Oleh Jean Loustar Jewadut

3.2 Kehadiran
Investor: Mengatasi Masalah atau Menyebabkan Masalah Baru?
Akhir-akhir ini, masyarakat pinggiran, teristimewa
para petani yang menjadi korban di balik kesuksesan pembangunan infrastruktur,
bangun dari apa yang dinamakan Karl Marx sebagai kesadaran palsu setelah lama
dininabobokan oleh pemerintah melalui pelaksanaan program pembangunan
infrastruktur dari pinggir menuju pusat dalam kerja sama dengan para investor.
Kesadaran masyarakat tampak dalam tiga aspek berikut:
Pertama, terjadi mafia perselingkuhan antara penguasa dan investor
(pengusaha). Di kalangan masyarakat sipil, investor memperkenalkan diri sebagai
penyelamat ekonomi dengan slogan utama “mengatasi krisis ekonomi” di sebuah
wilayah tertentu. Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan investasi
untuk menyelamatkan kehidupan ekonomi menyambut baik kedatangan para investor.
Bahkan, pada tingkat yang paling ekstrim, pemerintah kehilangan otonominya dan
menjadi tunduk terhadap sistem kerja para investor. Pemerintah dengan begitu
mudah menjadi boneka yang sesuka hati disetir oleh para investor dan logika
bisnis. Tentang hubungan tripolar antara penguasa, pengusaha (investor), dan
bisnis, Noreena Hertz, Direktur Eksekutif Center
for International Business Universitas Cambridge menjelaskannya demikian:
Inilah
dunia pengambilalihan diam-diam, dunia pada saat fajar milenium menyingsing.
Tangan-tangan pemerintah tampak terikat dan kita semakin hari semakin
bergantung kepada korporasi. Bisnis sedang menduduki bangku sopir, korporasi
menentukan aturan main, dan pemerintah telah menjadi sekadar wasit yang hanya
menerapkan aturan-aturan yang dibuat oleh pihak-pihak lain. Perusahan-perusahan
yang mudah berpindah dan pemerintah bergerak sangat jauh untuk menarik atau
memelihara mereka agar mereka tetap berada di wilayah mereka.[1]
Pemerintah membuat regulasi yang kemudian memihak
keberadaan para investor seperti pembuatan omnibus
law. Omnibus law sebenarnya sedang menempatkan negara sebagai aktor. Omnibus law dapat dibaca sebagai sebuah
aksi negara sebagai aktor yang berusaha meminjam tenaga lawan yaitu kekuatan
pasar untuk mengokohkan eksistensi negara. Melalui pembuatan omnibus law, negara bernegosiasi dengan
kekuatan pasar yaitu para kapitalis dan para investor dengan menempuh cara
penyederhanaan prosedur hukum untuk menyambut secara mudah dan cepat kedatangan
modal. Dengan kedatangan para investor, akan terjadi transfer pengetahuan,
teknologi, dan keterampilan bukan saja untuk memberikan nilai plus bagi
kemakmuran masyarakat sipil, melainkan juga mengokohkan dasar teknikal
pembangunan ekonomi kapitalistik.[2]
Kenyataan di atas sudah cukup membahasakan efek
negatif kehadiran investor. Alih-alih datang sebagai penyelamat ekonomi yang
berusaha menyelamatkan kehidupan ekonomi di Indonesia, para investor malah
melakukan banyak pelanggaran, baik terhadap keseimbangan ekologi maupun hak-hak
para pekerja. Keuntungan menjadi milik investor, sebaliknya kerugian mesti
ditanggung oleh masyarakat kecil.
Kedua, investor
asing hanya akan melibatkan para pekerja yang terampil dan sangat “akrab”
dengan teknologi. Apalagi di era revolusi industri 4.0, keterampilan dan melek
teknologi sangat dibutuhkan di dunia kerja. Indonesia baru memasuki era
revolusi industri 4.0, sementara negara-negara maju sudah memasuki dan bahkan
hampir melampaui era revolusi industri 5.0. Itu berarti, masyarakat Indonesia
kalah terampil dan kurang melek teknologi jika dibandingkan dengan masyarakat
dari negara-negara maju.
Tuntutan keterampilan dan melek teknologi membuat
banyak pekerja di sejumlah perusahaan di Indonesia terpaksa mengalami PHK dan
digantikan oleh para pekerja asing yang lebih terampil dan lebih melek
teknologi. Kenyataan seperti ini sudah cukup menjadi bukti untuk melawan
investor yang hadir dengan agenda membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Agenda yang diturunkan ke ranah
publik seperti membuka lapangan pekerjaan dengan jumlah yang lebih banyak hanya
sekadar menjadi topeng untuk menutupi agenda-agenda tersembunyi yang pada
akhirnya hanya menyengserakan masyarakat biasa.
Ketiga, investor
semakin kuat membumikan sistem kerjanya di Indonesia dengan memanfaatkan
pesatnya perkembangan teknologi dan artificial
intelligence atau kecerdasan buatan, seperti robot. Pada prinsipnya,
investor lebih berorientasi pada kerja cepat, efektif, efisien, dan memproduksi
barang dengan jumlah yang sangat banyak. Orientasi kerja seperti itulah yang
menyebabkan tenaga para pekerja digantikan oleh robot. Robot bisa melakukan
pekerjaan secara lebih cepat, efektif, efisien, dan memproduksi barang dengan
jumlah yang sangat banyak jika dibandingkan dengan tenaga manusia.
IV.
Urgensi
Pelaksanaan Pembangunan Demokratis
Masyarakat sipil secara kreatif menggunakan
media sosial untuk menyebarluaskan wacana perlawanan mereka terhadap
ketidakadilan di balik pendekatan pembangunan infrastruktur pemerintah dan
kehadiran para investor yang meminggirkan peran dan kedaulatan masyarakat di
sebuah wilayah tertentu. Di beberapa tempat juga terjadi demonstrasi yang
dilakukan oleh para petani untuk menuntut kembali kepemilikan mereka terhadap
tanah yang dirampas oleh para investor. Garakan perlawanan juga datang dari
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) sebagai gabungan organisasi buruh,
petani, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil yang menyerukan persatuan
gerakan rakyat dalam menolak omnibus law RUU
Cilaka dengan mempersiapkan diri mengadakan aksi pemogokan umum.
Di kalangan masyarakat sipil, pelaksanaan
pembangunan demokratis menjadi penting dan urgen. Ada empat poin penting dalam
pembangunan demokratis. Pertama, pembangunan
demokratis adalah pembangunan yang bergerak dari bawah (masyarakat) ke atas
(pemerintah). Pemerintah perlu bertemu secara langsung dan berdialog secara
jujur dengan masyarakat. Dalam dialog tersebut, pemerintah menampung semua
aspirasi pembangunan apa saja yang mendesak untuk masyarakat di daerah
tertentu. Pembangunan infrastruktur harus selalu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, bukan seturut keinginan pemerintah dalam jalinan relasinya dengan
para pengusaha yang lebih sering menggunakan cara-cara otoriter dan menggunakan
tenaga aparat keamanan untuk melakukan aksi perampasan tanah milik para petani.
Dalam perspektif pembangunan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat,
pemerintah tidak bersikap sebagai penguasa atau sebagai “ruler” atau sebagai
“patron”, tetapi mesti bersikap sebagai fasilitator yang fungsi utamanya adalah
menciptakan kondisi dan menyediakan lingkungan bagi masyarakat sipil untuk
mengembangkan potensi.[3]
Kedua, pembangunan
demokratis harus sejalan dengan spirit otonomi daerah. Salah satu hal yang
penting dari desentralisasi yaitu bahwa otonomi daerah bertujuan untuk memacu
partisipasi warga masyarakat secara aktif dalam setiap proses pembangunan sejak
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pembangunan yang berlandaskan dan harus
sejalan dengan semangat otonomi daerah menempatkan masyarakat sebagai subjek
utama pembangunan. Tesis ini menjadi sebuah tandingan terhadap tesis
pembangunan yang acapkali memposisikan para investor yang bermodal sebagai
subjek utama pembangunan dan masyarakat di daerah tertentu dijadikan objek
untuk melayani kepentingan para investor.
Ketiga, pembangunan
demokratis adalah pembangunan yang transparan agar bisa dikontrol oleh
masyarakat dan mesti selalu bermuara pada keuntungan dan kesejahteraan yang
dialami secara langsung oleh masyarakat. Hal ini penting karena dalam konteks
negara demokrasi, selalu ada kontrol terhadap pemimpin dan kebijakan yang
ditetapkan. Sekalipun dalam sebuah negara demokrasi, kontrol masyarakat
terhadap kekuasaan negara terbatas namun selalu bersifat nyata terutama dalam
hubungannya dengan unsur kedua yang khas bagi sistem demokrasi yaitu
keterbukaan pengambilan keputusan.[4]
Keterbukaan itu tentu saja tidak tanpa batas. Masyarakat sipil memang sering
tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi seorang pemimpin dalam menetapkan
kebijakan tertentu. Keterbukaan yang dimaksudkan adalah bahwa betapapun
masyarakat sipil tidak dapat menyelami motivasi seorang pemimpin dalam
menetapkan kebijakan tertentu, kegiatan pemimpin yang bersangkutan tetap
terjadi di hadapan masyarakat. Segala kebijakan yang diambil dan program yang
dilakukan oleh pemimpin dapat langsung diamati oleh masyarakat melalui media
massa.[5]
Masyarakat dapat mengetahui dengan mudah berdasarkan realitas yang terjadi di
lapangan bahwa seorang pemimpin menetapkan kebijakan yang pro rakyat ataukah
sebaliknya menetapkan kebijakan yang pro para investor.
Atas dasar transparansi dan kontrol terhadap
pemimpin, masyarakat sipil dapat melacak permainan di belakang layar antara
pemerintah dan pemodal dan permainan tersebut mesti dihentikan dalam rangka menjamin
kedaulatan rakyat. Penting juga bagi pemerintah untuk melakukan peninjauan
ulang terhadap kebijakan penghapusan IMB dan AMDAL dalam rangka mempermudah
investasi. Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan para investor. IMB dan
Amdal mesti tetap dipertahankan agar investasi yang dilakukan tetap ramah
terhadap lingkungan dan menjunjung tinggi partisipasi aktif masyarakat sipil.
Keempat, pembangunan
demokratis mesti menghasilkan efek jangka panjang dan sasarannya mesti lintas
generasi. Dalam kerangka berpikir seperti ini, pembangunan dalam suatu wilayah
tertentu mesti melihat secara jeli konteks dan sumber penghasilan masyarakat di
wilayah yang bersangkutan. Mayoritas masyarakat Flores, misalnya, berprofesi
sebagai petani dengan kekayaan-kekayaan alam tertentu seperti padi, kopi,
cengkeh, vanili, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat lokal Flores juga
memiliki aset-aset budaya yang bisa dimanfaatkan secara mandiri. Kenyataan
seperti ini mesti mendorong masyarakat lokal Flores untuk menginisiasi gerakan
ekonomi-politik dan kebudayaan berbasis komunitas yang mandiri dan diatur
sendiri. Contoh menarik diangkat oleh Cypri Jehan Paju Dale yaitu warga kampung
Cecer di Flores sepakat untuk membuat peraturan untuk tidak menjual tanah
kepada investor dan sebagai gantinya mengembangkan paket-paket wisata budaya
berbasis komunitas.[6] Agenda
pembangunan seperti ini juga menjadi suatu bentuk perlawanan terhadap agenda
pembangunan neoliberalisme yang hanya konsen pada pencapaian keuntungan dengan
pengeluaran sesedikit mungkin tanpa memperhitungkan konteks kehidupan
masyarakat di wilayah tertentu.
Pelaksanaan pembangunan demokratis mesti menjadi
perhatian lembaga-lembaga adat di sebuah daerah tertentu. Dalam konteks
masyarakat Manggarai, misalnya, ada kebiasaan lonto leok (lonto berarti
duduk dan leok berarti melingkar).
Tujuan lonto leok adalah untuk
menyatukan kata dan menyepakati aksi tertentu. Pihak yang berperan dalam lonto leok adalah tu’a adat dan seluruh masyarakat kampung. Seluruh masyarakat
kampung memiliki hak untuk berpendapat tentang masalah publik (cica) dan tu’a adat bertugas untuk menyimpulkan persoalan yang telah
diuraikan agar tercapai kesepakatan bersama dan kemudian menggalang aksi
bersama (congko). Proses berjalannya lonto leok searah dengan cita-cita
demokrasi deliberatif yang mensyaratkan adanya sebuah forum untuk
mendiskursuskan kasus-kasus publik untuk kemudian ditemukan solusinya.[7]
V.
Penutup
Dengan mengkritik fenomena pembangunan infrastruktur
dan kehadiran investor pada masa pemerintahan Jokowi, saya tidak hendak
memposisikan diri sebagai subjek yang anti pembangunan infrastruktur dan menolak
sama sekali kehadiran para investor. Hanya mesti disadari oleh pemerintah bahwa
pembangunan infrastruktur bukan tujuan dalam dirinya sendiri. Dia hanya menjadi
sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu perwujudan kebaikan
bersama. Tidak dibenarkan kalau atas nama pembangunan infrastruktur, peran
masyarakat sipil disangkal, tanah milik masyarakat sipil direbut dengan
cara-cara yang tidak manusiawi, terjadi bentrok antara aparat keamanan dan
masyarakat sipil yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya, dan keseimbangan
ekologis dikorbankan. Tidak dibenarkan juga dalam rangka mengundang kehadiran
investor dalam jumlah yang banyak untuk melakukan investasi dengan jumlah yang
besar, pemerintah membuat pelonggaran kebijakan dan Undang-Undang seperti penghapusan
IMB dan AMDAL.
Pembangunan demokratis menjadi sebuah kebutuhan urgen
masyarakat sipil. Pemerintah tentu tidak harus berjalan sendiri untuk
melaksanakan pembangunan yang demokratis. Hal yang mesti dibuat adalah
penguatan masyarakat sipil, peningkatan kontrol publik, pembangunan berbasis
komunitas dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di wilayah, dan
mengorganisir gerakan-gerakan perlawanan berbasis kajian epistemologis ketika
kekuasaan diselewengkan untuk hanya melayani kepentingan para investor dan
mengabaikan pelaksanaan pembangunan demokratis yang berorientasi pada
perwujudan kebaikan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Borras,
Saturnino M. Pro-Poor Land Reform: A
Critique. Ottawa: University of Ottawa Press, 2007.
Hertz, Noreena. Penjajahan
Kapitalisme, Terj. Dindin Solahudin. Bandung: Nuansa, 2011.
Jebadu, Alexander. Bahtera Terancam Karam, Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang
Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2018.
Mietzner, Marcus. Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political
Contestation In Indonesia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies,
2015.
Pandor, Pius “Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai”, dalam Armada Riyanto,
dkk (eds.). Kearifan Lokal~Pancasila, Butir-Butir
Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Market. London and New York:
RoutledgeCurzon Taylor and Francis Group, 2004.
Tjokrowinoto,
Moeljarto. Pembangunan Dilema dan
Tantangan. Cetakan V. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Törnquist, Olle. “Shallow Democracy in Deep Waters (Demokrasi dalam Masalah), sebuah
kata pengantar dalam Desi Rahmawati, Demokrasi
dalam Genggaman Para Pemburu Rente. Yogyakarta: Penerbit PolGov, 2018.
Winters, Jeffrey A. Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2011.
Jurnal Ilmiah
Robison, Richard dan Vedi R Hadiz. “Ekonomi Politik
Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”. Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014.
Tolleng, A. Rahman. “Oligark Hitam, Jokowi, dan
Revolusi dari Atas”. Prisma, Vol. 33,
No. 1, 2014.
Winters,
Jeffrey A. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014.
Manuskrip
Daven,
Mathias. “Filsafat Pancasila”. Manuskrip.
Maumere: STFK Ledalero, 2016.
Surat Kabar
Ali, Fachry. “Omnibus Law, BUMN, Negara”, Kompas, Sabtu, 07 Maret 2020.
Internet
CNN
Indonesia, “Mahfud Bersikukuh Tak Ada Pelanggaran HAM di Era Jokowi”, https://m.cnnindonesia.com/nasional/200191214173657-20-457000/mahfud-bersikukuh-tak-ada-pelanggaran-ham-di-era-jokowi,
diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
Dale,
Cypri Jehan Paju. “Pariwisata Super Premium dan Penguasaan Sumber Daya di
Flores”, https://indoprogress.com/2020/03/pariwisata-super-premium-dan-penguasaan-sumber-daya-di-flores/,
diakses pada 15 Maret 2020.
Devina
Halim, “Dokumennya Disebut Sampah oleh Mahfud MD, Veronica Koman: Ini
Memperdalam Luka Papua”, https://nasional.kompas.com/read/2020/02/11/20593871/dokumennya-disebut-sampah-oleh-mahfud-md-veronica-koman-ini-memperdalam-luka?page=all,
diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/konflik-agraria-di-era-jokowi-41-orang-tewas-546-dianiaya,
diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
Supriatma,
Made. “Selasih: Cerita Perampasan Tanah yang Tak Pernah Usai”, https://indoprogress.com/2019/12/selasih-cerita-perampasan-tanah-yang-tak-pernah-usai/,
diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
Syahni, Della. “Potret Relasi Pebisnis Tambang di
Balik Kedua Calon Presiden”, https://www.mongabay.co.id/2019/02/21/potret-relasi-pebisnis-tambang-di-balik-kedua-calon-presiden/,
diakses pada Minggu, 29 September 2019.
[3] Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Cetakan V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 42.
[4] Kontrol masyarakat terhadap pemerintah
berlangsung melalui dua arah yaitu secara langsung melalui pemilihan para wakil
dan secara tidak langsung melalui keterbukaan pemerintahan. Mathias Daven, “Filsafat
Pancasila”, manuskrip (Maumere: STFK
Ledalero, 2016), hlm. 198.
[6] Cypri Jehan Paju Dale, “Pariwisata Super
Premium dan Penguasaan Sumber Daya di Flores”, https://indoprogress.com/2020/03/pariwisata-super-premium-dan-penguasaan-sumber-daya-di-flores/,
diakses pada 15 Maret 2020.
[7] Pius Pandor, “Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal
Manggarai”, dalam Armada Riyanto, dkk (eds.), Kearifan Lokal~Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hlm. 462.
KRITIK TERHADAP PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN KEHADIRAN INVESTOR PADA ERA PEMERINTAHAN JOKOWI (2/2)
Reviewed by insancerdaspolitik
on
July 04, 2020
Rating:

No comments: