Recent Posts

banner image
banner image

KRITIK TERHADAP PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN KEHADIRAN INVESTOR PADA ERA PEMERINTAHAN JOKOWI (1/2)


Oleh Jean Loustar Jewadut


I.                  Pengantar
Pemerintahan Jokowi ditandai oleh kebangkitan pembangunan infrastruktur. Jokowi tidak hanya mampu mendengungkan wacana tentang pembangunan infrastruktur, tetapi bergerak jauh pada aksi nyata dengan membangun sejumlah infrastruktur di beberapa daerah di Indonesia. Kenyataan demikian membuat Jokowi memperoleh apresiasi dan penghargaan dari berbagai pihak, tidak hanya dari masyarakat Indonesia, tetapi juga datang dari masyarakat asing.
Jokowi pada periode kedua pemerintahannya memberikan atensi yang lebih lagi pada pembangunan infrastruktur. Radikalisasi investasi menjadi frase yang paling pas untuk mendemonstrasikan konsen pemerintahan Jokowi-Maruf untuk membangun lebih banyak lagi infrastruktur. Namun, radikalisasi investasi tersebut menjadi salah kaprah karena disertai deregulasi. Deregulasi adalah penghapusan peraturan yang membatasi perputaran modal (investasi). Salah satu wujud nyata deregulasi adalah penghapusan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai persyaratan melakukan investasi. Menurut Jokowi, penghapusan IMB dan Amdal adalah langkah efektif untuk memudahkan dan memperlancar proses investasi di Indonesia yang dapat dijadikan sebagai modal untuk membangun lebih banyak lagi infrastruktur.
Saya yakin bahwa kemudahan kehadiran dan kerja oligark dan investor pada era pemerintahan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari analisis relasi kekuasaan ekonomi-politik Jokowi. Ketimpangan relasi kekuasaan tersebut membuat agenda pembangunan jauh dari orientasi kesejahteraan rakyat dan kehadiran para investor bahkan di tingkat lokal lebih banyak dilihat sebagai aktor-aktor di balik timbulnya masalah-masalah baru. Alih-alih datang untuk mengatasi masalah, para investor malah menyebabkan masalah-masalah baru. Pada akhir makalah, saya akan menjelaskan kemendesakan realisasi pembangunan demokratis.
II.               Relasi Kekuasaan Ekonomi-Politik Jokowi
Desi Rahmawati membuat analisis yang menarik tentang serangan terhadap demokratisasi dengan bergerak lebih jauh dari tesis Hadiz. Hadiz melihat bahwa pada era reformasi terjadi pengorganisasian kembali aktor (kekuatan) lama untuk tetap bercokol di ranah kekuasaan ekonomi dan politik di Indonesia.[1] Menurut Desi, serangan terhadap demokratisasi tidak hanya dilakukan oleh para aktor lama Orde Baru, tetapi juga terdapat kontribusi yang semakin meningkat dari para aktor baru.[2]
Analisis Desi Rahmawati dapat digunakan untuk membaca karir politik Jokowi. Jokowi bukanlah aktor Orde Baru. Identitas Jokowi dalam kancah perpolitikan Indonesia lebih dilihat sebagai seorang aktor baru namun tetap mendapat pengaruh dari aktor-aktor lama. Publik sulit memikirkan kenyataan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh Jokowi dalam laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012  mendekati Rp 30 miliar. Jokowi yang dikenal sebagai seorang pengusaha mebel mustahil menjadi wali kota Solo dan kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta tanpa dukungan sponsor. Dalam kenyataannya, Jokowi mendapat suntikan dana dari Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Setelah Jokowi memegang jabatan politik, dia melakukan praktik politik balas budi dengan mengangkat Hashim menjadi Kepala Pengawas Taman Margasatwa Ragunan.[3] Tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa Jokowi bukanlah orang biasa, kalau tidak mau digolongkan sebagai oligark kecil karena kepemilikan harta kekayaannya dan juga karena relasi ekonomi-politiknya dengan oligark-oligark lain baik yang berada di dalam wilayah kekuasaan maupun di luar wilayah kekuasaannya.
