Recent Posts

banner image
banner image

Antropologi Filsafat Paul Ricoeur: Masalah Kehendak dan Diskursus Filosofis


Masalah Kehendak dan Diskursus Filosofis[1]
Oleh Ferdinandus Jehalut

Paulus Ricoeur - Vicipaedia

Dalam salah satu bukunya berjudul “Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer”, Paul Ricoeur menulis salah satu artikel berjudul “The Problem of the Will and Philosophical Discourse”. Artikel ini memuat ulasan Ricoeur tentang wacana “kehendak” sepanjang sejarah filsafat sejak zaman antik hingga zaman modern. Dalam pembahasannya mengenai discourse of will yang terbentang sepanjang sejarah filsafat itu, Ricoeur tidak berhenti pada ulasan mengenai keanekaragaman pandangan para filsuf besar seperti Aristoteles, kaum Stoa, Aquinas, Descartes, Kant, Hegel, dan Husserl tentang masalah kehendak. Lebih dari itu, Ricoeur berusaha menarik sebuah sintesis dari pandangan mereka. 
Tulisan ini akan berusaha mengulas pandangan Ricoeur tentang “kehendak” yang termuat dalam artikelnya The Problem of the Will and Philosophical Discourse. Sebagaimana ditegaskan oleh Ricoeur sendiri, artikel ini sebenarnya merupakan sebuah essay yang memperlihatkan ketidakpuasannya ketika dia mempertimbangkan, setelah hampir dua puluh tahun, analisisnya tentang “kehendak” dalam “The Voluntary and the Involuntary”. Karya ini menurut Ricoeur penting untuk suatu deskripsi fenomenologis tentang fenomena seperti proyek, motif, gestur, dan lain-lain. Ricoeur mengakui bahwa pandangan filosofis tentang kehendak yang terbentang sejak Aristoteles hingga Nietzsche, melewati kaum Skolastik, Descartes, Kant dan Hegel, mengatakan sesuatu yang sangat berarti tentang  “kehendak”.
Hipotesis yang diajukan Ricoeur dalam essay ini adalah  bahwa filsafat kehendak sekurang-kurangnya membutuhkan tiga jenis diskursus. Yang pertama ialah diskursus fenomenologis, kedua, diskurus dialektis, dan ketiga, diskursus hermeneutik. Ketiga jenis diskursus ini masing-masing memiliki aturan-aturan, tipe kohorensi, dan modus validitas atau pembenarannya. 
Diskursus Fenomenologis
Diskursus fenomenologis mengantar kita kembali kepada buku ketiga “Nichomachean Etics” Aristoteles, terutama pada gagasan tentang tindakan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki (voluntary and involuntary action), preferensi rasional, dan hasrat (desire). Untuk lebih meyakinkan, fenomenologi pertama (tentang voluntary and involuntary) tidak ditemukan kesatuannya sejak tidak adanya kesatuan konsep tentang kehendak. Konsep tentang kehendak barangkali tidak diformulasikan juga. Karena ada banyak pertentangan pendapat yang berubah-ubah tentang definisi kehendak, konsep tentang kehendak kiranya dapat dipertimbangkan dalam diskursus fenomenologis. Dalam kerangka ini sebenarnya buku ketiga Nichomachean Etics  bisa disebut sebagai fenomenologi kehendak yang pertama. Risalah ini termasuk risalah yang otonom di antara sekian banyak risalah tentang etika. Selanjutnya, perkembangan konsep tentang kehendak ini bisa diikuti dengan melihat benang merahnya dari pandangan fenomenologi Aristoteles hingga fenomenologi post-Husserlian.
Gagasan tentang fenomenologi kehendak sejak zaman antik hingga zaman modern menarik untuk disimak. Setiap filsuf atau mazhab berusaha menampilkan pandangan yang unik dan khas tentang kehendak sesuai dengan konteks zamannya. Di sini, Ricoeur hanya merangkum secara singkat  gagasan itu mulai dari filsafat Yunani klasik hingga post-Husserlian. Dalam filsafat Yunani klasik, konsepsi tentang persetujuan dilihat sebagai lawan yang bertindak terhadap citra pasif. Aristoteles telah mengorganisasi fenomenologinya sekitar pilihan tindakan sentral yang digunakan untuk maksud tertentu, bertentangan dengan keinginan, sebagai dorongan fana yang diarahkan ke suatu tujuan. Selanjutnya, kaum Stoa mereorganisasi seluruh bidang phyche (jiwa atau keutamaan) sebagai fungsi polaritas antara aktivitas dan pasivitas. Setiap konsep fenomenologi kehendak selanjutnya, termasuk analisis-analisis tajam dari kaum Skolastik dan Descartes akan tetap setia pada penentuan fenomenologi ganda dari konsep kehendak. Dari Santu Thomas hingga Descartes, fenomenologi kehendak tetap memperlihatkan suatu kesinambungan dari gagasan fenomenologi Aristoteles dan kaum Stoa. Selanjutnya fenomenologi kehendak mencapai puncaknya dalam konsep tentang keputusan yang tampak dalam (a) proyek atau tujuan, sebagai intensi kehendak; (b) pilihan, sebagai tindakan yang mengandaikan sebuah proyek atau tujuan; (c) pemutusan alternatif-alternatif, sebagai konten dari tindakan, yang oleh kaum Skolastik disebut sebagai power over the contraris.
Selanjutnya, selama periode besar idealisme Jerman dari Kant hingga Hegel, tema tentang “kehendak” tetap tidak pernah absen dari diskursus filosofis. Kant misalnya berbicara tentang “kehendak baik” (good will) sebagai dasar tindakan moral. Persoalan dalam konsep Kant menurut saya ialah bagaimana “kehendak baik” dalam diri subjek itu aktif ketika berhadapan dengan fenomen-fenomen yang berada di luar dirinya.  Misalnya, ketika subjek moral itu berhadapan dengan seorang pengemis, bagaimana kehendak baik itu aktif dalam diri subjek moral sehingga ia sampai tertarik untuk melakukan perbuatan moral, misalnya, memberikan sejumlah uang kepada pengemis itu. Dalam formulasi yang lebih umum, bagaimana subjek yang rasional itu sampai tertarik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Fenomenologi kehendak mendapat justifiksinya dalam filsafat Husserl dan penyelesaiannya pada literatur-literatur post-Husserlian. Husserl berbicara sedikit tentang kehendak. Husserl berhenti pada prioritas tindakan-tindakan objektivasi, di antaranya, tentang persepsi. Fenomenologi secara prinsipil, untuk alasan itu, adalah sebuah fenomenologi persepsi dan pernyataan-pernyataan asertif. Namun demikian, fenomenologi telah memberikan wacana klasik tentang legitimasi kehendak dan pendasarannya. Meskipun dalam fenomenlogi Husserl kita mungkin akan menemukan kelemahan bahwa ia tidak berhasil mengangkat realitas yang sebenarnya, sebab Husserl berhenti pada struktur kesadaran, akan tetapi, fenomenologi yang dikembangkan Husserl ini masih tergolong unik karena belum pernah dielaborasi oleh Aristoteles dan para filsuf setelahnya hingga Descartes.
Seluruh ciri-ciri fenomenolgis dapat ditemukan dalam deskripsi metodologi Husserl, yang belum pernah dielaborasi oleh para filsuf sebelumnya. Namun demikian, fenomenologi kehendak tidak hanya dijustifikasi dalam metode Husserl. Husserl sebenarnya hanya memperluas metode fenomenologi dengan melampaui ekspresi klasiknya. Keunggulan metode fenomenologi Husserl barangkali terletak dalam kemampuannya untuk memberikan powerful impulse  terhadap sebuah fenomenologi emosi-emosi dan fenomenologi voluntary and involuntary. 
Untuk menutup ulasan tentang diskursus fenomenologis ini, Ricoeur menegaskan bahwa fenomenologi adalah sebuah analisis konseptual sejauh ia dapat dipahami, bukan sebagai pengalaman hidup yang dijalani, melainkan esensi pengalaman hidup, artikulasinya dan interkoneksinya. Itu berarti, seperti pendirian kaum naturalis, fakta-fakta dan hukum-hukum mesti ditempatkan dalam tanda kurung, sehingga dunia tampak sebagai medan makna.
Diskursus Dialektis
Ricoeur sadar bahwa diskursus fenomenologis tidak bisa menyelesaikan problem tentang kehendak. Problem tentang kehendak adalah sesuatu yang kompleks. Oleh karena itu, diskursus fenomenologis mesti diikuti dengan analisis tentang tindakan rasional (rational action). Lalu, tindakan macam mana yang tergolong ke dalam tindakan yang rasional atau masuk akal?
Yang dimaksudkan oleh Ricoeur tentang tindakan rasional di sini ialah tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan itu adalah tindakan yang penuh arti. Yang bertanggung jawab atas tindakan itu ialah subjek yang bertindak itu sendiri.  Dasar dari jawaban ini barangkali dapat kita temukan dalam pembahasan Ricoeur tentang kesanggupan diri (capable self). Manusia, selain dapat berbicara, bertindak, bernarasi, juga dapat bertanggung jawab atas tindakkannya. Kesanggupan ini ada dalam diri manusia.
Untuk lebih memahami maksud Ricoeur, mari kita kembali kepada Aristoteles. Aristoteles adalah salah satu pendiri filsafat kehendak. Fenomenologinya adalah sebuah segmen abstrak yang terungkap dalam risalah tentang kebajikan, kodrat (natura), akuisisi, dan kondisi kemanjuran. Kebajikan atau kebaikan dalam pandangan Aristoteles adalah keseimbangan antara dua ekstrem, jalan tengah antara kelebihan dan kegagalan.
Berkaitan dengan kehendak, pada Aristoteles jawabannya mungkin kita temukan dalam metafisika dan etika. Kita mulai dengan definisi Aristoteles tentang manusia. Manusia menurut Aristoteles adalah ada yang rasional (ens rationale). Sebagai manusia yang rasional, tindakan manusia selalu terarah kepada tujuan ultim tertentu. Tujuan itu menurut Aristoteles tidak lain adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri. Karena alasan inilah, etika Aristoteles disebut etika teleologis atau kadang juga disebut etika eudaimonisme. Apa yang Aristoteles sebut kebahagiaan sebenarnya merupakan bahasa lain dari kebaikan. Dengan itu, ia mengungkapkan karakter ontologis manusia. Bagi manusia kebaikan selalu menjadi objek kecenderungan kehendak. Jadi, ada semacam appetitus naturalis pada manusia untuk mengejak yang baik.[2]
Kalau pada Aristoteles kita berhadapan dengan pertanyaan apa itu kebajikan atau kebaikan serta kebijaksanaan, maka menurut Ricoeur pada Kant kita berhadapan dengan pertanyaan apa yang membuat kehendak baik itu baik? Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut saya,  jawaban atas pertanyaan itu mungkin ditemukan dalam konsep etika Kant tentang imperatif kategoris (perintah tak bersyarat). Yang menentukan karakter moral dari suatu tindakan ialah tidak adanya pertimbangan untung-rugi saat tindakan itu dilakukan. Jadi, tindakan itu dilakukan semata-mata didasarkan pada kehendak untuk berbuat baik. Meskipun pada akhirnya untuk melegitimasi pandangan ini Kant tetap mengandaikan imortalitas jiwa. 
Bagi Ricoeur, untuk lebih memahami pertanyaan apa yang membuat kehendak baik itu baik, kita bisa menggali dualisme pandangan Kant tentang kehendak yang biasa dan kehendak normatif serta kehendak objektif dan kehendak subjektif. Dualisme ini menciptakan kesulitan yang mendasar dalam filsafat Kant. Dalam Kritik Akal Budi Praktis, Kant membuat analisis transendental tentang kehendak.[3] Lalu dalam Kritik Akal Budi Murni Kant mencari kondisi-kondisi yang memungkinkan penilaian yang benar atas persepsi. Berdasarkan intensinya, kritik akal budi praktis bertujuan menjelaskan bagaimana sebuah representasi menghasilkan suatu efek tertentu dalam realitas. Dengan kata lain, bagaimana mengaktualisasikan pikiran ke dalam tindakan nyata.
Ketika Ricoeur mengajukan pertanyaan di atas, perhatiannya barangkali tercurah pada pemahamannya tentang freedom and nature dalam diri manusia. Ungkapan Ricoeur yang terkenal ialah “Man is the joy of yes in the sadness of finite.” The joy of yes adalah freedom dan sadness of finite adalah nature. Jadi, manusia itu adalah sukacita yang besar atas kebebasannya di dalam kesedihan akan keterbatasan kodratnya. Dengan ungkapan ini, menurut saya Ricoeur mau menunjukkan bahwa esensi manusia selalu membatasi eksistensinya. Manusia tidak bisa berada melampaui esensinya. Karena manusia pada dasarnya rapuh, sulit dibayangkan bahwa ideal Kant tentang kehendak normatif yang murni tanpa syarat itu direalisasikan secara penuh. Di sini manusia akan selalu berhadapan dengan persoalan bagaimana pikiran itu diaktualisasikan dalam tindakan nyata. Dalam konteks etika, persoalannya ialah bagaimana kehendak baik itu diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Untuk tidak tenggelam dalam dualisme di atas, Ricoeur membuat rangkuman atas situasi dialektis yang secara tersirat tampak dalam diskursus tentang tindakan rasional. Pertama, kehendak adalah sebuah transisi dari desire menuju rasionalitas. Itu berarti keputusan membutuhkan konsepsi realitas di mana hasrat disublimasikan dalam membuat keputusan. Kedua, kaum Skolastik dan Descartes meyakini bahwa keputusan atau penilaian merupakan interaksi antara dua fakultas: pemahaman dan kehendak. Ada relasi resiprosikal dan kausalitas antara keduanya. Pemahaman menggerakan kehendak dan kehendak menggerakan pemahaman. Ketiga, transisi dari kehendak subjektif yang menjadi objek fenomenologi menuju kehendak objektif yang menjadi objek dari determinasi etika politik Aristoteles dan Kant. Situasi dialektis yang ketiga ini terdapat dalam apa yang oleh Hegel sebut sebagai filsafat tentang roh objektif. Pandangan Hegel ini memuat konsepsi tentang kehendak, terutama pada level diskursus tentang tindakan yang bermakna. Hal yang pertama yang terungkap dalam pandangan Hegel tentang roh objektif adalah hubungan kontrak yang mengikat satu kehendak dengan yang lain dalam suatu hubungan resiprosikal. Selain itu, kebebasan diaktualisasikan tidak dalam setiap pekerjaan dan tindakan yang merepresentasikan roh objektif di dunia. Keempat, filsafat kehendak dipahami sebagai diskursus tentang tindakan rasional yang memuncak dalam teori komunikasi konkret di mana kehendak mampu mengenal dirinya.
Diskursus tentang tindakan pada akhirnya harus sampai pada kesadaran bahwa manusia memiliki kewajiban-kewajiban konkret, kebijaksanaan dan kebajikan konkret yang disadari hanya ketika mereka bisa mengenal diri mereka dalam situasi komunikasi di mana mereka mengenal eksistensi mereka sendiri. Kesadaran ini mengantar manusia untuk bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
Diskursus Hermeneutik
Ricoeur memperlihatkan bahwa diskursus tentang tindakan rasional di atas tidak menyelesaikan tugas untuk menjelaskan filsafat kehendak. Diskursus kedua ini menunjuk pada arah jenis penyelidikan baru yang membutuhkan jenis diskursus filosofis baru. Diskursus filosofis baru itu adalah diskursus hermeneutik.    
Menurut Ricoeur, diskurus yang ketiga ini dapat disebut sebagai “broken discourse”. Diskursus ini dipenuhi dengan ambiguitas. Ia lebih memiliki daya tarik dengan variasi-variasi dalam interpretasinya dari pada dengan koherensi pengetahuan yang absolut. Meskipun demikian, pertanyaannya ialah apakah interpretasi tidak menerima status filsafat  sebagai bentuk khusus dari diskursus filosofis?  Pertanyaan lain lagi ialah mengapa diskursus ini disebut sebagai “broken discourse”?  
Jawaban atas pertanyaan kedua di atas yang harus diberikan ialah bahwa apersepsi dari apa yang kita sebut sebagai modus-modus dari ada (modes of being) terikat pada sejarah, yang tampaknya terikat pada manifestasinya. Sejarah sesungguhnya adalah jalan dari modus-modus dari ada (modes of being). Dengan kata lain, sejarah merupakan manifestasi dari ada. Beberapa lapisan wacana sebelumnya mudah diuraikan. Dalam pembahasan tentang Aristoteles pada bagian sebelumnya kita sudah berbicara tentang diskursus voluntary and involuntary yang merupakan inti fenomenologi Aristoteles dalam Nichomachean Etics (buku III). Diskursus ini dimasukan ke dalam diskursus yang lebih besar yang Aristoteles rancang sebagai ilmu pengetahuan arsitektonis politik. Akhirnya, diskursus ini kembali mengacu pada diskursus tentang ada.           
Menurut saya ada kurang lebih dua kata kunci untuk mamahami diskursus hermeneutik dari Ricoeur. Kedua kata kunci itu adalah modes of being dan subjektivity. Kedua kata ini akan selalu kita jumpai dalam setiap pembahasan mengenai wacana hermeneutik bukan hanya pada Ricoeur, melainkan juga pada setiap diskursus hermenutik dari siapa pun. Mengepa demikian? Menurut saya, dalam setiap diskursus hermeneutik, diskusi kita akan selalu berkisar seputar bagaimana modus-modus dari ada itu diinterpretasi secara subjektif. Itu berarti setiap interpretasi atas sesuatu selalu melibatkan unsur subjektif dari subjek yang menginterpretasinya. Analisis Ricoeur barangkali jauh melampaui analisis sederhana saya ini. Dalam pandangan Ricoeur subjektivitas bukan hanya fitur dalam bidang fenomenologis atau bahkan komponen dari teori tindakan bermakna. Sebaliknya, subjektivitas dapat masuk ke dalam pertanyaan sebagai sebuah dimensi dari kedua jenis diskursus sebelumnya. Kemunculan kehendak sebagai masalah filosofis pun mengungkapkan subjektivitas progresif sebagai modus utama keberadaan. Jadi Ricoeur melihat subjektivitas pertama-tama sebagai modus utama keberadaan.         
Kita berlangkah lebih jauh. Dalam diskursus hermeneutik ini, Ricoeur ingin menegaskan tiga ambang antara Aristoteles dan Hegel. Pertama, kehendak harus dipahami sebagai tak terbatas untuk menjadi subjektif. Ketidakterbatasan ini tidak diketahui oleh Aristoteles. Baginya, kekuatan untuk memilih hanya efektif dalam bidang pertimbangan terbatas yang ditetapkan di tengah-tengah situasi yang terbatas. Sebuah revolusi harus terjadi dalam hubungan antara yang tak terbatas dan terbatas. Pembalikan pertama ini, seperti yang ditulis Hegel dalam Principles of the Philosophy of Rights, adalah titik balik dari dunia Yunani ke dunia Kristen. Pergantian ini dapat ditemukan dalam pandangan Santu Agustinus. Voluntas mengungkapkan dirinya dalam pengalaman kejahatan dan dosa sebagai kekuatan untuk meniadakan keberadaan. Kekuatan yang mengerikan ini adalah kekuatan kehendak yang tak terbatas.
Kedua, munculnya kehendak sebagai subjektivitas dipresentasikan oleh cogito Cartesian. Cogito Cartesian dipahami sebagai kebebaan eksitensial. Ricoeur kemudian mengubah cogito Cartesian ini dengan i will (saya berkehendak).
Ketiga, antinomi antara freedom dan nature. Antinomi ini tidak dapat dipahami selama nature itu sendiri belum disatukan dalam hal keabsahan tunggal. Sekarang, kebebasan diasingkan dari alam; tidak ada persatuan yang sistematis yang tetap yang mampu merangkul, dalam kosmologi tunggal, gagasan efek alami dan tindakan bebas yang dapat dipertanggungjawabkan pada subjek etis. Antinomi ini adalah titik krisis dari ketiga diskursus kehendak yang ada.
Pertanyaannya di sini ialah apakah antinomi Kant tidak bisa diatasi di dalam filsafat Hegel? Jawabannya menurut Ricoeur bisa ya dan bisa juga tidak. Di satu sisi, alasan Hegel telah mengatasi pemahaman Kantian - dalam arti bahwa dialektika tindakan rasional itu sendiri merupakan dasar untuk mengatasinya. Terlebih lagi, filsafat Hegel dapat dibaca sebagai upaya untuk mengatasi tidak hanya antinomi filsafat Kantian, tetapi juga antinomi filsafat Barat secara keseluruhan. Dari sudut pandang Hegelian, seluruh sejarah filsafat adalah pertempuran antara filsafat substansi, yang diilustrasikan oleh Aristoteles dan Spinoza, dan filsafat subjek, yang diilustrasikan oleh Descartes dan Kant. Filsafat kehendak dan semua dialektika yang timbul antara keinginan dan rasionalitas, representasi dan kemauan, subjektivitas dan objektivitas, menyiratkan rekonsiliasi antara substansi dan subjek. Rekonsiliasi inilah yang kemudian menjadi kunci dari filsafat Roh dari Hegel.
Kesulitan fundamental dalam filsafat kehendak Hegel menurut Ricoeur adalah berkatian dengan hubungan antara kehendak dan kebenaran. Perhatian utama Hegel pada berbagai tahap dialektika adalah untuk menunjukkan kebenaran setiap momen. Setiap saat memiliki kebenarannya dan pada saat yang lain kontradiksinya dimediasi dan dihidupkan kembali. Akhirnya, seluruh proses dapat dianut dalam tatapan retrospektif: seluruh gerakan itu memiliki kemungkinan yang mungkin dalam superioritas sang filsuf, dalam kemajuannya berkaitan dengan seluruh perkembangan, dalam kata-katanya yang ditempatkan dalam posisi absolut pada akhir setiap proses.
Pertanyaan fundamental yang diajukan dalam filsafat post-Hegelian ialah jika kebenaran itu sendiri merupakan aspek kehendak sebagai kehendak akan kebenaran, apakah tidak ada pertanyaan yang harus menghubungkan pencarian kebenaran dengan kualitas kehendak? Pertanyaan ini membuka diskursus baru tentang filsafat kehendak. Salah satu upaya untuk membuka diskurusus baru tentang filsafat kehendak itu dilakukan oleh Nietzche yang tertuang dalam karyanya “The Will to Power” (Kehendak untuk berkuasa). Ulasan Nietzche dalam karya ini dinilai ambigu dan pada akhirnya menghasilkan konsep tentang nihilisme. Selain itu, ulasan Nietzche tentang relasi antara kehendak dan kebenaran memancing pertanyaan apa sebenarnya kriteria sebuah interpretasi yang benar menurut Nietzche.
Ricoeur menutup kajiannya tentang problem kehendak dengan sebuah harapan bahwa ulasannya kiranya dapat menunjukkan hubungan yang lebih jelas antara tiga jenis diskursus di mana filsafat mampu berbicara tentang kehendak: diskursus fenomenologis, yang secara sederhana menggambarkan kehendak sebagai proyek dan pilihan; diskursus dialektik, yang mengartikulasikan secara logis tingkat tindakan rasional; dan wacana dalam bentuk interpretasi, yang di balik perubahan yang telah terjadi pada dua bidang sebelumnya mengakui sejarah mendalam dari modus keberadaan yang tersembunyi dan kemudian terungkap - ditunjukkan dan disembunyikan.
Filsafat Kehendak dan Relevansi Konkretnya
Apa relevansi pandangan Ricoeur di atas dalam kehidupan harian kita? Tulisan ini sebenarnya tidak bermaksud mengulas relevansi dari pandangan Ricoeur tentang wacana kehendak, karena fokus saya di sini ialah berusaha memahami teks atau konsep Ricoeur tentang kehendak yang tertuang dalam artikelnya The Problem of the Will and Philosophical Discourse. Akan tetapi, baik juga kalau saya menutup tulisan ini dengan menyentil sedikit relevansi tulisan Ricoeur ini dalam kehidupan harian kita. Di sini saya tidak akan membuat suatu analisis yang tajam dan komprehensif.
Menurut saya, pandangan Ricoeur tentang kehendak yang ditarikanya dari pandangan para filsuf sejak Aristoteles hingga filsuf post-Huserlian sangat bermanfaat dalam bidang dialog antaragama, diskursus tentang etika politik, dan bidang-bidang lainnya.
Dalam bidang dialog antaragama misalnya, pandangan Ricoeur tentang kehendak menempati posisi sentral. Kita mengandaikan bahwa proyek kita di sini ialah mencapai kehidupan bersama yang harmonis. Agama-agama tidak lagi dilihat sebagai biang perpecahan dan permusuhan, tetapi justru menjadi sesuatu yang memperkaya kehidupan bersama. Dengan menempatkan hal ini sebagai proyek, intensi kehendak harus terarah ke sana. Semua orang beragama mesti memiliki kehendak bersama untuk menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan aman. Lalu, bagaimana proyek itu bisa direalisasikan?
Agar kehidupan bersama yang harmonis itu bisa terwujud, kita mesti memilih alternatif tindakan yang dengannya kehendak bersama itu direalisasikan. Di sini saya menawarkan dialog antaragama. Dialog yang dilakukan mesti terarah kepada proyek utama, yakni tercapainya kehidupan bersama yang harmonis. Melalui dialog, setiap pemeluk agama tidak lagi memandang perbedaan sebagai daya yang menghancurkan dan mengancam keberadaannya. Melalui dialog jalan menuju pengakuan terbuka.
Selanjutnya, dialog macam mana yang mesti dilakukan? Dalam hal ini kita mesti memutuskan alternatif-alternatif yang menjadi konten tindakan kita. Tindakan yang dipilih haruslah rasional. Katakanlah di sini, dialog yang dilakukan itu bukan saja berkisar pada tataran teologis, melainkan juga mencakup dialog kehidupan atau komunikasi konkret. Dialog kehidupan itu misalnya, bersilaturahmi dan memberi ucapan selamat kepada sesama dari agama lain yang merayakan hari raya agamanya, kerja bakti bersama, dll.
Pemilihan tindakan-tindakan rasional semacam ini mesti sampai pada kesadaran bahwa masing-masing kita bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keharmonisan dalam hidup beragama. Kita menjadi agen dari tindakan kita masing-masing. Oleh karena itu, kita juga harus bertanggung jawab atas setiap tindakan kita.
Pertanyaan berikutnya ialah, bagaimana kehendak itu digerakan sehingga ia bisa terarah kepada pilihan tindakan rasional itu? Mengikuti alur pemahaman Ricoeur, kita mesti sanggup mengatasi hasrat dalam diri kita untuk sampai pada rasionalitas. Sebab kehendak berada pada wilayah transisi antara desire dan rasionalitas. Pemahaman yang baik tentang pilihan kita mendorong kita untuk siap bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri. Pemahaman dan kehendak saling mengandaikan. “Pemahaman menggerakan kehendak dan kehendak menggerakan pemahaman.”
Selanjutnya, setelah kita masuk pada ruang dialog, hal yang mesti kita perhatikan adalah menerima kehadiran yang lain dengan segala perbedaannya sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Perjumpaan menjadi suatu medan makna yang di dalamnya kita menimba banyak inspirasi tentang penghormatan atas perbedaan. Itu berarti kita menerima identitas dan cara berada dari yang lain sebagai yang khas. Kesadaran ini mesti sampai pada pengakuan akan keberadaan mereka sebagai yang lain, yang unik, dan yang khas, serta yang berbeda dari kita. Kesadaran ini mendorong kita untuk selalu menjaga keharmonisan dalam hidup bersama dengan yang lain. Namun, untuk sampai pada kesadaran ini, kita mesti menggerakan seluruh kehendak kita pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai proyek bersama kita, yakni menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan damai.


Daftar Pustaka


Referensi Utama:
Ricoeur, Paul. Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer. Vol. 3. Malden USA: Polity Press, 2016.
Referensi Tambahan:
Jehalut, Ferdi. “Masalah Hidup, Bunuh Diri, dan Rasionalitas Manusia”, Vox 63:01. Maumere: Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, 2017.
Kant, Immnuel. Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.







[1] Seluruh inti pembahasan ini diambil dari artikel Paul Ricoeur, “The Problem of the Will and Philosophical Discourse”, dalam Paul Ricoeur, Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer, vol. 3 (Malden USA: Polity Press, 2016), pp. 72-86. Saya menyadari bahwa sebagai orang yang baru bergelut dengan filsafat Ricoeur dan belum membaca banyak karya Ricoeur, ulasan ini pasti memiliki banyak keterbatasan dan mungkin juga kekeliruan. Meskipun demikian, dengan kemampuan sebagai seorang pemula, saya berusaha sedemikian rupa agar keterbatasan dan kekeliruan itu dapat seminimal mungkin ada dalam tulisan ini.

[2] Ferdi Jehalut, “Masalah Hidup, Bunuh Diri, dan Rasionalitas Manusia”, Vox 63:01 (Maumere: Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, 2017), pp. 28-29.
[3] Lih. Immnuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

Antropologi Filsafat Paul Ricoeur: Masalah Kehendak dan Diskursus Filosofis Antropologi Filsafat Paul Ricoeur: Masalah Kehendak dan Diskursus Filosofis Reviewed by insancerdaspolitik on July 01, 2020 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.