Masalah Kehendak dan Diskursus
Filosofis[1]
Oleh
Ferdinandus Jehalut

Dalam salah satu bukunya berjudul “Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer”, Paul Ricoeur menulis salah satu artikel berjudul “The Problem of the Will and Philosophical Discourse”. Artikel ini memuat ulasan Ricoeur tentang wacana “kehendak” sepanjang sejarah filsafat sejak zaman antik hingga zaman modern. Dalam pembahasannya mengenai discourse of will yang terbentang sepanjang sejarah filsafat itu, Ricoeur tidak berhenti pada ulasan mengenai keanekaragaman pandangan para filsuf besar seperti Aristoteles, kaum Stoa, Aquinas, Descartes, Kant, Hegel, dan Husserl tentang masalah kehendak. Lebih dari itu, Ricoeur berusaha menarik sebuah sintesis dari pandangan mereka.

Dalam salah satu bukunya berjudul “Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer”, Paul Ricoeur menulis salah satu artikel berjudul “The Problem of the Will and Philosophical Discourse”. Artikel ini memuat ulasan Ricoeur tentang wacana “kehendak” sepanjang sejarah filsafat sejak zaman antik hingga zaman modern. Dalam pembahasannya mengenai discourse of will yang terbentang sepanjang sejarah filsafat itu, Ricoeur tidak berhenti pada ulasan mengenai keanekaragaman pandangan para filsuf besar seperti Aristoteles, kaum Stoa, Aquinas, Descartes, Kant, Hegel, dan Husserl tentang masalah kehendak. Lebih dari itu, Ricoeur berusaha menarik sebuah sintesis dari pandangan mereka.
Tulisan ini akan
berusaha mengulas pandangan Ricoeur tentang “kehendak” yang termuat dalam
artikelnya The Problem of the Will and
Philosophical Discourse. Sebagaimana ditegaskan oleh Ricoeur sendiri,
artikel ini sebenarnya merupakan sebuah essay
yang memperlihatkan ketidakpuasannya ketika dia mempertimbangkan, setelah
hampir dua puluh tahun, analisisnya tentang “kehendak” dalam “The Voluntary and the Involuntary”.
Karya ini menurut Ricoeur penting untuk suatu deskripsi fenomenologis tentang
fenomena seperti proyek, motif, gestur, dan lain-lain. Ricoeur mengakui bahwa
pandangan filosofis tentang kehendak yang terbentang sejak Aristoteles hingga
Nietzsche, melewati kaum Skolastik, Descartes, Kant dan Hegel, mengatakan
sesuatu yang sangat berarti tentang
“kehendak”.
Hipotesis yang
diajukan Ricoeur dalam essay ini
adalah bahwa filsafat kehendak
sekurang-kurangnya membutuhkan tiga jenis diskursus. Yang pertama ialah
diskursus fenomenologis, kedua, diskurus dialektis, dan ketiga, diskursus
hermeneutik. Ketiga jenis diskursus ini masing-masing memiliki aturan-aturan,
tipe kohorensi, dan modus validitas atau pembenarannya.
Diskursus Fenomenologis
Diskursus
fenomenologis mengantar kita kembali kepada buku ketiga “Nichomachean Etics” Aristoteles, terutama pada gagasan tentang
tindakan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki (voluntary and involuntary action), preferensi rasional, dan hasrat
(desire). Untuk lebih meyakinkan,
fenomenologi pertama (tentang voluntary
and involuntary) tidak ditemukan kesatuannya sejak tidak adanya kesatuan
konsep tentang kehendak. Konsep tentang kehendak barangkali tidak
diformulasikan juga. Karena ada banyak pertentangan pendapat yang berubah-ubah
tentang definisi kehendak, konsep tentang kehendak kiranya dapat dipertimbangkan
dalam diskursus fenomenologis. Dalam kerangka ini sebenarnya buku ketiga Nichomachean Etics bisa disebut sebagai fenomenologi kehendak
yang pertama. Risalah ini termasuk risalah yang otonom di antara sekian banyak
risalah tentang etika. Selanjutnya, perkembangan konsep tentang kehendak ini bisa
diikuti dengan melihat benang merahnya dari pandangan fenomenologi Aristoteles
hingga fenomenologi post-Husserlian.
Gagasan tentang
fenomenologi kehendak sejak zaman antik hingga zaman modern menarik untuk disimak.
Setiap filsuf atau mazhab berusaha menampilkan pandangan yang unik dan khas
tentang kehendak sesuai dengan konteks zamannya. Di sini, Ricoeur hanya
merangkum secara singkat gagasan itu
mulai dari filsafat Yunani klasik hingga post-Husserlian. Dalam filsafat Yunani
klasik, konsepsi tentang persetujuan dilihat sebagai lawan yang bertindak
terhadap citra pasif. Aristoteles telah mengorganisasi fenomenologinya sekitar
pilihan tindakan sentral yang digunakan untuk maksud tertentu, bertentangan
dengan keinginan, sebagai dorongan fana yang diarahkan ke suatu tujuan.
Selanjutnya, kaum Stoa mereorganisasi seluruh bidang phyche (jiwa atau keutamaan) sebagai fungsi polaritas antara
aktivitas dan pasivitas. Setiap konsep fenomenologi kehendak selanjutnya,
termasuk analisis-analisis tajam dari kaum Skolastik dan Descartes akan tetap
setia pada penentuan fenomenologi ganda dari konsep kehendak. Dari Santu Thomas
hingga Descartes, fenomenologi kehendak tetap memperlihatkan suatu
kesinambungan dari gagasan fenomenologi Aristoteles dan kaum Stoa. Selanjutnya
fenomenologi kehendak mencapai puncaknya dalam konsep tentang keputusan yang
tampak dalam (a) proyek atau tujuan, sebagai intensi kehendak; (b) pilihan,
sebagai tindakan yang mengandaikan sebuah proyek atau tujuan; (c) pemutusan
alternatif-alternatif, sebagai konten dari tindakan, yang oleh kaum Skolastik disebut
sebagai power over the contraris.
Selanjutnya, selama
periode besar idealisme Jerman dari Kant hingga Hegel, tema tentang “kehendak”
tetap tidak pernah absen dari diskursus filosofis. Kant misalnya berbicara
tentang “kehendak baik” (good will)
sebagai dasar tindakan moral. Persoalan dalam konsep Kant menurut saya ialah
bagaimana “kehendak baik” dalam diri subjek itu aktif ketika berhadapan dengan
fenomen-fenomen yang berada di luar dirinya.
Misalnya, ketika subjek moral itu berhadapan dengan seorang pengemis,
bagaimana kehendak baik itu aktif dalam diri subjek moral sehingga ia sampai
tertarik untuk melakukan perbuatan moral, misalnya, memberikan sejumlah uang
kepada pengemis itu. Dalam formulasi yang lebih umum, bagaimana subjek yang
rasional itu sampai tertarik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Fenomenologi
kehendak mendapat justifiksinya dalam filsafat Husserl dan penyelesaiannya pada
literatur-literatur post-Husserlian. Husserl berbicara sedikit tentang
kehendak. Husserl berhenti pada prioritas tindakan-tindakan objektivasi, di
antaranya, tentang persepsi. Fenomenologi secara prinsipil, untuk alasan itu,
adalah sebuah fenomenologi persepsi dan pernyataan-pernyataan asertif. Namun
demikian, fenomenologi telah memberikan wacana klasik tentang legitimasi
kehendak dan pendasarannya. Meskipun dalam fenomenlogi Husserl kita mungkin
akan menemukan kelemahan bahwa ia tidak berhasil mengangkat realitas yang
sebenarnya, sebab Husserl berhenti pada struktur kesadaran, akan tetapi,
fenomenologi yang dikembangkan Husserl ini masih tergolong unik karena belum
pernah dielaborasi oleh Aristoteles dan para filsuf setelahnya hingga
Descartes.
Seluruh ciri-ciri
fenomenolgis dapat ditemukan dalam deskripsi metodologi Husserl, yang belum
pernah dielaborasi oleh para filsuf sebelumnya. Namun demikian, fenomenologi
kehendak tidak hanya dijustifikasi dalam metode Husserl. Husserl sebenarnya
hanya memperluas metode fenomenologi dengan melampaui ekspresi klasiknya.
Keunggulan metode fenomenologi Husserl barangkali terletak dalam kemampuannya
untuk memberikan powerful impulse terhadap sebuah fenomenologi emosi-emosi dan
fenomenologi voluntary and involuntary.
Untuk menutup
ulasan tentang diskursus fenomenologis ini, Ricoeur menegaskan bahwa
fenomenologi adalah sebuah analisis konseptual sejauh ia dapat dipahami, bukan
sebagai pengalaman hidup yang dijalani, melainkan esensi pengalaman hidup,
artikulasinya dan interkoneksinya. Itu berarti, seperti pendirian kaum
naturalis, fakta-fakta dan hukum-hukum mesti ditempatkan dalam tanda kurung,
sehingga dunia tampak sebagai medan makna.
Diskursus Dialektis
Ricoeur sadar bahwa
diskursus fenomenologis tidak bisa menyelesaikan problem tentang kehendak.
Problem tentang kehendak adalah sesuatu yang kompleks. Oleh karena itu,
diskursus fenomenologis mesti diikuti dengan analisis tentang tindakan rasional
(rational action). Lalu, tindakan
macam mana yang tergolong ke dalam tindakan yang rasional atau masuk akal?
Yang dimaksudkan
oleh Ricoeur tentang tindakan rasional di sini ialah tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tindakan itu adalah tindakan yang penuh arti. Yang
bertanggung jawab atas tindakan itu ialah subjek yang bertindak itu
sendiri. Dasar dari jawaban ini
barangkali dapat kita temukan dalam pembahasan Ricoeur tentang kesanggupan diri
(capable self). Manusia, selain dapat
berbicara, bertindak, bernarasi, juga dapat bertanggung jawab atas
tindakkannya. Kesanggupan ini ada dalam diri manusia.
Untuk lebih
memahami maksud Ricoeur, mari kita kembali kepada Aristoteles. Aristoteles
adalah salah satu pendiri filsafat kehendak. Fenomenologinya adalah sebuah
segmen abstrak yang terungkap dalam risalah tentang kebajikan, kodrat (natura),
akuisisi, dan kondisi kemanjuran. Kebajikan atau kebaikan dalam pandangan
Aristoteles adalah keseimbangan antara dua ekstrem, jalan tengah antara
kelebihan dan kegagalan.
Berkaitan dengan
kehendak, pada Aristoteles jawabannya mungkin kita temukan dalam metafisika dan
etika. Kita mulai dengan definisi Aristoteles tentang manusia. Manusia menurut
Aristoteles adalah ada yang rasional (ens
rationale). Sebagai manusia yang rasional, tindakan manusia selalu terarah
kepada tujuan ultim tertentu. Tujuan itu menurut Aristoteles tidak lain adalah
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan yang dikejar demi dirinya
sendiri. Karena alasan inilah, etika Aristoteles disebut etika teleologis atau kadang juga disebut etika eudaimonisme. Apa yang Aristoteles sebut
kebahagiaan sebenarnya merupakan bahasa lain dari kebaikan. Dengan itu, ia
mengungkapkan karakter ontologis manusia. Bagi manusia kebaikan selalu menjadi
objek kecenderungan kehendak. Jadi, ada semacam appetitus naturalis pada manusia untuk mengejak yang baik.[2]
Kalau pada
Aristoteles kita berhadapan dengan pertanyaan apa itu kebajikan atau kebaikan
serta kebijaksanaan, maka menurut Ricoeur pada Kant kita berhadapan dengan
pertanyaan apa yang membuat kehendak baik itu baik? Sangat sulit untuk menjawab
pertanyaan ini. Menurut saya, jawaban
atas pertanyaan itu mungkin ditemukan dalam konsep etika Kant tentang imperatif
kategoris (perintah tak bersyarat). Yang menentukan karakter moral dari suatu
tindakan ialah tidak adanya pertimbangan untung-rugi saat tindakan itu
dilakukan. Jadi, tindakan itu dilakukan semata-mata didasarkan pada kehendak
untuk berbuat baik. Meskipun pada akhirnya untuk melegitimasi pandangan ini
Kant tetap mengandaikan imortalitas jiwa.
Bagi Ricoeur, untuk
lebih memahami pertanyaan apa yang membuat kehendak baik itu baik, kita bisa
menggali dualisme pandangan Kant tentang kehendak yang biasa dan kehendak
normatif serta kehendak objektif dan kehendak subjektif. Dualisme ini
menciptakan kesulitan yang mendasar dalam filsafat Kant. Dalam Kritik Akal Budi Praktis, Kant membuat
analisis transendental tentang kehendak.[3]
Lalu dalam Kritik Akal Budi Murni
Kant mencari kondisi-kondisi yang memungkinkan penilaian yang benar atas
persepsi. Berdasarkan intensinya, kritik akal budi praktis bertujuan
menjelaskan bagaimana sebuah representasi menghasilkan suatu efek tertentu
dalam realitas. Dengan kata lain, bagaimana mengaktualisasikan pikiran ke dalam
tindakan nyata.
Ketika Ricoeur
mengajukan pertanyaan di atas, perhatiannya barangkali tercurah pada
pemahamannya tentang freedom and nature dalam
diri manusia. Ungkapan Ricoeur yang terkenal ialah “Man is the joy of yes in the sadness of finite.” The joy of yes adalah freedom dan sadness of finite adalah nature.
Jadi, manusia itu adalah sukacita yang besar atas kebebasannya di dalam
kesedihan akan keterbatasan kodratnya. Dengan ungkapan ini, menurut saya
Ricoeur mau menunjukkan bahwa esensi manusia selalu membatasi eksistensinya.
Manusia tidak bisa berada melampaui esensinya. Karena manusia pada dasarnya
rapuh, sulit dibayangkan bahwa ideal Kant tentang kehendak normatif yang murni
tanpa syarat itu direalisasikan secara penuh. Di sini manusia akan selalu
berhadapan dengan persoalan bagaimana pikiran itu diaktualisasikan dalam
tindakan nyata. Dalam konteks etika, persoalannya ialah bagaimana kehendak baik
itu diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Untuk tidak
tenggelam dalam dualisme di atas, Ricoeur membuat rangkuman atas situasi
dialektis yang secara tersirat tampak dalam diskursus tentang tindakan
rasional. Pertama, kehendak adalah
sebuah transisi dari desire menuju
rasionalitas. Itu berarti keputusan membutuhkan
konsepsi realitas di mana hasrat disublimasikan dalam membuat keputusan. Kedua, kaum Skolastik dan Descartes
meyakini bahwa keputusan atau penilaian merupakan interaksi antara dua
fakultas: pemahaman dan kehendak. Ada relasi resiprosikal dan kausalitas antara
keduanya. Pemahaman menggerakan kehendak dan kehendak menggerakan pemahaman. Ketiga, transisi dari kehendak subjektif
yang menjadi objek fenomenologi menuju kehendak objektif yang menjadi objek
dari determinasi etika politik Aristoteles dan Kant. Situasi dialektis yang
ketiga ini terdapat dalam apa yang oleh Hegel sebut sebagai filsafat tentang roh
objektif. Pandangan Hegel ini memuat konsepsi tentang kehendak, terutama pada
level diskursus tentang tindakan yang bermakna. Hal yang pertama yang terungkap
dalam pandangan Hegel tentang roh objektif adalah hubungan kontrak yang
mengikat satu kehendak dengan yang lain dalam suatu hubungan resiprosikal.
Selain itu, kebebasan diaktualisasikan tidak dalam setiap pekerjaan dan
tindakan yang merepresentasikan roh objektif di dunia. Keempat, filsafat kehendak dipahami sebagai diskursus tentang
tindakan rasional yang memuncak dalam teori komunikasi konkret di mana kehendak
mampu mengenal dirinya.
Diskursus tentang
tindakan pada akhirnya harus sampai pada kesadaran bahwa manusia memiliki
kewajiban-kewajiban konkret, kebijaksanaan dan kebajikan konkret yang disadari
hanya ketika mereka bisa mengenal diri mereka dalam situasi komunikasi di mana
mereka mengenal eksistensi mereka sendiri. Kesadaran ini mengantar manusia
untuk bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
Diskursus Hermeneutik
Ricoeur memperlihatkan
bahwa diskursus tentang tindakan rasional di atas tidak menyelesaikan tugas
untuk menjelaskan filsafat kehendak. Diskursus kedua ini menunjuk pada arah
jenis penyelidikan baru yang membutuhkan jenis diskursus filosofis baru. Diskursus
filosofis baru itu adalah diskursus hermeneutik.
Menurut Ricoeur,
diskurus yang ketiga ini dapat disebut sebagai “broken discourse”. Diskursus ini dipenuhi dengan ambiguitas. Ia
lebih memiliki daya tarik dengan variasi-variasi dalam interpretasinya dari
pada dengan koherensi pengetahuan yang absolut. Meskipun demikian,
pertanyaannya ialah apakah interpretasi tidak menerima status filsafat sebagai bentuk khusus dari diskursus
filosofis? Pertanyaan lain lagi ialah
mengapa diskursus ini disebut sebagai “broken
discourse”?
Jawaban atas
pertanyaan kedua di atas yang harus diberikan ialah bahwa apersepsi dari apa
yang kita sebut sebagai modus-modus dari ada (modes of being) terikat pada sejarah, yang tampaknya terikat pada
manifestasinya. Sejarah sesungguhnya adalah jalan dari modus-modus dari ada (modes of being). Dengan kata lain,
sejarah merupakan manifestasi dari ada. Beberapa lapisan wacana sebelumnya
mudah diuraikan. Dalam pembahasan tentang Aristoteles pada bagian sebelumnya kita
sudah berbicara tentang diskursus voluntary
and involuntary yang merupakan inti fenomenologi Aristoteles dalam Nichomachean Etics (buku III). Diskursus
ini dimasukan ke dalam diskursus yang lebih besar yang Aristoteles rancang
sebagai ilmu pengetahuan arsitektonis politik. Akhirnya, diskursus ini kembali
mengacu pada diskursus tentang ada.
Menurut saya ada
kurang lebih dua kata kunci untuk mamahami diskursus hermeneutik dari Ricoeur. Kedua
kata kunci itu adalah modes of being
dan subjektivity. Kedua kata ini akan
selalu kita jumpai dalam setiap pembahasan mengenai wacana hermeneutik bukan
hanya pada Ricoeur, melainkan juga pada setiap diskursus hermenutik dari siapa
pun. Mengepa demikian? Menurut saya, dalam setiap diskursus hermeneutik,
diskusi kita akan selalu berkisar seputar bagaimana modus-modus dari ada itu
diinterpretasi secara subjektif. Itu berarti setiap interpretasi atas sesuatu
selalu melibatkan unsur subjektif dari subjek yang menginterpretasinya. Analisis
Ricoeur barangkali jauh melampaui analisis sederhana saya ini. Dalam pandangan
Ricoeur subjektivitas bukan hanya fitur dalam bidang fenomenologis atau bahkan
komponen dari teori tindakan bermakna. Sebaliknya, subjektivitas dapat masuk ke
dalam pertanyaan sebagai sebuah dimensi dari kedua jenis diskursus sebelumnya.
Kemunculan kehendak sebagai masalah filosofis pun mengungkapkan subjektivitas
progresif sebagai modus utama keberadaan. Jadi Ricoeur melihat subjektivitas
pertama-tama sebagai modus utama keberadaan.
Kita berlangkah
lebih jauh. Dalam diskursus hermeneutik ini, Ricoeur ingin menegaskan tiga
ambang antara Aristoteles dan Hegel. Pertama,
kehendak harus dipahami sebagai tak terbatas untuk menjadi subjektif. Ketidakterbatasan
ini tidak diketahui oleh Aristoteles. Baginya, kekuatan untuk memilih hanya
efektif dalam bidang pertimbangan terbatas yang ditetapkan di tengah-tengah
situasi yang terbatas. Sebuah revolusi harus terjadi dalam hubungan antara yang
tak terbatas dan terbatas. Pembalikan pertama ini, seperti yang ditulis Hegel dalam
Principles of the Philosophy of Rights,
adalah titik balik dari dunia Yunani ke dunia Kristen. Pergantian ini dapat ditemukan
dalam pandangan Santu Agustinus. Voluntas
mengungkapkan dirinya dalam pengalaman kejahatan dan dosa sebagai kekuatan
untuk meniadakan keberadaan. Kekuatan yang mengerikan ini adalah kekuatan
kehendak yang tak terbatas.
Kedua, munculnya kehendak sebagai subjektivitas dipresentasikan
oleh cogito Cartesian. Cogito Cartesian dipahami sebagai
kebebaan eksitensial. Ricoeur kemudian mengubah cogito Cartesian ini dengan i
will (saya berkehendak).
Ketiga, antinomi antara freedom
dan nature. Antinomi ini tidak
dapat dipahami selama nature itu
sendiri belum disatukan dalam hal keabsahan tunggal. Sekarang, kebebasan
diasingkan dari alam; tidak ada persatuan yang sistematis yang tetap yang mampu
merangkul, dalam kosmologi tunggal, gagasan efek alami dan tindakan bebas yang
dapat dipertanggungjawabkan pada subjek etis. Antinomi ini adalah titik krisis
dari ketiga diskursus kehendak yang ada.
Pertanyaannya di
sini ialah apakah antinomi Kant tidak bisa diatasi di dalam filsafat Hegel?
Jawabannya menurut Ricoeur bisa ya dan bisa juga tidak. Di satu sisi, alasan
Hegel telah mengatasi pemahaman Kantian - dalam arti bahwa dialektika tindakan
rasional itu sendiri merupakan dasar untuk mengatasinya. Terlebih lagi, filsafat
Hegel dapat dibaca sebagai upaya untuk mengatasi tidak hanya antinomi filsafat Kantian,
tetapi juga antinomi filsafat Barat secara keseluruhan. Dari sudut pandang
Hegelian, seluruh sejarah filsafat adalah pertempuran antara filsafat
substansi, yang diilustrasikan oleh Aristoteles dan Spinoza, dan filsafat
subjek, yang diilustrasikan oleh Descartes dan Kant. Filsafat kehendak dan
semua dialektika yang timbul antara keinginan dan rasionalitas, representasi
dan kemauan, subjektivitas dan objektivitas, menyiratkan rekonsiliasi antara
substansi dan subjek. Rekonsiliasi inilah yang kemudian menjadi kunci dari
filsafat Roh dari Hegel.
Kesulitan
fundamental dalam filsafat kehendak Hegel menurut Ricoeur adalah berkatian
dengan hubungan antara kehendak dan kebenaran. Perhatian utama Hegel pada
berbagai tahap dialektika adalah untuk menunjukkan kebenaran setiap momen. Setiap
saat memiliki kebenarannya dan pada saat yang lain kontradiksinya dimediasi dan
dihidupkan kembali. Akhirnya, seluruh proses dapat dianut dalam tatapan
retrospektif: seluruh gerakan itu memiliki kemungkinan yang mungkin dalam
superioritas sang filsuf, dalam kemajuannya berkaitan dengan seluruh
perkembangan, dalam kata-katanya yang ditempatkan dalam posisi absolut pada
akhir setiap proses.
Pertanyaan
fundamental yang diajukan dalam filsafat post-Hegelian ialah jika kebenaran itu
sendiri merupakan aspek kehendak sebagai kehendak akan kebenaran, apakah tidak
ada pertanyaan yang harus menghubungkan pencarian kebenaran dengan kualitas
kehendak? Pertanyaan ini membuka diskursus baru tentang filsafat kehendak. Salah
satu upaya untuk membuka diskurusus baru tentang filsafat kehendak itu
dilakukan oleh Nietzche yang tertuang dalam karyanya “The Will to Power” (Kehendak untuk berkuasa). Ulasan Nietzche dalam
karya ini dinilai ambigu dan pada akhirnya menghasilkan konsep tentang
nihilisme. Selain itu, ulasan Nietzche tentang relasi antara kehendak dan
kebenaran memancing pertanyaan apa sebenarnya kriteria sebuah interpretasi yang
benar menurut Nietzche.
Ricoeur menutup
kajiannya tentang problem kehendak dengan sebuah harapan bahwa ulasannya
kiranya dapat menunjukkan hubungan yang lebih jelas antara tiga jenis diskursus
di mana filsafat mampu berbicara tentang kehendak: diskursus fenomenologis,
yang secara sederhana menggambarkan kehendak sebagai proyek dan pilihan; diskursus
dialektik, yang mengartikulasikan secara logis tingkat tindakan rasional; dan
wacana dalam bentuk interpretasi, yang di balik perubahan yang telah terjadi
pada dua bidang sebelumnya mengakui sejarah mendalam dari modus keberadaan yang
tersembunyi dan kemudian terungkap - ditunjukkan dan disembunyikan.
Filsafat Kehendak dan Relevansi Konkretnya
Apa relevansi
pandangan Ricoeur di atas dalam kehidupan harian kita? Tulisan ini sebenarnya
tidak bermaksud mengulas relevansi dari pandangan Ricoeur tentang wacana
kehendak, karena fokus saya di sini ialah berusaha memahami teks atau konsep
Ricoeur tentang kehendak yang tertuang dalam artikelnya The Problem of the Will and Philosophical Discourse. Akan tetapi,
baik juga kalau saya menutup tulisan ini dengan menyentil sedikit relevansi
tulisan Ricoeur ini dalam kehidupan harian kita. Di sini saya tidak akan
membuat suatu analisis yang tajam dan komprehensif.
Menurut saya,
pandangan Ricoeur tentang kehendak yang ditarikanya dari pandangan para filsuf
sejak Aristoteles hingga filsuf post-Huserlian sangat bermanfaat dalam bidang
dialog antaragama, diskursus tentang etika politik, dan bidang-bidang lainnya.
Dalam bidang dialog
antaragama misalnya, pandangan Ricoeur tentang kehendak menempati posisi
sentral. Kita mengandaikan bahwa proyek kita di sini ialah mencapai kehidupan
bersama yang harmonis. Agama-agama tidak lagi dilihat sebagai biang perpecahan
dan permusuhan, tetapi justru menjadi sesuatu yang memperkaya kehidupan
bersama. Dengan menempatkan hal ini sebagai proyek, intensi kehendak harus
terarah ke sana. Semua orang beragama mesti memiliki kehendak bersama untuk
menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan aman. Lalu, bagaimana proyek
itu bisa direalisasikan?
Agar kehidupan
bersama yang harmonis itu bisa terwujud, kita mesti memilih alternatif tindakan
yang dengannya kehendak bersama itu direalisasikan. Di sini saya menawarkan
dialog antaragama. Dialog yang dilakukan mesti terarah kepada proyek utama,
yakni tercapainya kehidupan bersama yang harmonis. Melalui dialog, setiap
pemeluk agama tidak lagi memandang perbedaan sebagai daya yang menghancurkan
dan mengancam keberadaannya. Melalui dialog jalan menuju pengakuan terbuka.
Selanjutnya, dialog
macam mana yang mesti dilakukan? Dalam hal ini kita mesti memutuskan
alternatif-alternatif yang menjadi konten tindakan kita. Tindakan yang dipilih
haruslah rasional. Katakanlah di sini, dialog yang dilakukan itu bukan saja
berkisar pada tataran teologis, melainkan juga mencakup dialog kehidupan atau
komunikasi konkret. Dialog kehidupan itu misalnya, bersilaturahmi dan memberi
ucapan selamat kepada sesama dari agama lain yang merayakan hari raya agamanya,
kerja bakti bersama, dll.
Pemilihan
tindakan-tindakan rasional semacam ini mesti sampai pada kesadaran bahwa
masing-masing kita bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keharmonisan
dalam hidup beragama. Kita menjadi agen dari tindakan kita masing-masing. Oleh
karena itu, kita juga harus bertanggung jawab atas setiap tindakan kita.
Pertanyaan
berikutnya ialah, bagaimana kehendak itu digerakan sehingga ia bisa terarah
kepada pilihan tindakan rasional itu? Mengikuti alur pemahaman Ricoeur, kita
mesti sanggup mengatasi hasrat dalam diri kita untuk sampai pada rasionalitas.
Sebab kehendak berada pada wilayah transisi antara desire dan rasionalitas. Pemahaman yang baik tentang pilihan kita
mendorong kita untuk siap bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri.
Pemahaman dan kehendak saling mengandaikan. “Pemahaman menggerakan kehendak dan
kehendak menggerakan pemahaman.”
Selanjutnya,
setelah kita masuk pada ruang dialog, hal yang mesti kita perhatikan adalah
menerima kehadiran yang lain dengan segala perbedaannya sebagai kenyataan yang
tak terbantahkan. Perjumpaan menjadi suatu medan makna yang di dalamnya kita
menimba banyak inspirasi tentang penghormatan atas perbedaan. Itu berarti kita
menerima identitas dan cara berada dari yang lain sebagai yang khas. Kesadaran
ini mesti sampai pada pengakuan akan keberadaan mereka sebagai yang lain, yang
unik, dan yang khas, serta yang berbeda dari kita. Kesadaran ini mendorong kita
untuk selalu menjaga keharmonisan dalam hidup bersama dengan yang lain. Namun,
untuk sampai pada kesadaran ini, kita mesti menggerakan seluruh kehendak kita
pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai proyek bersama kita, yakni
menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan damai.
Daftar Pustaka
Referensi
Utama:
Ricoeur, Paul. Philosophical Anthropology – Writings and Lecturer. Vol. 3. Malden
USA: Polity Press, 2016.
Referensi
Tambahan:
Jehalut, Ferdi. “Masalah Hidup, Bunuh Diri, dan
Rasionalitas Manusia”, Vox 63:01. Maumere:
Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, 2017.
Kant, Immnuel. Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
[1] Seluruh inti
pembahasan ini diambil dari artikel Paul Ricoeur, “The Problem of the Will and Philosophical Discourse”, dalam Paul
Ricoeur, Philosophical Anthropology –
Writings and Lecturer, vol. 3 (Malden USA: Polity Press, 2016), pp. 72-86.
Saya menyadari bahwa sebagai orang yang baru bergelut dengan filsafat Ricoeur
dan belum membaca banyak karya Ricoeur, ulasan ini pasti memiliki banyak
keterbatasan dan mungkin juga kekeliruan. Meskipun demikian, dengan kemampuan
sebagai seorang pemula, saya berusaha sedemikian rupa agar keterbatasan dan
kekeliruan itu dapat seminimal mungkin ada dalam tulisan ini.
[2] Ferdi
Jehalut, “Masalah Hidup, Bunuh Diri, dan Rasionalitas Manusia”, Vox 63:01 (Maumere: Seminari Tinggi
Santu Paulus Ledalero, 2017), pp. 28-29.
[3] Lih. Immnuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj.
Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Antropologi Filsafat Paul Ricoeur: Masalah Kehendak dan Diskursus Filosofis
Reviewed by insancerdaspolitik
on
July 01, 2020
Rating:
No comments: