Recent Posts

banner image
banner image

PILKADA, POLITIK, DAN SENI KEMUNGKINAN



Pilkada, Politik, dan Seni Kemungkinan
Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa STFK Ledalero
           
            Politik adalah sebuah seni. Seni mencari dan menemukan kemungkinan dan menangkap alternatif (Budi Kleden, 2003). Di dalam politik everything is possible. Maka tidak heran jika Niccoló Machiavelli membabtis politik dengan doktrin “aforisma”, tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam politik (praktis), apa yang sering dianggap “tabu” justru memainkan peran sentral dalam meraih kekuasaan. Bahkan tak pelak yang ideal justru dianggap janggal dan asing. Makanya di dalam politik, para politisi dan politikus yang jujur dan memiliki kualifikasi moral yang mumpuni sering tak berhasil meraih kursi kekuasaan. Alasannya sangat sederhana, yakni politik adalah ruang yang didominasi oleh kerajaan-kerajaan tujuan dengan aneka kepentingannya. Disebut demikian karena tujuan-tujuan dalam politik bukan hanya semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan umum dan menata masyarakat supaya menjadi lebih baik, melainkan lebih dari itu politik juga senantiasa digerogoti oleh aneka tujuan yang tersembunyi dan bersifat pribadi serta pragmatis. Dalam nuansa itu, apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin dan apa yang dianggap mustahil bisa terjadi.
            Ranah politik praktis memang kadang susah dibaca. Mengapa? Sangat boleh jadi politik praktis didominasi oleh aktor-aktor bawah tanah. Aksi-aksi yang muncul di permukaan seringkali hanyalah bayang-bayang yang menghalau atensi para pengamat politik serentak memanipulasi taktik para lawan politik. Sebagai aktor-aktor bawah tanah, gerakan-gerakan mereka cukup pelik dibaca. Yang muncul di permukaan barangkali yang baik-baik saja, sehingga kita dengan berani mengatakan “demokrasi kita sudah maju dan mapan” atau dengan ungkapan lain “kita sudah melaksanakan demokrasi yang ideal”. Jika itu benar, maka kita sedang ditipu oleh suatu realitas bayangan. Konsekuensinya, kita akan terus terbekap dalam kerangkeng demokrasi “semu”.
            Dua ribuan tahun silam Aristoteles menegaskan bahwa politik bukan soal benar – salah melainkan soal baik – buruk. Politik bertautan dengan masalah legitimasi (etis). Itu berarti politik memuat sejumlah tuntutan etis yang harus ditaati. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan politik sebagai sebuah seni kemungkinan, tampaknya gagasan Aristoteles terlampau tinggi. De facto politik (praktis) itu tidak selamanya bersih, jujur, dan baik.  Dalam praksisnya politik tidak terlepas dari permainan-permainan licik dan busuk. Maka tidak heran jika Machiavelli membebaskan politik dari segala macam pemikiran etis, spekulatif, dan religius (Ceunfin, 2003). Baginya, tantangan terbesar dalam politik ialah data antropologis manusia yang cenderung jahat. Pesimisme antropologis Machiavelli itu diungkapkan dengan kalimat  “Manusia tidak baik dan tidak juga jahat, akan tetapi ia cenderung jahat”. Dalam konteks ini, kita bertanya: masih relevankah berbicara tentang moralitas dalam politik?
Kontestasi Pilkada dan Politik Sebagai Seni Kemungkinan
Pertanyaan pokok yang muncul di sini ialah bagaimana terminus “politik sebagai seni kemungkinan” dibaca dalam konteks pilkada? Kalau pemilu adalah momentum kekuatan politik, mungkinkah melalui pemilu terpilih pemimpin yang berintegritas, bermoral, dan berkarakter pelayan?
Politik tanpa oposisi tidak mungkin. Carl Schmitt menggarisbawahi hal itu dengan menegaskan bahwa esensi yang politis adalah distingsi antara kawan dan lawan. Dengan bertolak dari pandangan Schmitt, Chantal Mouffe mengafirmasi bahwa dalam politik tidak ada musuh (Feind), yang ada adalah lawan (Gegner) yang dapat direbut dengan penuh gairah dalam demokrasi. Singkatnya yang politis merupakan arena kontestasi terbuka (Bdk. Otto Gusti Madung, 2017: 132-133). Namun demikian, pertarungan dalam ruang politik rupanya tidak terbatas pada pertarungan di tengah realitas-realitas wacana sebagaimana dipahami oleh Mouffe, lebih dari itu pertarungan yang paling sengit ialah pertarungan antarkepentingan dan hasrat untuk merebut hegemoni.
Sebagai arena kontestasi, politik atau lebih tepatnya demokrasi merupakan tempat segala ketidakmungkinan bisa menjadi mungkin. Hal ini terutama sangat kentara dalam setiap momentum pemilu; segala cara bisa ditempuh untuk meraih kursi kekuasaan, termasuk cara yang tidak konvensional sekalipun, seperti money politics, black campaign, penyebaran hoaks untuk menjegal dan mematikan gerak dan elektabilitas lawan politik, dll. Hal inilah yang harus diwaspadai dalam setiap momentum pemilu (pilkada). Meskipun pada akhirnya kita harus puas dengan kenyataan bahwa ‘pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa’ (Frans Magnis-Suseno). Namun demikian, pesimisme itu kiranya tidak mematikan semangat kita untuk terus berusaha mengeliminasi praktik politik yang cenderung kotor dan busuk, sehingga pesta demokrasi lima tahunan bisa menghasilkan pemimpin yang berdaya transformatif. Yah, berdaya transformatif; bukan sekadar memiliki kualitas moral yang baik. Sebab seorang pemimpin dianggap gagal bukan hanya karena dia tidak melakukan suatu kejahatan, melainkan juga karena ia tidak melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
Pada era pasca-kebenaran ini memang, ruang politik yang di dalamnya terdapat kawan dan lawan tidak lagi dihiasai oleh peperangan antara kaum liberal dan kaum konservatif. Yang terjadi ialah battle between two ways of perceiving the world, dua pendekatan fundamental yang berbeda terhadap realitas. Entakah kita mengisi politik dengan nilai-nilai sentral pencerahan, masyarakat yang bebas, dan diskursus demokrasi atau tidak? Lebih dari itu, pada era pasca-kebenaran ini, ortodoksi demokrasi dan institusi sedang digoncangkan dari dasarnya oleh gelombang populisme yang buruk dan berbahaya. Rasionalitas dikuasi oleh emosi, diversitas oleh nativisme, dan kebebasan oleh penyimpangan terhadap autokrasi. (Matthew d’Ancona, 2017: 10-12).  Yah, itulah fakta politik era pasca-kebenaran yang tidak mustahil juga sedang menggerogoti ranah politik kita saat ini.
Tren politik pasca-kebenaran, yang mana emosi dan kebohongan memainkan peran utama dalam percaturan politik mendorong semua pihak untuk waspada dalam momentum pilkada kali ini. Seperti ditegaskan pada awal tulisan ini, politik sebagai seni kemungkinan memungkinkan segala yang tidak mungkin. Dengan demikian, gejala umum politik pasca-kebenaran bukan tidak mungkin juga mewarnai pilkada kita kali ini. Baiklah jika hal ini diperingatkan kepada para kontestan, “Cara terbaik untuk menghindari kekalahan ialah tidak perlu ikut bertanding. Lebih baik diam dan tidak menjadi pemain dari pada bermain dengan tidak sportif. Tidak ikut bertanding lantaran karena takut kalah atau gagal mungkin akan membuat seseorang menjadi pengecut. Akan tetapi, menjadi pemeran tetapi berlaku tidak sportif untuk meraih kemenangan justru akan menjadikan seseorang sebagai pengecut kelas kakap dan penghianat diri sendiri lantaran meremehkan kualitas dirinya untuk berkompetisi.”
            Kiranya hal di atas diperhatikan secara serius oleh rakyat dan terutama oleh para kandidat dalam momentum pilkada kali ini. Dengan demikian, pilkada mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berdaya transformatif, bermoral, dan berintegritas. Atau jika ideal itu terlalu tinggi, sekurang-kurangnya, sebagaimana Magnis-Suseno, melalui pemilu kita mencegah yang terburuk menjadi pemimpin. Untuk itu, setiap kontestan mesti mampu menangkap kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk lolos dalam perhelatan demokrasi sengit ini. Hindarilah praktik-praktik politik yang tidak sehat dan sesat yang hanya memperkuat klaim bahwa wajah politik kita memang kotor dan bahwa wacana moralitas dalam politik tidak relevan. Tingkatkan semangat sportivitas dalam berpolitik. Toh, pada akhirnya tidak ada kawan dan lawan yang kekal dalam politik. Maka, jadilah petarung sejati dan bukan pengecut yang hanya menciptakan skandal bagi demokrasi!

PILKADA, POLITIK, DAN SENI KEMUNGKINAN PILKADA, POLITIK, DAN SENI KEMUNGKINAN Reviewed by insancerdaspolitik on August 01, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.