Analisis berbasis aktor mendorong beberapa pihak membuat kategorisasi elite politik di Indonesia berdasarkan latar belakang ideologinya: elite oligarki, semi oligarki, dan non oligarki atau reformis. Akibatnya, perpolitikan di Indonesia pada era reformasi dipahami secara moral-normatif sebagai hasil pertarungan antara yang buruk (elite oligarki) dan yang baik (kaum reformis). Banyak pihak yang berasumsi bahwa kemenangan Jokowi dalam dua kali pemilihan presiden adalah kemenangan kaum reformis karena Jokowi bukan aktor lama Orde Baru, sebaliknya dia menjadi presiden pertama di Indonesia yang tidak berasal dari jaringan-jaringan kekuatan tradisional Indonesia seperti politik keluarga, anggota militer, birokrasi atau organisasi-organisasi massa Muslim di Indonesia.[4]
Secara tegas, saya menjawab bahwa asumsi seperti itu terjebak dalam reduksi fenomenologis karena melahirkan perspektif dari satu sisi penglihatan saja yaitu teori aktor yang diperkenalkan oleh Jeffrey Winters[5] tanpa mengaitkannya dengan faktor relasi kekuasaan ekonomi-politik yang menjadi fokus perhatian Vedi Hadiz. Memang benar bahwa Jokowi bukan aktor lama Orde Baru, tetapi kemenangannya menjadi presiden tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang oligark di belakangnya. Dalam hal ini, Hadiz benar ketika menegaskan bahwa sikap aktor tidak pernah dapat dilepaskan dari struktur sosial yang mempengaruhinya.
Kedua pasangan calon presiden Indonesia periode 2019-2024 yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, misalnya, memiliki relasi dengan oligark tambang yang punya modal ekonomi berlimpah. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendaftarkan beberapa nama penting terkait dan terlibat dalam bisnis tambang di Indonesia. Sebagian nama-nama ini mempunyai posisi penting baik langsung sebagai calon presiden, wakil presiden, sebagai tim sukses maupun tim kampanye nasional atau badan pemenangan pasangan calon. Di kubu Joko-Amin, oknum yang terkait langsung dengan bisnis tambang dan energi yakni Luhut Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi, dan Suadi Marasambessy. Ada juga nama lain seperti Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Andi Syamsuddin Arsyad, Oesman Sapta Oedang, dan Aburizal Bakrie. Di kubu Prabowo-Uno, lebih jelas lagi. Prabowo dan Uno sendiri merupakan pemain lama sektor tambang dan energi. Ada juga nama seperti Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, dan Zulkifli Hasan.[6]
III.           Kritik terhadap Pembangunan Infrastruktur dan Kehadiran Investor pada Era Pemerintahan Jokowi
3.1 Kritik terhadap Pembangunan Infrastruktur Era Pemerintahan Jokowi
Secara kasat mata, orang dengan begitu mudah memberikan apresiasi terhadap Jokowi karena berhasil membangun banyak infrastruktur pada masa pemerintahannya. Namun, kalau orang secara kritis membaca dan menganalisis segala sesuatu yang ada di balik keberhasilan tersebut, orang akan berpikir seribu kali untuk memberikan apresiasi. Saya sendiri melihat beberapa tragedi di balik pembangunan infrastruktur pada pemerintahan Jokowi. Pertama, ada praktik ketidakadilan di balik pendekatan pembangunan infrastruktur Jokowi. Pembangunan infrastruktur tentu membutuhkan lahan yang luas. Lahan luas di daerah-daerah pinggiran yang akan menjadi tempat pembangunan infrastruktur adalah milik masyarakat biasa yaitu para petani yang hidup sederhana. Mereka menggunakan lahan sebagai penghasilan utama bagi mereka untuk bertahan hidup.
Malapetaka menimpa para petani di daerah-daerah pinggiran ketika atas nama pembangunan infrastruktur, mereka dipaksa untuk menyerahkan lahan mereka. Tidak jarang terjadi juga perampasan hak milik tanah dari para petani dalam rangka menyukseskan pembangunan infrastruktur seperti yang dialami oleh masyarakat petani di Selasih, salah satu desa adat yang ada di Bali. Tanah mereka dirampas oleh PT Ubud Duta Resort Development (UDRD) untuk diubah menjadi resort mewah dengan lapangan golf.[7] Kenyataan seperti ini tentu melanggar sebuah prinsip yang disebut sebagai Free and Prior Informed Consent (FPIC).[8]
Tidak jarang juga terjadi praktik komersialisasi serta monopoli terhadap lokasi-lokasi bernilai strategis untuk penggunaan kepentingan bisnis. Akibatnya, masyarakat lokal yang seharusnya berdaulat di wilayahnya sendiri untuk menikmati lokasi-lokasi wisata umum kemudian harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat banyak. Kenyataan-kenyataan seperti ini mengakibatkan transformasi status dan peran masyarakat lokal dari tuan rumah yang berdaulat di wilayah sendiri menjadi tamu atau bahkan orang asing di wilayah sendiri. Masyarakat lokal di wilayah Labuan Bajo, misalnya, sangat tahu baik bagaimana menjadi tamu atau bahkan orang asing di wilayah sendiri apalagi melalui kebijakan pariwisata super premium yang menjadi produk para elite nasional dan para elite lokal.
Kehadiran PT UDRD dan pariwisata super premium di Labuan Bajo tentu tidak dapat dilepaspisahkan dari peran pemerintah sekarang yang berusaha meningkatkan investasi. Kebijakan tersebut menjadi undangan bagi para investor untuk menyelesaikan proyek-proyek yang belum tuntas dan juga mengerjakan proyek-proyek baru. Dengan orientasi investasi, para investor merasa diri diproteksi oleh pemerintah. Tidak jarang juga dalam rangka mengamankan relasi mutualistik penguasa dan investor, polisi dan tentara dikerahkan dan masyarakat semakin dibiasakan untuk berhadapan dengan pendekatan militeristik.
Kedua, pendekatan pembangunan infrastruktur diglorifikasi oleh pemerintah sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Problem pembangunan seperti ini sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat Papua adalah masalah pelanggaran HAM yang meliputi isu rasial dan diskriminasi. Terhadap masalah tersebut, pemerintah menggunakan pendekatan parsial pembangunan infrastruktur. Isu sosial, politik, dan HAM dijawab dengan pembangunan ekonomi (infrastruktur). Pemerintah menggunakan narasi keberhasilan dan prestasi pendekatan pembangunan infrastruktur untuk mendiamkan masalah-masalah yang lebih krusial, seperti persoalan HAM, sosial, dan politik masyarakat Papua.
Lebih gawat lagi, ketika orang yang berada di dalam wilayah kekuasaan Jokowi menyebarluaskan narasi tentang era Jokowi yang bebas dari pelanggaran HAM. Pemikiran dan sikap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD dapat dijadikan contoh kegagalan kaum intelektual di dalam kekuasaan. Menurut dia, era pemerintahan Jokowi adalah era pemerintahan yang bebas dari pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM, menurut dia, baru terjadi kalau ada sistemnya, terstruktur, dan sistematis. Pemikiran dan sikap Menko Polhukam dikritik habis-habisan oleh Komnas HAM dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Kedua lembaga ini menjelaskan bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM selama pemerintahan Jokowi, hanya tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM terjadi bukan hanya oleh pemerintah secara terencana, tetapi juga pembiaran pemerintah terhadap kekerasan antara aparat dan masyarakat sipil seperti yang terjadi di Papua adalah bentuk pelanggaran HAM.[9] Bahkan, Mahfud MD menganggap data tahanan politik dan korban sipil yang tewas di Nduga, Papua yang diserahkan oleh Veronika Koman kepada Presiden Joko Widodo sebagai sampah.[10]
Ketiga, pihak yang lebih diuntungkan dari pendekatan pembangunan infrastruktur sebenarnya bukan masyarakat biasa, melainkan para oligark dan investor. Masyarakat biasa terutama para petani lebih sering mengalami nasib tragis ganda: pertama, mereka kehilangan hak milik atas tanah. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi ratusan konflik penggusuran lahan secara paksa pada era pemerintahan Jokowi. Tahun 2014 tercatat 215 kasus, 2016 tercatat 450 kasus, 2017 tercatat 659 kasus, 2018 tercatat 410 kasus, dan pada tahun 2019 masih banyak kasus penggusuran lahan di berbagai tempat. Selama periode 2014-2018, letusan konflik agraria menimbulkan banyak korban di antaranya adalah 41 orang diduga tewas, 546 orang dianiaya, dan 51 orang tertembak.[11] Kedua, ketika infrastruktur selesai dibangun, kaum oligark dan para investor menggunakan infrastruktur tersebut untuk memperlancar mobilisasi kekayaan sumber daya alam di daerah bersangkutan. Para petani menjadi pekerja di daerah sendiri karena harus menyerahkan tenaga kepada para investor dan para oligark yang menjadi tuan dadakan di daerah yang bersangkutan. Akibatnya, jurang antara masyarakat biasa dan kaum oligark semakin menganga lebar.
Untuk mengelabui masyarakat terkait penyimpangan pembangunan infrastruktur, Jokowi membagi-bagi sertifikat tanah kepada masyarakat. Pelaksanaan program pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat bertumpu pada argumentasi bahwa program tersebut dapat mendukung efektivitas pelaksanaan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sekali lagi, berkat pelaksanaan program pembagian sertifikat tanah, masyarakat memuji Jokowi sebaga pemimpin yang sungguh berpihak pada masyarakat kecil.
Walaupun pembagian sertifikat tanah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, hal itu tidak dinikmati oleh semua masyarakat. Dalam banyak kasus di beberapa tempat, pembagian sertifikat tanah di negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan kemiskinan karena pemberlakuan ideologi neoliberal yang menjadi fundamen aktualisasi program pembagian sertifikat tanah di negara-negara berkembang dengan aksentuasi yang berlebihan pada pemasukan keuntungan tanpa harus mempedulikan efek desktruktif di balik keuntungan tersebut.[12] Kenyataan seperti itu cenderung mengabaikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi semua masyarakat.



[1]     Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market (London and New York: RoutledgeCurzon Taylor and Francis Group, 2004), hlm. 43. Lihat juga Richard Robison dan Vedi R Hadiz, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”, Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014, hlm. 35-56.
[2]     Olle Törnquist, “Shallow Democracy in Deep Waters (Demokrasi dalam Masalah), sebuah kata pengantar dalam Desi Rahmawati, Demokrasi dalam Genggaman Para Pemburu Rente (Yogyakarta: Penerbit PolGov, 2018), hlm. vi.
[3]     A. Rahman Tolleng, “Oligark Hitam, Jokowi, dan Revolusi dari Atas”, Jurnal Prisma, Demokrasi di Bawah Cengekeraman Oligarki, Vol. 33, No. 1, 2014, hlm. 107.
[4]     Marcus Mietzner, Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation In Indonesia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), hlm. 1-2.
[5]     Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). Lihat juga Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014, hlm. 11-34.
[6]     Della Syahni, “Potret Relasi Pebisnis Tambang di Balik Kedua Calon Presiden”, https://www.mongabay.co.id/2019/02/21/potret-relasi-pebisnis-tambang-di-balik-kedua-calon-presiden/, diakses pada Minggu, 29 September 2019.
[7]     Made Supriatma, “Selasih: Cerita Perampasan Tanah yang Tak Pernah Usai”, https://indoprogress.com/2019/12/selasih-cerita-perampasan-tanah-yang-tak-pernah-usai/, diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
[8]     Penjelasan lebih terperinci tentang FPIC dapat dilihat dalam Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam, Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 165-166.
[9]     CNN Indonesia, “Mahfud Bersikukuh Tak Ada Pelanggaran HAM di Era Jokowi”, https://m.cnnindonesia.com/nasional/200191214173657-20-457000/mahfud-bersikukuh-tak-ada-pelanggaran-ham-di-era-jokowi, diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
[10]    Devina Halim, “Dokumennya Disebut Sampah oleh Mahfud MD, Veronica Koman: Ini Memperdalam Luka Papua”, https://nasional.kompas.com/read/2020/02/11/20593871/dokumennya-disebut-sampah-oleh-mahfud-md-veronica-koman-ini-memperdalam-luka?page=all, diakses pada Jumat, 28 Februari 2020.
[12]    Saturnino M. Borras, Pro-Poor Land Reform: A Critique (Ottawa: University of Ottawa Press, 2007), hlm. 7.

KRITIK TERHADAP PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN KEHADIRAN INVESTOR PADA ERA PEMERINTAHAN JOKOWI (1/2) KRITIK TERHADAP PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN KEHADIRAN INVESTOR PADA ERA PEMERINTAHAN JOKOWI (1/2) Reviewed by insancerdaspolitik on July 02, 2020 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.