Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa STFK
Ledalero, Maumere – Flores – NTT
Sampai saat ini, korupsi tetap menjadi
wabah yang mengancam kemapanan negeri kita. Virus yang acap kali menyerang
pejabat-pejabat publik ini tak pernah berhenti berinfeksi, malah semakin
melancarkan serangan-serangan ganas yang mematikan nurani. Entahkah belum ditemukan obat yang tepat
untuk mematikan virus ini? Betapa tidak, virus yang satu ini menyerang pusat
moralitas manusia, yaitu hati nurani. Kalau hati nurani sudah tumpul dan sudah kehilangan daya gigitnya, apalagi yang
mau diharapkan dari manusia yang katanya bermoral itu.
Akhir-akhir ini publik cukup terusik
dengan berita seputar korupsi dana E-KTP yang terjadi di lembaga DPR. Miris
tentunya. Urusan untuk menjadi warga negara saja dikorupsi. Sungguh naif,
oknum-oknum yang terlibat di dalamnya adalah anggota DPR yang nota bene wakil
rakyat yang mengemban tugas penting yakni sebagai badan anggaran, legislasi,
dan pengawasan. Mengapa naif? Karena merekalah yang menyusun undang-undang,
merekalah yang membuat anggaran, dan mereka jugalah yang mengawasi pelaksanaan undang-undang itu,
tetapi mereka sendiri juga yang melanggar undang-undang itu.
Korupsi
di negeri ini memang sudah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ia bertumbuh
bagaikan jamur pada musim hujan. Pertumbuhannya nyaris tak terkendali. Ekspansi
pertumbuhannya bahkan sampai menyentuh lembaga-lembaga publik yang menjadi
kunci terciptanya keadilan, seperti DPR dan lembaga-lembaga lainnya. Lalu
kepada siapakah kita berharap? Para pejabat kita sekarang banyak yang
terinfeksi virus korupsi dan hedonisme. Mereka semakin tidak tahu diri bahwa
mereka adalah wakil rakyat yang bertugas mewujudkan kesejahteraan bersama.
Virus ini tentunya menjadi patologi sosial yang sangat berbahaya karena ia
tidak hanya mematikan nurani para pejabat publik, tetapi juga membunuh rakyat
yang memiliki hak atas keadilan dan kesejahteraan. Dalam konteks ini, benar apa
yang pernah dikatakan oleh Otto Gusti Madung (2017), ‘korupsi adalah mesin
pembunuh rakyat kecil’.
Mengubah Pola
Pikir Keliru
Dalam
pembahasan tentang tema keadilan, Plato mulai dengan memberikan sebuah
ilustrasi tentang pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini
menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan
tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan manusia lain.
Memberikan keadilan bagi orang lain berarti mengatakan kebenaran dan
mengembalikan apa yang anda pinjam. Menurut Cephalus mengembalikan pinjaman
merupakan kewajiban dan tuntutan keadilan. (James Garvey, terj. CB. Mulyatno
Pr., 2010: 5).
Thrasymachus, seorang guru retorika
justru membantah argumen Cephalus. Dibekali pengetahuan yang mendalam, ia
menyatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai keadilan tidak lain adalah
kepentingan pribadi. Para penguasa menciptakan hukum demi kepentingan dan
tujuan pribadi mereka. Dalam hal ini, keadilan itu tidak lain daripada
pengungkapan dari kehendak mereka yang kuat. Lebih lanjut ia mengatakan, para
koruptor adalah orang-orang yang paling beruntung dan kita mengagumi mereka
karena mereka mampu mewujudkan apa yang mereka inginkan. Pandangan Thrasymachus
ini merupakan suatu ekspresi kecurigaan terhadap moralitas. Pemikiran ini
mendasari berkembangnya nihilisme, egoisme etis, realisme sinis, dan
relativisme. (James Garvey, terj. CB. Mulyatno Pr., 2010: 5-6).
Dalam
pandangan Cephalus keadilan berdimensi sosial. “Adil menyangkut relasi manusia
dengan manusia lain”. Berpijak pada pandangan Cephalus ini, korupsi jelas
merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Korupsi bukanlah persoalan pribadi
melainkan suatu persoalan sosial (politik). Para koruptor adalah monster dan
predator yang telah mencaplok dan mengebiri hak rakyat. Mereka telah
memanfaatkan uang rakyat untuk kepentingan dan kesenangan pribadi. Dengan
demikian korupsi lebih merupakan suatu masalah sosial daripada masalah pribadi,
karena menyangkut hubungan antara negara dengan rakyatnya dan antara pemimpin
dengan orang yang dipimpinpinnya. Lebih dari itu, nada sinis Cephalus
seharusnya menyadarkan para pejabat kita bahwa “keuntungan besar akan didapat
jika kita tidak melakukan tindakan berbohong dan curang”. Tesis ini tidak hanya
berlaku dalam dunia bisnis atau dagang tetapi juga dalam dunia politik. Dalam
dunia politik tesis itu dapat kita ubah demikian “kesejahteraan umum akan
tercipta jika para pejabat tidak berbohong dan curang”. Korupsi jelas adalah
suatu pembohongan publik yang luar biasa. Jika pembohongan semacam itu terus
dipelihara, kesejahteraan umum niscaya tidak akan terwujud karena uang negara
tidak sampai kepada rakyat. Alhasil, rakyat akan terus terbekap dalam
kerangkeng kemiskinan dan kemelaratan.
Berbeda
dengan Cephalus yang lebih melihat keadilan sebagai suatu persoalan sosial, Thrasymachus
lebih melihat keadilan sebagai persoalan pribadi. Menurutnya “apa yang kita
sebut adil tidak lain adalah kepentingan pribadi. Para penguasa menciptakan
hukum demi kepentingan dan tujuan pribadi mereka.” Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, gagasan Thrasymachus merupakan suatu ekspresi kecurigaan terhadap
moralitas. Ketika moralitas kehilangan daya gigitnya, maka yang terjadi adalah
perluasan kejahatan dan kekerasan. Sebab pada dasarnya kejahatan itu muncul
ketika akal budi berada di bawah kendali nafsu. Dalam konteks ini, korupsi itu
muncul ketika para pejabat lebih tunduk kepada keinginan pribadi daripada
tunduk terhadap hukum moral dan hukum sipil. Pada titik ini akal budi jelas
kehilangan daya pengaruhnya.
Entah
sadar atau tidak, para koruptor di tanah air ini menghidupi spirit Thrasymachus
ini. Mereka lebih melihat korupsi sebagai masalah pribadi semata, yakni bentuk
perwujudan keinginan pribadi mereka. Maka, tidak heran jika mereka sengaja
merancang undang-undang yang memberi peluang bagi mereka untuk membiakkan
hasrat liarnya, yaitu korupsi. Mereka lupa bahwa korupsi adalah suatu patologi
sosial yang berakibat buruk bagi semua lapisan masyarakat. Mungkin karena
alasan inilah para koruptor di tanah air ini tak merasa malu tampil di layar
kaca dengan label yang sangat memalukan yaitu ‘tikus-tikus kantor atau pejabat
publik yang korup’. Mereka terus mempercantik diri dengan kosmetik berlabel
korupsi. Padahal pada saat yang sama, banyak orang miskin menjerit kelaparan
dan menderita karena tidak punya rumah, listrik, air minum, jalan yang layak,
dan lain-lain. Lalu pertanyaan kita, di manakah nurani para pejabat kita yang
korup? Apakah ditelan hasrat kebinatangan yakni nafsu untuk menguasai?
Sudah
saatnya pola pikir para pejabat publik berubah. Pejabat publik harus sadar
bahwa kekuasaan bukanlah Tuhan yang harus disembah dan bukan pula bola yang
mesti dipermainkan. Jabatan adalah amanah. Amanah tidak boleh disia-siakan.
Ingat kepercayaan begitu mahal dan tidak bisa ditukar dengan permainan cantik
nan licik dari kaum elite. Dengan demikian sebenarnya tidak ada alasan bagi
para pejabat publik untuk melakukan tindakan korupsi. Korupsi bukan hanya soal
urusan koruptor dengan KPK, bukan pula hanya soal urusan pribadi koruptor
dengan para penegak hukum, melainkan urusan
koruptor dengan negara dan rakyat yang telah memberi kepercayaan
kepadanya. Dalam alur pemikiran ini pejabat publik mesti sadar bahwa korupsi
bukan persoalan pribadi melainkan persoalan publik yang berdampak besar bagi
kehidupan negara.
Kita
tidak ingin agar rakyat Indonesia menjadi budak di hadapan penjajah yang sudah
tumpul hati nuraninya. Disadari atau tidak, koruptor adalah penjajah baru bagi
kita saat ini. Maka, kita sepakat untuk mengusir dan memberantas mereka. Oleh
karena itu, kita terus mendorong KPK dan lembaga-lembaga terkait lainnya untuk
mengusut tuntas kasus korupsi yang ada di tanah air ini. Kita juga mesti
sensitif dengan indikasi-indikasi korupsi yang ada di sekitar kita. Jika kita
menemukan ada indikasi korupsi di sekitar kita, kita segera melaporkannya
kepada pihak terkait dan mendesak mereka untuk mengusut tuntas kasus-kasus itu.
Bukan soal kebesaran nama kita yang melaporkannya, melainkan soal hak dan
kewajiban kita sebagai warga negara yang hidup dalam ruang demokrasi. Sudah
saatnya kita menjadi orang-orang merdeka dan sejahtera serta bebas dari
kungkungan penjajah baru yang menggunakan senjata kekerasan (kejahatan). Kita
kibarkan bendera antikekerasan dan antikorupsi. Mari kita sama-sama mengusir
predator bermata duit ini dari tanah air kita!
Korupsi dan Thrasymachus
Reviewed by insancerdaspolitik
on
August 10, 2017
Rating:
Saya pembaca setia kak Fr.
ReplyDeleteTerima kasih Epin. Semoga bermanfaat
Delete