bukan
subyek – obyek. Habermas membongkar kerangka berpikir filsafat kesadaran
(subyek) yang dibangun oleh Descrates sebelumnya. “Dia merekonstruksi konsep
rasio praktis menjadi konsep rasio komunkitaf, dan konsep rasio komunikatif
tersebut di dalam filsafat politik Habermas dipahami secara proseduralistis.”[29] “Apa
yang sangat penting dalam rasio prosedural bukanlah kemasukakalan dari tatanan
dunia yang dirancang oleh seorang subyek secara monologal, melainkan prosedur
yang diakui secara intersubyektif. Lewat prosedur itulah produk-produk proses-proses rasional
memperoleh kesahihannya.”[30]
Setelah
memahami konsep dasar demokrasi deliberatif Habermas, kita sampai pada suatu
pertanyaan: apakah paham demokrasi deliberatif Habermas relevan untuk kita di
Indonesia? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Namun, kiranya
disadari bahwa paham demokrasi deliberatif Habermas lahir di tengah konteks
masyarakat yang tingkat pendidikan dan kesadarannya tinggi serta diwarnai oleh
individualitas yang relatif tinggi pula. Sedangkan, kita di Indonesia masih
kuat dengan budaya kolektif, ditambah lagi dengan kenyataan masih banyaknya
masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Budaya kolektif yang
kental misalnya seringkali memunculkan praktik politik identitas atau praktik
politik primordial. Sedangkan kondisi masyarakat dengan tingkat kesadaran dan
pendidikan yang rendah sangat rentan terhadap upaya-upaya provokatif,
radikalisme, dan fundamentalisme. Masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan mengkotak-kotakkan orang ke
dalam suku, agama, budaya, ras, dan daerah tertentu. Bahkan dalam proses
politik seperti pemilu pun, pilihan masih sangat kuat dipengaruhi oleh isu-isu
primordial di atas. Pada tataran ini, muncul pertanyaan, mungkinkah proses
diskursus yang diidealkan Habermas dapat terlaksana di Indonesia?
Teori
diskursus Habermas bukanlah suatu pendekatan baru untuk menilai masyarakat
modern. Teori ini juga bukanlah sebuah teori menyeluruh seperti teori sosial
politis dari Aristoteles, Hegel atau Marx yang hendak mengarahkan sejarah
manusia untuk mencapai suatu tujuan tunggal. Hal yang ingin ditunjukkan oleh
teori diskursus bukanlah tujuan masyarakat, melainkan hanya cara atau prosedur
untuk mencapai tujuan itu. Tujuan itu sendiri pada gilirannya harus disepakai
bersama sesuai standar prosedur komunikasi yang tepat.[31]
Dalam konteks inilah nalar publik dibentuk dan digembleng. Warganegara akan
semakin sadar akan tanggung-jawabnya dalam menata suatu tatanan masyarakat yang
adil dan sejahtera. Kesadaran itu memungkinkan meningkatnya partisipasi publik
dalam proses pengambilan kebijaksanaan politik.
Bertolak
dari gagasan di atas, paham demokrasi deliberatif Habermas kiranya sangat
relevan diterapkan di Indonesia. Paham ini tidak hendak menggantikan demokrasi
pancasila yang sudah berakar kuat di Indonesia. Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, paham demokrasi deliberatif hanya menawarkan cara dan prosedur
untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama dalam diskursus yang dilaksanakan
secara bebas, adil, dan terbuka. Dengan demikian, konsep diskursus yang
ditawarkan dalam demokrasi deliberatif tidak bertentangan dengan demokrasi
Pancasila. Intisarinya ialah keputusan terhadap sesuatu diambil berdasarkan
suara terbanyak sebagai hasil musyawarah bermutu tinggi. Dalam hal ini, suatu
keputusan menyangkut kehidupan bersama perlu dimusyawarahkan antara semua
golongan dalam masyarakat tanpa ada dominasi mayoritas atau tirani minoritas.
Bila belum tercapai kata sepakat, pimpinan harus berusaha untuk mencapainya
dengan sepakat “bulat” bukan “lonjong”. Jika usaha itu tidak mencapai hasil,
boleh dilakukan pengambilan keputusan suara terbanyak. Prinsip suara terbanyak
adalah cara yang disepakati secara bersama sebelumnya sehingga keputusan yang
diambil tetap merupakan hasil musyawarah dan mufakat yang berkualitas tinggi.[32]
Sebagaimana
sudah disinggung sebelumnya, untuk konteks kita di Indonesia ideal demokrasi
deliberatif ini memang akan selalu ditantang oleh kenyataan masih minimnya
kesadaran politis dan tingkat pendidikan masyarakat. Namun, hal itu bisa
diatasi dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan politik secara
berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendikan hanya mungkin tercapai jika upaya
demokratisasi pendidikan yang sedang diupayakan sampai saat ini terus
ditingkatkan. Melalui upaya itu, masyarakat Indonesia pelan-pelan diantar
menuju suatu tatanan masyarakat yang berkesadaran secara politis dan cerdas
secara intelektual.
Penutup
Demokrasi
tanpa partisipasi rakyat mustahil, karena esensi demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat mesti
proaktif dalam mengontrol roda pemerintahan. Penekanan yang proporsional pada
partisipasi rakyat dalam negara hukum demokratis mendukung terwujudnya
kesejahteraan umum. Dalam rumusan lain, kesejahteraan umum hanya mungkin terwujud
jika hak-hak dasar rakyat seperti kebebasan berpartisipasi dan bersuara terpenuhi.
Sesuatu yang umum selalu dibangun dari sesuatu yang individual. Dalam
perspektif fungsionalisme struktural, suatu keseluruhan tidak pernah terlepas
dari bagian-bagiannya. Dalam konteks ini, pemerintah tidak boleh merumuskan tujuan politik secara sepihak
tanpa ada suatu pertimbangan publik atau konsensus bersama yang dilaksanakan
secara terbuka, fair dan bebas
represi. Suatu konsensus yang terbuka, fair
dan bebas represi hanya mungkin jika semua warganegara diperlakukan secara sama
sebagai pribadi yang bebas dan setara. Konsep yang dibangun di sini adalah
konsep rasio komunikatif. Konsep rasio komunikatif mengedepankan komunikasi
intersubyektif dalam proses deliberasi publik. Dengan jalan ini, suatu keputusan
yang dihasilkan dapat diterima oleh semua orang karena merupakan suatu
keputusan hasil konsensus bersama yang dilaksanakan secara terbuka, fair dan bebas represi. Maka ketika ada
warganegara yang bertindak di luar keputusan itu, negara dapat bertindak tegas
dengan tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama. Hal ini merupakan tuntutan
normatif untuk suatu negara hukum demokratis yang diwarnai oleh pluralitas
pandangan, suku, ras, keyakinan, dan agama. Untuk konteks Indonesia, hal ini
dapat menekan upaya-upaya provokatif, radikalisme, dan fundamentalisme yang
mengancam kesatuan bangsa.
[1] Franz Magnis-Suseno SJ, “Kata Pengantar”, dalam Otto Gusti Madung, Post-sekularisasi, Toleransi dan Demokrasi
(Maumere: Penerbit Ledalero, 207), hlm. iii.
[2] John Rawls, “Warganegara Sebagai Pribadi Merdeka dan Setara”, dalam Felix Baghi (ed.), Kewarganegaraan Demokratis Dalam sorotan Filsafat Politik (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 57.
[3] Will Kymlicka dan Wayne Norman, “Kembalinya sang
Warganegara: Kajian tentang Karya Mutakhir di Bidang Teori Kewarganegaraan”,
dalam Felix Baghi (ed.), Kewarganegaraan
Demokratis Dalam sorotan Filsafat Politik (Maumere: Penerbit Ledalero,
2009), hlm. 36.
[4] Otto Gusti Madung, Filasafat
Politik – Negara Dalam Bentangan Diskursus Filosofis (maumere: Penerbit
Ledalero, 2013), hlm. 101-102.
[5] Franz Magnis-Suseno, “Dampak Komunikasi Internasional terhadap
Tuntutan Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, dalam Syamsuddin
Haris dan Riza Sihbudi (eds.), Menelaah
Kembali Format Politik Orde Baru, cetakan II (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hlm. 79.
[6] Otto Gusti Madung, loc. cit.
[7] Franz Magnis-Suseno, loc. cit.
[8] F. Budi Hardiman, Massa, Teror
dan Trauma – Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2011), hlm. 55.
[9] Otto Gusti Madung, op. cit. hlm.
91.
[10] F. Budi Hardiman, loc.cit.
[11] Dalam kenyataannya memang tidak selalu demikian. Transformasi sistem
demokrasi yang terjadi sepanjang sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terlepas
dari kepentingan-kepentingan kaum elite. Sistem pemerintahan demokrasi diatur
sedemikian rupa untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan segelintir elite yang
berkuasa.
[12] Matias Daven, “Filsafat Pancasila” (ms.), (Maumere: STFK Ledalero,
2016), hlm. 40-42.
[13] Ibid., hlm. 188-189.
[14] Arcy Deo Datus, Filsafat Politik
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2013), hlm. 323.
[15] Otto Gusti Madung, op. cit. hlm.
122.
[16] Ibid., hlm. 123-124.
[17] Jürgen Habermas, “Tiga Model Normatif Untuk Demokrasi”, dalam Felix
Baghi (ed.), Kewarganegaraan Demokratis
Dalam sorotan Filsafat Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm.
110.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 112.
[21] Ibid., hlm. 118.
[22] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif
– Menimbang ‘Negara Hukum’dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,
2009), hlm. 129.
[23] Ibid., hlm. 128.
[24] Otto Gusti Madung, Politik
Difernsiasi versus Politik Martabat Manusia? (Maumere: Penerbit Ledalero,
2011), hlm. 104.
[25] Ibid. hlm. 104-105.
[26] Otto Gusti, Post-Sekularisasi,
Toleransi dan Demokrasi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 24.
[27] Jürgen Habermas, op. cit.
hlm. 120.
[28] iIbid.
[29] Budi Hardiman, Demokrasi
Deliberatif, op. cit., hlm. 31.
[30] Ibid., hlm. 33.
[31] Ibid., hlm. 24.
[32] Archy Deo Datus, op. cit. Hlm.
324.
DEMOKRASI DAN NALAR PUBLIK
Reviewed by insancerdaspolitik
on
August 01, 2018
Rating:
No comments: