Recent Posts

banner image
banner image

Demokrasi Minus Nilai-Nilai



Demokrasi Minus Nilai-Nilai
Ferdi Jehalut

Pada tanggal 25 November 2007 silam, M. Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta,  pernah mengucapkan kalimat yang sempat membuat publik tersontak dan terkejut. Kutipan pidato beliau yang menjadi kesimpulan partai berbunyi demikian, “Demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat” (dikutip oleh Adnan Buyung Nasution (2010) dari Kompas, 26/11/2007).

Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Demokrasi Konstitusional (2010) menilai, pernyataan itu bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang dibangun di era reformasi ini. Menurutnya, pernyataan semacam itu mesti dikoreksi, karena demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, melainkan merupakan nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pernyataan M. Jusuf Kalla di atas sengaja dikutip mengingat sampai saat ini pemahaman akan demokrasi itu sendiri masih menimbulkan multitafsir baik di kalangan elite politik maupun masyarakat biasa. Selain itu, dalam praktiknya juga demokrasi kita seringkali rancu dan bahkan melahirkan masalah-masalah kronis yang turut menggiring negara ini ke ambang pintu kehancuran.

Kita sudah lama menganut sistem pemerintahan demokrasi, bahkan sudah belasan tahun kita hidup dalam zaman reformasi, tetapi arti dan makna demokrasi itu sendiri belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh masyarakat Indonesia. Yang lebih ironis lagi, para elite politik, politisi dan politikus baik yang berada di tingkat legislatif maupun eksekutif  sendiri pun masih banyak yang kurang memahami arti demokrasi itu sendiri. Hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin mengingat banyak juga para politisi dan politikus kita yang duduk di kursi-kursi kekuasaan tidak dibekali pemahaman tentang politik dan demokrasi yang memadai sebelumnya. Sebab jabatan itu tak jarang diperoleh lewat praktik-praktik politik sesat yang melanggar norma-norma demokrasi itu sendiri.

Tulisan ini tidak berpretensi memberikan definisi yang memadai tentang demokrasi. Namun, hal yang mau ditonjolkan dalam tulisan ini ialah koreksi atas pemahaman demokrasi yang selama ini cenderung dimaknai secara proseduralistis belaka. Pemaknaan demokrasi yang terlampau proseduralistis itu mengakibatkan demokrasi kita kehilangan nilai-nilainya yang sebenarnya. Kehilangan nilai-nilai berarti juga kehilangan jiwanya. Maka tidak heran demokrasi, sebagaimana Nasution, lebih dipahami hanya sekedar cara, alat, atau proses untuk mencapai tujuan utama – kesejahteraan rakyat – sampai melupakan bahwa tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai dan norma-norma demokrasi. Nilai-nilai normatif demokrasi itu sendiri misalnya, egalitarianisme (kesetaraan), penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, toleransi, respek terhadap sesama, responsibilitas, pluralisme, kebebasan, akuntabilitas, dan sebagainya. Dengan demikian tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat tidak pernah boleh menghalalkan segala cara, apalagi melanggar prinsip-prinsip (nilai) demokrasi itu sendiri.

Hemat saya, hal di atas penting untuk dipahami, mengingat sebentar lagi kita akan menggelar pilkada serentak tahap ketiga. Pada momen seperti ini, bisa terjadi pemahaman demokrasi sebagai sarana, alat, atau cara semata mengalami pergeseran dari “untuk mencapai kesejahteraan rakyat menjadi untuk mencapai kesejahteraan pribadi dan kolektif”. Ini tentu lebih parah lagi. Ketika nilai-nilai demokrasi direduksi menjadi hanya prosedur semata, kecenderungan untuk menghalalkan segala cara untuk menduduki kursi kekuasaan sangat besar. Dalam hal ini, praktik-praktik “politik busuk” niscaya tak terbendungi. Bahkan menjual harga diri melalui praktik money politics pun tidak lagi dilihat sebagai suatu yang memalukan.

Demokrasi Tanpa Jiwa
        
 “Demokrasi tanpa jiwa” adalah istilah yang saya gunakan untuk demokrasi yang kehilangan nilai-nilainya. Masyarakat modern cenderung memahami demokrasi sebagai pemerintahan yang dijalankan melalui voting, otoritas untuk memutuskan segala sesuatu dijalankan melalui prinsip suara mayoritas, peran suara terbanyak. Pemahaman ini bukan tanpa bahaya. Bahaya yang paling kentara ialah munculnya tirani mayoritas. Lebih dari itu, demokrasi cenderung dipahami hanya sekadar prosedur politik semata untuk mencapai keputusan-keputusan politik dan merengkuh jabatan publik. Akibat yang bisa muncul ialah demokrasi sering kehilangan jiwanya. Rakyat pun seringkali hanya dijadikan sebagai the voters  pada saat pemilu. Setelah pemilu peran rakyat juga berakhir. Bahkan sering terjadi, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat (meskipun sering juga hanya iming-iming), nilai-nilai demokrasi itu sendiri menjadi korban dan secara tidak langsung juga mengorbankan rakyat itu sendiri.

Pemahaman yang sedikit lain mengenai term demokrasi diungkapkan oleh Jacques Ranciѐre (Kristin Ross, 2011). Menurutnya, demokrasi tidak boleh dipahami hanya soal jumlah dan  sistem kontrol. Demokrasi lebih sebagai potensialitas dan kemungkinan: kesanggupan rakyat biasa untuk menemukan model-model tindakan untuk merealisasikan hal-hal yang biasa. Selanjutnya ia menegaskan bahwa demokrasi dalam kenyataannya terlampau mahal dan suggestive. Padahal arti dari demokrasi yang sebenarnya adalah “kemampuan untuk melakukan segala sesuatu”.

Apa yang dikatakan Ranciѐre di atas benar. Demokrasi kita memang terlampau mahal. Bayangkan untuk menyukseskan suatu pemilihan umum saja kita harus menghabiskan dana negara miliaran bahkan triliunan rupiah. Menghabiskan dana sebesar itu sebenarnya tidak dipersoalkan kalau melalui sistem pemilihan umum muncul pemimpin-pemimpin yang benar-benar berintegritas dan bermoral yang sungguh memperjuangkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Namun, menjadi problematis ketika seringkali pemimpin-pemimpin yang dihasilkan melalui sistem pemilihan umum justru pemimpin-pemimpin busuk yang lebih giat memperjuangkan popularitas dan kekayaan pribadi dari pada kesejahteraan umum. Bagaimana tidak, politik transaksional terjadi secara masif dan sistematis dalam politik pilkada.

Menurut hasil penelitian Prof. Stein Kristiansen dari Universitas Agder, Norwegia dan UGM, sebagaimana dikutip oleh Otto Gusti Madung (2017:149), untuk menjadi bupati di Indonesia seorang tidak segan-segan mengeluarkan biaya sekitar 5 hingga 20 miliar. Sementara itu gaji seorang bupati cuma berkisar dari 6 sampai 7 juta perbulan. Dalam kondisi ini korupsi dengan berbagi modus adalah sebuah keniscayaan. Bahkan praktik kolusi dan nepotisme juga bukan tidak mungkin terjadi.

Di tengah konteks semacam itu mustahil nilai-nilai demokrasi seperti sudah disebutkan sebelumnya terwujud.  Misalnya, bagaimana nilai-nilai responsibilitas, akuntabilitas dipertanggungjawabkan di tengah kenyataan korupsi; bagaimana hak-hak asasi orang-orang di sekitar daerah eksploitasi tambang diperjuangkan jika pemimpin berkonspirasi dengan kapitalis; bagaimana prinsip kesetaraan diwujudkan jika pemimpin terjebak dalam nepotisme.

Fakta di atas juga secara gamblang menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia lebih banyak dijadikan sebagai sarana bagi sekelompok elite yang rakus akan kekayaan untuk meningkatkan taraf ekonominya. Jabatan politik dijadikan sebagai ladang untuk menanam investasi ekonomi besar-besaran. Yah, demokrasi kita memang benar-benar telah dijual dan digadaikan oleh nafsu liar segelintir elite yang tidak bermoral. Kristin Ross menyebutnya sebagai democracy for sale. Hal ini tidak dimaksudkan mengabaikan semua perjuangan para pemimpin untuk kesejahteraan rakyat, karena tujuan keberadaan mereka memang sudah seharusnya demikian.  Dalam konteks pilkada, di sinilah kita dituntut untuk berpikir kritis dalam menilai setiap kandidat. Orang-orang yang bermata duit sebaiknya tidak usah dipilih. Meskipun tampilan luarnya terkesan ramah dan sopan. Tampilan semacam itu seringkali hanya sebagai topeng untuk menutupi tabiat aslinya. Pililah orang yang benar-benar berjiwa populis dan berkarakter negarawan dan demokratis.



Demokrasi Minus Nilai-Nilai Demokrasi Minus Nilai-Nilai Reviewed by insancerdaspolitik on August 01, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.