Ferdinandus Jehalut

Prof. Chantal Mouffe
Paradoks Demokrasi Liberal
Menurut Chantal Mouffe: Telaah Analitis dan Kritik. Skripsi. Program
Sarjana Filsafat, Program Studi Ilmu
Teologi – Filsafat Agama Katolitik, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. 2020.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk menjelaskan apa itu
demokrasi, liberalisme, dan demokrasi liberal. Kedua, untuk menganalisis
dan menjelaskan paradoks demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe. Ketiga, untuk menguraikan sejumlah
tanggapan dan kritik terhadap pandangan Chantal Mouffe tentang paradoks demokrasi
liberal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah
metode analisis data sekunder. Penulis berusaha mencari, membaca, dan
menganalisis buku-buku, jurnal, berita, dan tulisan-tulisan lainnya yang
berhubungan dengan tema ini, baik yang ditulis oleh Chantal Mouffe sendiri
maupun oleh para penulis lain sejauh berhubungan dengan tema yang digarap.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa demokrasi
liberal yang merupakan artikulasi dari tradisi demokrasi dan liberalisme
memiliki sejumlah paradoks yang tak teratasi. Dari tradisi demokrasi terdapat
prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kedaulatan rakyat, dan identitas antara
yang memerintah dan diperintah. Dari tradisi liberalisme terdapat
prinsip-prinsip seperti peraturan hukum, jaminan terhadap hak asasi manusia,
dan kebebasan individual. Dari sejumlah prinsip itu, paradoks yang paling
mendasar terdapat pada prinsip kebebasan yang merupakan warisan liberalisme dan
kesetaraan yang merupakan warisan demokrasi. Paradoks antara kedua prinsip ini
tidak bisa diatasi dan menjadi roh pendorong perkembangan politik historis.
Selain paradoks di atas, paradoks lain dari
demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe ialah berkaitan dengan logika inklusi
(pelibatan) dan eksklusi (pengecualian). Demokrasi selalu menarik garis batas
antara orang yang termasuk demos dan
orang yang tidak termasuk demos.
Antara demos dan yang bukan demos
tidak bisa dituntut dan diberlakukan kewajiban dan hak-hak yang sama. Yang
boleh menuntut hak dan kewajiban yang sama hanyalah orang yang masuk dalam
kategori demos yang dibatasi oleh
konsep negara-bangsa. Persolan justru muncul ketika prinsip ini dihubungkan
dengan prinsip kesetaraan liberal yang bersifat universal dan tidak dibatasi
oleh konsep negara-bangsa. Kesetaraan liberal adalah kesetaraan semua umat
manusia. Dasarnya terletak pada ide utama liberalisme, yakni kemanusiaan
universal. Sedangkan ide utama demokrasi adalah warga negara (demos).
Dari dua paradoks konstitutif di atas, muncul
paradoks berikutnya, yakni paradoks praksis historis politik. Paradoks praksis
historis politik berkaitan dengan konsekuensi logis kerangka konstitutif
demokrasi liberal dan pengejawantahan nyatanya sebagai praksis politik.
Paradoks ini tampak dalam semakin menguatnya hegemoni neoliberalisme dan
kapitalisme global. Dalam analisis penulis, di Indonesia, hal itu tampak dalam
semakin menguatnya oligarki dalam percaturan politik nasional dan lokal. Mouffe
juga menemukan persoalan yang sama di Amerika Latin dan Eropa Barat.
Dalam analisis Mouffe, semakin menguatnya oligarki
dan kapitalisme global terjadi karena orang tidak tidak lagi berpikir untuk
menemukan kemungkinan alternatif terhadap tatanan hegemonik yang ada. Yang
menyuburkan cara berpikir ini bagi Mouffe ialah para pengusung the third way (Ulrich Beck dan Anthony
Giddens) dan demokrasi konsensus (Rawls dan Habermas). Bagi mereka demokrasi
adalah mesin produksi konsensus. Siapa pun yang menolak konsensus dalam
demokrasi dicap sebagai kuno dan musuh peradaban. Akibatnya, politik kehilangan
dimensi agonistik dan konfliktualnya. Dimensi adversarial politik pun jadi
lenyap seiring dengan lenyapnya batas-batas imajiner politik (kiri dan kanan).
Perdebatan agonistik antara kawan dan lawan telah raib. Politik direduksi
menjadi persoalan tekhnis semata; sesuatu yang menjadi domain para ahli.
Sebagai alternatif terhadap tatanan hegemonik yang
ada, Mouffe menganjurkan model demokrasi agonistik. Model ini memberikan
penekanan pada prinsip radikalitas diskursus. Model ini dibedakan dari
demokrasi radikal. Demokrasi radikal ialah proyek politis. Sedangkan demokrasi
agonistik adalah teori analitik. Salah satu proyek yang dibela dalam teori
demokrasi agonistik adalah proyek demokrasi radikal yang memberikan penekanan
pada radikalisasi implemetasi prinsip kebebasan dan kesetaraan. Namun, Mouffe
mengambil pendirian ini bukan sebagai ahli teori, tetapi sebagai warga negara
yang terlibat (proyek politis). Namun, ketika dia berbicara tentang demokrasi
agonistik, dia berbicara sebagai ahli teori politik (teori analitik).
Pandangan Mouffe tentang demokrasi agonistik telah
menimbulkan banyak perdebatan serius di kalangan para pemikir politik di
berbagai belahan dunia beberapa dekade terakhir. Kendatipun memiliki cukup
banyak pendukung, Mouffe juga tidak luput dari kritik. Dalam analisis penulis,
terdapat sejumlah kelemahan mendasar dalam teori Mouffe. Mouffe misalnya
mengklaim pembebasan politik dari register moralitas, tetapi dalam konstruksi
teoretisnya, Mouffe secara implisit mengajukan klaim-klaim moral dalam politik.
Selain itu, Mouffe yang menolak demokrasi konsensus dan menggantikannya dengan
demokrasi disensus justru mendasarkan teori disensusnya pada konsensus tentang
nilai-nilai dasar etis politik: kebebasan dan kesetaraan untuk semua.
Dari sisi yang lain, Tamara Caraus mengeksplorasi
potensi kosmopolitan dalam pandangan Mouffe berdasarkan empat aspek
agonismenya, yakni: faktum pluralisasi, konversi dari “musuh” menjadi “lawan”,
konsensus konfliktual, dan praktik kontestasi. Dalam sejumlah aspek agonisme
ini, tampaknya teori Mouffe meruntuhkan klaim awalnya yang anti-kosmopolitan.
Kendatipun dikritik dari berbagai sisi oleh para
penentangnya, menurut penulis, teori Mouffe tetap relevan bagi diskursus
demokrasi kontemporer yang ditandai dengan pengarusutamaan model demokrasi
konsensus. Konsep demokrasi agonistik hadir sebagai penyeimbang yang bertugas
menangkal ekses buruk dari hegemoni demokrasi konsensus bagi perkembangan
politik nasional dan global. Oleh karena itu, penulis melihat perlunya
mengembangkan lebih lanjut penelitian-penelitian tentang pemikiran Chantal
Mouffe ini. Jika dalam tulisan ini penelitian lebih bersifat analisa teoretis
murni, peneliti-peneliti lain diharapkan dapat mengekplorasi lebih dalam lagi
relevansi pemikiran Chantal Mouffe bagi perkembangan politik global dan nasional
saat ini.
Kata-kata
kunci: Demokrasi, Liberalisme, Demokrasi
Liberal, Paradoks Demokrasi Liberal, Demokrasi Agonistik
Paradoks Demokrasi Liberal Menurut Chantal Mouffe: Telaah Analitis dan Kritik
Reviewed by insancerdaspolitik
on
July 01, 2020
Rating:
No comments: