Recent Posts

banner image
banner image

DEMITOLOGISASI POSITIVISME DAN CENDEKIAWAN SADAR KONTEKS



DEMITOLOGISASI POSITIVISME
 DAN CENDEKIAWAN SADAR KONTEKS[1]

Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa Semester IV STFK Ledalero
Abstraksi: Logika positivisme telah membawa ekses ganda dalam kehidupan masyarakat modern. Di satu sisi, positivisme berjasa dalam menetapkan otonomi ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, positivisme justru memperlebar jurang keterasingan antara ilmuwan dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan etika, serta teori dan praksis hidup manusia. Klaim positivisme tentang ilmu pengetahuan yang bersifat bebas nilai dan bebas kepentingan pada akhirnya justru mendorong munculnya krisis modernitas yang sulit diatasi. Kehidupan masyarakat modern semakin bebas dari kendali dan pertimbangan etis. Ilmuwan merasa tidak bertanggung jawab untuk mencari dan menemukan alternatif bagaimana seharusnya masyarakat ditata. Tugas ilmuwan ialah mendeskripsikan kenyataan apa adanya (das sein) dan bukan apa yang seharusnya (das sollen). Akibatnya, ilmuwan menjadi orang yang begitu pandai melakukan penelitian ilmiah, tetapi implikasi moral dari penelitian yang dibuat untuk masyarakat sangat minim. Kondisi ini harus diubah jika diharapkan akan diciptakan cendekiawan yang mempunyai kepekaan etis terhadap kenyataan sosial yang menindas. Konteks modernitas saat ini hemat saya menuntut kehadiran cendekiawan emansipatoris. Cendekiawan emansipatoris adalah cendekiawan yang membawa misi pembebasan bagi masyarakat. Agar tujuan itu bisa tercapai, pertama-tama mitologi positivisme yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif itu mesti dibongkar.
Kata-kata kunci: positivisme, ilmu pengetahuan, etika, demitologisasi positivisme,   cendekiawan, kepentingan emansipatoris
I.     Pengantar
            Sejak pecahnya revolusi ilmu pengetahuan terjadi banyak perubahan dalam ranah kehidupan manusia. Selama periode ini pandangan tentang manusia berubah. Selain itu turut berubah pula pandangan tentang ilmu pengetahuan, ilmuwan, metode aktivitas ilmiah, lembaga ilmiah, hubungan antara ilmu dan masyarakat, ilmu dan filsafat, serta ilmu dan agama.[2] Periode ini menjadi awal kemunculan era modern yang ditandai dengan menguatnya perkembangan rasionalisme.
Perkembangan rasionalisme pada era modern telah membawa beragam dampak yang muncul dari dinamika cara berpikir rasional, yang selanjutnya berkembang menjadi cara berpikir ilmiah setelah unsur rasional digabungkan dengan unsur empiris.[3] Dalam bidang ilmu pengetahuan hal itu memicu perdebatan serius tentang obyektivitas ilmu pengetahuan. Paradigma positivistis misalnya, membatasi ilmu pengetahuan pada sesuatu yang dapat diverifikasi secara empiris. Pandangan ini menandai dominasi empirisme atas rasionalisme. Dengan ini, tradisi mitis-teologis abad pertengahan dan tradisi rasional-filosofis para filsuf dan penggagas ilmu pengetahuan pelan-pealan dirobohkan.
Logika positivisme harus diakui telah membawa ekses ganda dalam kehidupuan masyarakat modern. Di satu sisi, klaim positivisme tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai dan bebas kepentingan berjasa dalam menetapkan otonomi ilmu pengetahuan. Di sisi lain, logika positivisme dengan corak rasionalitas ilmiah-tekhnologisnya yang bebas nilai dan bebas kepentingan telah memunculkan model kecendikaan baru yang minim kepedulian etis terhadap realitas sosial yang memprihatinkan. Para ilmuwan begitu pandai melakukan penelitian sosial, tetapi kepedulian etis terhadap implikasi praktis dari penelitan yang dibuat sangat minim. Bahkan pada tataran yang paling kritis, para ilmuwan produk rahim positivisme justru menyangkali sendiri klaim bebas kepentingan dari ilmu pengetahuan dengan menjadi alat bayaran untuk melegitimasi status qou dari kelas-kelas dominan dalam masyarakat (entah penguasa politik atau kapitalis). Dalam konteks ini, positivisme bercorak ideologis. Ia justru dikembangkan untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang menindas serta mendorong bertumbuhnya logika kapital dan logika industrial yang turut memperparah situasi patologis. Sampai pada taraf ini, pantaskah logika positivisme itu dipertahankan?
II.      Diskursus Positivisme
2.1 Positivisme dalam Lintasan Sejarah
            Auguste Comte, seorang filsuf Prancis abad ke19, umumnya dikenal sebagai penemu istilah positivisme. Comte mendapat inspirasi dari seorang sosialis utopis yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran ekonomi sosial yang bernama Saint Simon. Bagi Comte, masyarakat modern telah memasuki fase pemikiran positivistis, suatu fase pemikiran yang sangat luas ditentukan dan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan empiris. Menurutnya, positivisme merupakan model paling akhir dari pemikiran manusia setelah melewati fase teologis dan fase metafisis. Fase ini disebut fase ilmiah, suatu fase yang mendasarkan pengetahuan pada observasi dan eksperimen.[4] Pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan eksperimen ini bersifat bebas nilai dan bebas kepentingan. Pengetahuan dikembangkan demi pengetahuan, teori dipisahkan dari praxis hidup manusia.[5]
            Unsur utama dari positivisme dapat dilihat dari karya Ernest Mach, inspirator sekolah Wina yang berkembang pada awal abad ke-20. Dalam bukunya Die Mechanik, Mach mengembangkan sebuah konsep ilmu pengetahuan sebagai buku telepon yang memudahkan setiap orang untuk mencari data tentang nama dan nomor telepon. Fungsi ilmu bagi Mach tidak lebih dari ringkasan atas data empiris. Mach, mengikuti Hume menegaskan bahwa dasar dari ilmu pengetahuan adalah apa yang didengar, dilihat, dan yang dirasakan, dan bukan yang dipikirkan. Ilmu pengetahuan merupakan struktur yang berbasiskan pengamatan dan eksperimen, pengetahuan harus bersumber pada sense-datum. Ilmu pengetahuan yang bercorak demikian hanya akan berfungsi baik jika ia memberikan penjelasan tentang fakta secara atomistis.[6]
            Pemikiran atomistis Mach berpengaruh besar bagi pemikiran positivisme logis yang terungkap dalam pandangan Moritz Schlick, pendiri sekaligus anggota Sekolah Wina di Austria. Sama seperti Mach, Schlick berpandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan deskripsi singkat, padat, dan pasti tentang unsur-unsur suatu fakta atau peristiwa yang saling terkait satu sama lain.[7] Hal itu berarti ilmu pengetahuan mesti menempatkan data sebagai sentrum perhatiannya.
            Jika Mach dan Schlick memberikan atensi pada masalah data sebagai sumber pengetahuan, para pemikir lingkungan Wina yang lain seperti Rudolf Carnap, Herbert Feigl, Philipp Frank, Kurt Godel, Karl Menger, Otto Neurath, dan Friedrich Waismann, memberikan        makna logis dari putusan-putusan ilmiah itu.[8] Inilah yang disebut positivisme logis, yakni suatu pemikiran yang memusatkan perhatian pada makna dan struktur logis dari setiap putusan-putusan ilmiah yang berbasiskan data. Dengan demikian prinsip dasar cara kerja ilmu pengetahuan adalah verifikasi. Suatu proposisi benar secara ilmiah jika dapat diverifikasi secara empiris. “Di luar ucapan-ucapan positif dinilai sebagai nonsense, misalnya klaim-klaim moral, ucapan-ucapan estetis dan ontologi. Ketiganya nonsense karena tak dapat diverifikasikan.[9]
2.2 Kritik Positivisme
            Klaim-klaim positivisme di atas menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Kritik yang paling tajam dilancarkan oleh para pemikir dari “Mazhab Frankfurt”[10], Th. W. Adorno, Herbert Marcuse dan Horkaimer sebagai generasi pertama Teori Kritik, dan Habermas sebagai pembaharu Teori Kritik. Generasi pertama “Teori Kritik”[11] mengkritik hegemoni aliran pemikirian positivisme modern. Sebagai ideologiekritik, Teori Kritik bertugas membongkar kedok ideologis positivisme. Positivisme bukan sekadar paradigma positivistis mengenai ilmu pengetahuan, melainkan jauh lebih luas dari itu, positivisme merupakan cara berpikir yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas pendirian sentral rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritik mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis, yakni pada taraf teori pengetahuan ia ingin mengatasi saintisme atau positivisme dan pada taraf teori sosial kritik diarahkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.[12]
            Ada beberapa pendirian sentral positivisme yang menjadi sasaran kritik para pemikir Mazhab Frankfurt.[13] Pertama, positivisme menetapkan suatu kesatuan metode ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan mencita-citakan unified science. Logika ini kemudian memancing perdebatan: apakah ilmuwan harus bekerja dengan prinsip bebas nilai atau tidak. Kedua, tujuan bidang disiplin sama, yakni mencari dalil-dalil umum. Ketiga, hubungan teori dan praksis terutama bercorak teknis. Ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial, harus bersifat teknis instrumental.  
            Beberapa butir pandangan positivisme di atas menurut para pemikir Mazhab Frankfurt tidak mendorong perubahan sosial. Ilmu semata-mata bersifat afirmatif terhadap realitas sosial yang represif. Kerangka metode ilmiah didominasi oleh rasionalitas instrumental dan tekhnologis. Dengan demikian, ilmuwan bebas dari tanggung jawab sosial untuk menentukan apa yang seharusnya (das sollen) dilakukan. Ilmuwan yang dihasilkan adalah ilmuwan yang bersifat ahistoris dan asosial atau indiferen terhadap realitas sosial. Ia hanya tahu melakukan penelitian, tapi tidak punya kepekaan etis untuk terlibat dalam penataan masyarakat yang adil. Pada tataran inilah, Teori Kritis mendemonstrasikan suatu misi emansipatoris dengan basis argumentasi bahwa teori harus mendorong praksis hidup politis manusia.
Lebih lanjut generasi pertama Teori Kritis menegaskan bahwa logika positivistis telah menghasilkan penindasan ideologis yang bersifat total. Rasionalitas instrumental dan tekhnolgis yang dihasilkan dari positivisme telah menyebabkan rasio kehilangan daya gigitnya untuk membongkar realitas sosial yang represif. Ia terkungkung dalam dominasi yang bersifat total.[14] Dengan ini, secara epistemologis, mereka menghadapi pesimisme total terhadap Teori Kritis mereka sendiri. Mereka menghadapi jalan buntu. Mereka tidak menemukan adanya jalan keluar bagi masyarakat yang dikritiknya sendiri.[15] Padahal seharusnya Teori Kritik pertama-tama merumuskan dasar kritik diri. Mengutuk sesuatu berarti mengajukan pertanyaan mengenai  kriteria mana yang menunjukkan bahwa kritik itu menarik.[16]
            Pandangan generasi pertama Teori Kritik di atas dibaharui oleh Habermas. Menurutnya, generasi pertama Teori Kritik keliru menilai bahwa penindasan ideologis itu bersifat total. Habermas menegaskan bahwa transformasi masih bisa diperjuangkan melalui dialog-dialog emansipatoris,[17] bukan harus dipaksakan dengan cara revolusi. Jadi, hanya melalui jalan komunikasi dan bukan dominasi dapat diharapkan terciptanya masyarakat demokratis radikal, suatu masyarakat yang berinteraksi dalam suasana komunikasi yang bebas represi.[18]
            Meskipun Habermas sedikit mengoreksi gagasan generasi pertama Teori Kritik, ia tetap punya posisi dasar yang sama dengan mereka terkait kritik terhadap positivisme. Mereka sama-sama sepakat bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai dan bebas kepentingan. Posisi ini menemukan titik terangnya pada Habermas yang menunjukkan hubungan antara aturan-aturan logis-metodologis dan kepentingan-kepentingan di balik pengetahuan. Menurutnya, paradigma ilmu pengetahuan empiris-analitis digerakan oleh kepentingan tekhnis, ilmu-ilmu historis-hermeneutis berkaitan dengan kepentingan praktis dan ilmu pengetahuan kritis digerakan oleh kepentingan emansipatoris.[19] Pemahaman tekhis  terhadap ilmu itu bersifat positivistik, dan dari sini akhirnya menjadi ideologis. Itu terjadi karena ia menolak unsur hermeneutik dalam ilmu saat dipraktikkannya. Hasilnya adalah ilmu dan rasionalitas yang ada dalam era kapitalis diselewengkan untuk melawan manusia dan bukannya dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Di sini, dibutuhkan teori kritis untuk melawan bentuk negatif ilmu positivistik dan mengubahnya menjadi suatu kegiatan emansipatoris yang mengupayakan perbaikan politik dan sosial.[20]
            Dengan gagasan Habermas di atas, mau ditunjukkan bahwa kepentingan emansipatoris atau pembebasan mesti menjadi puncak dan inti terdalam yang menggerakan seluruh penelitian ilmiah. Kepentingan  itu harus berkembang menuju teori masyarakat kritis yang bisa mengidentifikasi serta mengatasi patologi-patologi sosial seperti kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme.[21]
III.    Cendekiawan dan Misi Emansipasi
Sebelum masuk pada inti persoalan subbagian ini, terlebih dahulu diuraikan siapa sesungguhnya golongan intelektual atau cendekiawan itu. Apakah cendekiawan itu hanya ada dalam pembayangan atau dalam bangunan bayang-bayang menjadi imagined intellectual communities, suatu komunitas dalam bangunan bayang-bayang citra seperti konsep tentang bangsa sebagai  komunitas bayang-bayang citra ala Benedict Anderson?[22]
Upaya untuk mendefinisikan cendekiawan diakui bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang yang mendifinisikan cendekiawan  bisa saja terjebak dalam subyektivisme makhluk se-genus, yang mana cendekiawan mendefiniskan cendekiawan. Hal ini diakui oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya “Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru”. Oleh karena itu, Dhakidae sendiri tidak berani memberikan definisi tentang cendekiawan. Ia memilih menempatkan cendekiawan lebih sebagai hasil dari pola hubungan, relations, yaitu relasi dengan kekuasaan, modal, dan kebudayaan.[23]
Akan tetapi, bagaimana mungkin kita berbicara tentang cendekiawan kalau kejelasan definisi cendekiawan itu sendiri masih kabur? Dalam tulisan ini, dengan tetap memperhitungkan kesulitan mendefinisikan cendekiawan itu, karena fokus tulisan ini adalah tentang demitologisasi positivisme, maka demi kepentingan kejelasan makna, dalam tulisan ini penulis memahami cendekiawan itu sebagai ilmuwan atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Di sini, penulis menolak gagasan Antonio Gramsci (1976) yang mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang punya peran intelektual dalam masyarakat. Dasar penolakan ini ialah, seorang disebut intelektual atau cendekiawan hanya sejauh ada orang yang bukan kaum intelektual atau cendekiawan. Akan tetapi, Gramsci benar bahwa intelektual memang mesti punya peran dalam masyarakat. Bertolak dari pandangan Gramsci itu,  ulasan selanjutnya berusaha melihat relasi fungsional cendekiawan itu dalam masyarakat. Analisis ini berpijak pada kritik terhadap logika positivisme.
Klaim positivisme tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai dan bebas kepentingan seolah menempatkan ilmuwan sebagai makhluk asing dari luar angkasa yang datang melakukan penelitian di planet bumi dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan gambaran tentang situasi bumi. Padahal dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan apapun selalu dikembangkan demi kepentingan manusia. Dengan demikian, ilmuwan tidak pernah terlepas dari kepentingan yang membelenggunya dalam melakukan penelitian sosial. Hal ini terbukti oleh kenyataan bahwa paradigma positivisme sendiri bercorak ideologis. Ia dikembangkan untuk melanggengkan status qou dalam masyarakat. Ilmuwan pun tak jarang menjadi titipan kelas tertentu untuk melakukan penelitian sosial demi memperkuat kedudukannya di tengah masyarakat. Hal ini menurut saya menjadi “kritik diri” bagi para pendukung positivisme.
Kenyataan sosial masyarakat saat ini yang semakin dikuasai oleh kapitalisme dan praktik kekuasaan yang sangat oportunis, pragmatis, dan koruptif hemat saya mesti menjadi pertimbangan mendasar yang menuntut demitologisasi positivisme. Apalagi kenyataan sosial semacam itu justru dipicu oleh rasionalitas ilmiah-tekhnologis yang bebas nilai dan bebas kepentingan ala positivisme itu sendiri. Oleh karena itu, kiranya penting dan mendesak untuk segera memikirkan peran ilmuwan berhadapan dengan realitas sosial semacam itu. Peran yang dimaksud mesti bercorak emansipatoris. Untuk maksud itu, ilmu pengetahuan pertama-tama harus membebaskan diri dari klaim positivistis yang menempatkan ilmu bebas dari kendali dan pertimbangan etis. Sebab klaim seperti itu justru memperlebar jurang keterasingan  antara ilmuwan dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan etika, serta teori dan praksis. 
            Gagasan di atas hemat saya mengafirmasi kembali pandangan Habermas tentang ilmu pengetahuan kritis yang digerakan oleh kepentingan emansipatoris.  Ilmu pengetahuan tidak pernah dikembangkan demi ilmu pengetahuan; penelitian tidak pernah dibuat demi penelitian itu sendiri. Kepentingan emansipatoris harus menjadi tujuan utama dari pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah. Hal itu berarti ilmuwan harus menjadi kaum profesional yang secara moral, selain wajib mematuhi kaidah-kaidan profesional keilmuannya, sebagai warga negara yang telah dibekali oleh kemampuan profesional tertentu mereka juga secara sosial bertanggung jawab agar perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya dapat berguna bagi kesejahteraan hidup manusia dan bukan malah mendehumanisasi manusia atau merendahkan keluhuran martabat manusia.[24]
            Konsekuensi dari pandangan di atas adalah ilmuwan atau cendekiawan harus menentukan opsi berhadapan dengan kenyataan sosial yang menindas. Menentukan opsi berarti menentukan perannya di tengah masyarakat. Dengan demikian ilmuwan tidak menjadi “fachidiot[25]. Dalam konteks ini pandangan kritikus Marxis Italia, Antonio Gramsci relevan. Menurutnya, cendekiawan tidak boleh merasa betah dalam ketidakmenentuan sikap. Cendekiawan mesti mengambil peran tertentu dalam perlawanan terhadap kekuatan “hegemonik”[26]. Gramsci kemudian mengelompokkan intelektual ke dalam dua tipe, yakni intelektual organik dan intelektual tradisional.
Intelektual organik menurut Gramsci adalah “cendkiawan yang ‘mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan kemampuan kelas tertentu’. Produk artikulsi ini berlangsung dengan nama ‘ideologi’.”[27] Jadi, intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas tertentu entah dari kelas berjuis dan memihak mereka atau dari kelas buruh dan berpihak kepada perjuangan kaum buruh. [28] Dalam konteks kenyataan sosial saat ini, hemat saya opsi yang harus diambil ialah menjadi intelektual organik yang berpihak kepada kelas atau golongan tertindas dalam masyarakat dan harus memperjuangkan kepentingan umum dan bukan kepentingan segelintir kapitalis atau penguasa yang lalim dan serakah.
Sedangkan intelektual tradisional menurut Gramsci adalah intelektual yang dapat dikategorikan sebagai intelektual otonom dan merdeka dari kelompok sosial dominan. Jenis intelektual ini memisahkan inteligensia dari tatanan berjuis. Mereka adalah orang-orang yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Gramsci mencontohkan golongan rohaniwan, manusia literer, filsuf dan artis sebagai intelektual tradisional. Gramsci menganjurkan agar kelompok intelektual ini segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan segera bergabung dengan kelas-kelas revolusioner. Intelektual ini menurut Gramsci mesti secara organis berhubungan dengan kaum buruh, menjadi bagian dari organisasi yang memang menyediakan kepemimpinan untuk golongan tertindas.[29] Dengan ini, posisi Gramsci jelas, intelektual tidak boleh bersikap indiferen terhadap realitas penghisapan kelas buruh oleh kelas kapitalis. Intelektual harus mengemban misi emansipatoris bagi golongan tertindas.
IV.   Membangun Cendekiawan Sadar Konteks
            Dalam “alegori gua” (buku VII The Republic), Plato menyentil sedikit keterlibatan dan misi emansipasi dari kaum intelektual. Ia menggambarkan beberapa tawanan yang setelah dibebaskan dari tawanan dan yang dalam pendakiannya menuju dunia intelektual, menemukan dan mengalami dunia real di luar gua. Setelah mereka sampai di dunia atas itu, demikian Plato, apakah mereka harus tetap berada di dunia atas? Tidak! Mereka harus diturunkan lagi di antara para tawanan yang masih tersekap di dalam gua, dan ikut mengambil bagian dalam pekerjaan dan kehormatan mereka, apakah mereka pantas atau tidak untuk memilikinya.[30]
Pandangan Plato di atas merupakan suatu gambaran yang sangat cocok untuk mengulas keterlibatan cendekiawan dalam kehidupan sosial, kultural, dan politik pada era modern ini. Kehidupan masyarakat saat ini sedang dikuasai oleh budaya ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dengan rasionalitas ilmiah-tekhnologisnya yang bebas nilai. Ilmu pengetahuan atau kehidupan sosial pada umumnya semakin lepas dari kendali dan pertimbangan etis.[31] Singkatnya masyarakat modern sedang disekap atau dibelengu oleh mitologi-mitologi positivisme yang membawa cukup banyak ekses negatif  dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengatasi kenyataan itu dituntut suatu model pendekatan baru. Model itu tidak lain ialah hasil pertemuan antara konsep dan konteks yang ada. Pada tataran intelektual-akademis, model yang ditawarkan di sini ialah model pembebasan. “Bak tawanan yang sudah bebas pergi membebaskan teman-temannya dalam gua yang masih tersekap, begitulah cendekiawan modern mesti berjuang membebaskan manusia modern dari belenggu sosial dan politis yang menindas.”
Cendekiawan yang mengemban misi emansipasi pada era modern ini hemat saya adalah model cendekiawan yang sadar konteks. Ia berani keluar dari klaim-klaim positivistis untuk menanggapi situasi sosial dan politik yang semakin ambruk dan lepas dari kendali dan pertimbangan moral. Pada titik ini, cendekiawan menyadari dirinya sebagai salah satu dari agen perubahan sosial. Ia bukan hanya menjadi pengamat sosial, melainkan ia juga harus memikirkan dan aktif mencari alternatif terbaik untuk mengatasi situasi yang ada sebagai implikasi moral dari penelitiannya. Itu berarti, ia tidak boleh mengambil posisi netral. Mengambil posisi netral sama dengan membiarkan kejahatan tetap bertumbuh; sebaliknya, melakukan sesuatu tetapi demi memperkuat hegemoni kelas-kelas penindas atau penguasa (politis) sama dengan mendukung monster penghisap “darah dan daging” kelas tertindas untuk tetap melancarkan aksi liarnya. Opsi yang kedua ini, jika benar-benar terjadi, hemat saya menjadi suatu jawaban afirmatif terhadap pertanyaan Plato kepada Glaucon: 
Apakah engkau tidak pernah mengamati kecerdasan yang picik yang bersinar dari mata yang tajam pada seorang penjahat yang licik – betapa bernafsunya dia, betapa dengan sangat jelas jiwanya yang tak berharga melihat jalan untuk mencapai tujuannya; dia adalah lawan kebutaan, tetapi pengelihatan matanya yang tajam dipaksa untuk melayani kejahatan, dan dia jahat sebanding dengan kelicikannya?[32]
Intelektual modern hemat saya mesti menghindari sikap “pecundang” semacam itu. Patologi sosial dan politik yang menjangkiti masyarakat modern menuntut kaum intelektual untuk mengabdi kepada kepentingan emansipatoris. Jika kaum intelektual berani mengambil opsi ini, masyarakat modern kiranya tidak segan-segan melantunkan kidung kemuliaan: “kita sudah memiliki intelektual sadar konteks”.
V.   Penutup
            Positivisme diakui telah membawa ekses ganda bagi kehidupan masyarakat modern. Di satu sisi, ia berjasa dalam menetapkan otonomi ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, ia memperlebar jurang keterasingan antara ilmuwan dan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan etika. Hal ini mendorong pertumbuhan logika kapital dan industrial yang seringkali mengorbankan masyarakat yang lemah.
Rahim positivisme telah melahirkan model intelektual baru yang cenderung menunjukkan sikap asosial dan ahistoris. Klaim positivisme tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai dan bebas kepentingan seolah membuat ilmuwan atau cendekiawan menempatkan diri sebagai makhluk asing yang datang dari luar angkasa dengan tujuan untuk mengamati dan mendeskripsikan situasi di bumi. Sebagai pengamat, tugas mereka adalah menjelaskan fakta apa adanya (das sein) dan bukannya menunjukkan apa yang seharusnya (das sollen). Dengan demikian, kenyataan sosial yang ada diterima begitu saja tanpa suatu sikap kritis dan upaya untuk mengatasinya. Hal ini jelas melanggengkan konfigurasi masyarakat yang represif.
Untuk bisa keluar dari kenyataan di atas, pertama-tama kita mesti membongkar mitologi-mitologi positivisme. Pembongkaran itu dimaksudkan untuk mempersempit jurang keterasingan antara ilmuwan dan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan etika. Hal ini diyakini dapat mendorong terbentuknya cendekiawan atau ilmuwan baru yang sadar konteks, ilmuwan yang membawa misi pembebasan di tengah kenyataan sosial yang semakin jauh dari kendali dan pertimbangan etis.



BIBLIOGRAFI

Buku-Buku:
Benton, Ted dan Ian Craib. Filsafat Ilmu Sosial, Pendasaran Filosofis Bagi Pemikiran Sosial. Terj. Antonius Bastian Limahekin. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
Budi Hardiman, Francisco. Kritik Idologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Dua, Mikhael. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis. Cet. Ke- 2. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer – Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Terj.  A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Madung, Otto Gusti. Negara, Agama, dan Hak-Hak Asasi Manusia. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014.
Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014.
Sitton, John F. Habermas and Contemporary Society. New York: Palgrave Macmilan, 2003.
Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio Gramsci – Negara dan Hegemoni. Cet. Ke- 4. Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Plato. Republik. Terj. Sylvester G. Sukur. Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea, 2018.
Sudarminta, J. “Etika dan Ilmu Pengetahuan, Perlunya suatu Dialog”, dalam Seri Siasat Kebudayaan. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Panorama Praksis Etika Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992.
Artikel dan Manuskrip:
Brown, Trent. “Gramsci and Hegemoni” dalam file:///D:/Cendekiawan/ Gramsci and Hegemoni_Links_International_Journal_of_Socialist_Renewal. htm, diakes pada 27 Februari 2018.
Ceunfin, Frans. “Sejarah Pemikiran Modern I”. Manuskrip. Maumere: STFK Ledalero, 2003.
Daven, Matias. “Epistemologi”. Manuskrip. Maumere: STFK Ledalero, 2016.
Kleden, Ignas. “Masyarakat Post-sekular: Relasi Akal dan Iman serta Tuntutan Penyesuaian Baru”. Studium Generale pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma,  Yogya, 16 Agustus 2010.



[1] Tulisan ini keluar sebagai juara II dalam sayembara nasional penulisan artikel ilmiah yang diselenggrakan oleh STFK Ledalero tahun 2018. Perlombaan ini diikuti oleh para peserta dari berbagai Universitas dan Sekolah Tinggi baik S1 maupun S2 di Indonesia. Tulisan ini juga dimuat dalam jurnal ilmiah Akademika STFK Ledalero edisi II tahun ajaran 2017/2018.
[2] Frans Ceunfin, “Sejarah Pemikiran Modern I”, (ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 2003), hlm. 42.
[3] Ignas Kleden, “Masyarakat Post-sekular: Relasi Akal dan Iman serta Tuntutan Penyesuaian Baru” (Materi yang disampaikan dalam Pembukaan Perkuliahan Awal 2010-2011, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Studium Generale, Yogya, 16 Agustus 2010), hlm. 1.

[4] Disadur dari Ted Benton dan Ian Craib, Filsafat Ilmu Sosial, Pendasaran Filosofis Bagi Pemikiran Sosial, terj. Antonius Bastian Limahekin (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 34-35., Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, cet. Ke- 2 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 26-27., dan Bernard Raho, SVD, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 2-3.
[5] Francisco Budi Hardiman, Kritik Idologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), hlm. 23.
[6] Mikhael Dua, op.cit., hlm. 27-28.
[7] Ibid., hlm. 29.
[8] Ibid., hlm. 30.
[9] Francisco Budi Hardiman, op. cit., hlm. 25.
[10] Aliran ini menyuarakan pendapat-pendapatnya dari jalur pemikiran Marxis. Ibid., hlm. 28.
[11] Teori Kritik pada awalnya dikembangkan di lingkaran Horkheimer yang berpikir melalui politik kekecewaan karena tidak adanya revolusi di Barat, berkembangnya Stalinisme di Soviet Rusia, dan kemenangan fasisme di Jerman. Kenyataan itu menurut mereka menjelaskan salah dugaan Marxis, tetapi mereka tidak bermaksud melanggar niat Marxis. Menulis pada masa Perang Dunia II, Horkheimer dan Adorno berusaha memahami “mengapa umat manusia bukannya memasuki kondisi manusia sejati, tapi justru tenggelam dalam semacam barbarisme baru”. Bdk. John F. Sitton, Habermas and Contemporary Society (New York: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 25.
[12] Francisco Budi Hardiman, ibid., hlm. 30-31.
[13] Matias Daven, “Epistemologi” (ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 2016), hlm. 104.
[14] Ibid., hlm. 106.
[15] Francisco Budi Hardiman, op. cit., hlm. 70-71.
[16] John F. Sitton, op. cit., hlm. 71.
[17] Emansipasi sekarang bermuara pada bagaimana jalan alternatif pembangunan dipilih, dan ini mengharuskan penghapusan terhadap pembatasan komunikasi dalam masyarakat. Ibid., hlm. 69.
[18] Penindasan total dalam kesimpulan generasi pertama menurut Habermas disebabkan oleh pendirian mereka sendiri yang tidak melihat paradigma lain selain paradigma kerja Karl Marx. Padahal emansipasi dalam paradigma kerja Marx selalu menghasilkan perbudakan baru karena kerja berarti penguasaan. Matias Daven, op. cit., hlm. 107.
[19] Otto Gusti Madung, Negara, Agama, dan Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 142.
[20] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer – Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, terj.  A. Gunawan Admiranto (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 285.
[21] Otto Gusti Madung, loc. cit.
[22] Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 9-10.
[23] Ibid.
[24] Dr. J. Sudarminta SJ, “Etika dan Ilmu Pengetahuan, Perlunya suatu Dialog”, dalam Seri Siasat Kebudayaan, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Panorama Praksis Etika Indonesia Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992), hlm. 18-19.
[25] Fach berarti bidang ilmu, sedangkan Idiot artinya idiot. Fachidiot adalah orang yang ahli sekali dalam bidang ilmunya, tapi tidak tahu apa-apa (idiot) tentang realitas di luar ilmunya. Seorang Fachidiot biasanya menampilkan perilaku asosial atau memiliki kompetensi sosial yang sangat lemah. Bdk. Otto Gusti Madung, op. cit., hlm. 141.
[26] Antoni Gramsci memahami hegemoni dalam dua pengertian. Pertama, sama dengan pandangan Martin Clark, hegemoni dipahami sebagai aktivitas kelas penguasa untuk mengendalikan media dan pendidikan untuk mempertahankan status qou mereka. Kedua, hegemoni digunakan untuk menggambarkan pengaruh yang diberikan oleh kekuatan progresif, regresif, dan reformis.  Bdk.  Trent Brown, “Gramsci and Hegemoni”, dalam file:///D:/Cendekiawan/Gramsci_and hegemoni_Links_International_Journal_of_Socialist_Renewal. htm, diakses pada 27 Februari 2018. Dalam konteks ini hegemoni digunakan dalam pengertian yang pertama.
[27] Daniel Dhakidae, op. cit., hlm. 11-12.
[28] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci – Negara dan Hegemoni, cet. IV (Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 155-163.
[29] Ibid.
[30] Plato, Republik, terj. Sylvester G. Sukur (Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea, 2018), hlm. 315.
[31] Dr. J. Hudarminta SJ, op. cit., hlm. 11.
[32] Plato, op. cit., hlm. 314.
DEMITOLOGISASI POSITIVISME DAN CENDEKIAWAN SADAR KONTEKS DEMITOLOGISASI POSITIVISME   DAN CENDEKIAWAN SADAR KONTEKS Reviewed by insancerdaspolitik on August 01, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.