Ferdi Jehalut, Flores
Pos 27 September 2016

Kredit foto: Infogunungkidul
Pesta demokrasi lokal untuk beberapa kabutapen/kota
di NTT semakin dekat. Sejauh ini, sekurang-kurangnya sudah ada bakal calon yang
secara terbuka mendeklarasikan diri di
hadapan publik sebagai petarung dalam pilkada nanti. Lantas kita bertanya,
alat apa yang dipakai oleh
para calon untuk menggaet simpati rakyat dalam rangka meningkatkan keterpilihan (elektabilitas)?
Bukan hal baru dalam politik jika ada calon yang menggunakan
pendekatan kebudayaan, suku, kedaerahan dan kekeluargaan untuk menggaet
simpati rakyat. Para calon biasanya memanfaatkan ikatan-ikatan ini untuk
menarik simpati rakyat dan meningkatkan elektabilitas. Padahal, sesungguhnya itu
hanyalah alat bagi mereka untuk mengejar
kepentingan pribadi. Pada kenyataannya setelah terpilih mereka lebih banyak
sibuk mencari keuntungan pribadi dari
status, jabatan dan kekuasaan yang mereka emban.
Rupanya para politisi dan politikus kita tahu baik bahwa mayoritas pemilih di NTT
bertipe pemilih tradisional. Dalam
setiap momen pilkada misalnya, mayoritas masyarakat NTT memilih pemimpin
berdasarkan ikatan kekeluargaan, primordialisme, dan ikatan kedaerahan, bukan berdasarkan
penilaian kritis-etis atas kompetensi dan integritas seseorang. Hal ini sungguh dimanfaatkan secara baik oleh para calon
dalam setiap momen plkada. Mereka memanfaatkan kondisi ini untuk memperlebar
jaringan politik dan meningkatkan keterpilihan oleh masyarakat.
Waspadai Politik Primordial
Di dalam sosiologi ada sebuah teori yang sangat
terkenal, yakni teori fungsionalisme struktural. Teori ini memandang masyarakat
sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan
satu sama lain di mana bagian yang satu tidak berfungsi tanpa ada hubungan
dengan bagian yang lain. Para pendukung teori ini secara ekstrem berpendapat
bahwa segala sesuatu yang ada di dalam masyarakat pasti ada fungsinya atau
manfaatnya termasuk fenomena sosial yang biasanya dianggap tidak fungsional
sekalipun (Bernard Raho, 2014: 38-39).
Dalam konteks ini kita mengenal salah satu elemen dari
masyarakat yaitu kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu fenomena ambivalen. Di satu sisi setiap kebudayaan
menyiapkan suatu kerangka orientasi yang merupakan hasil proses sejarah yang
lama yang memberikan makna pada kehidupan serta mengarahkan tingkahlaku dan
tindakan seseorang yang hidup di dalamnya. Di sisi lain setiap kebudayaan
memiliki elemen-elemen negatif yang merugikan peradaban (Daven, 2016: 4).
Dalam hubunganya dengan pilkada di NTT, kedua teori di
atas dapat ditafsir sebagai berikut: pertama,
orang NTT pada dasarnya sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, ikatan
kedaerahan, dan primordialisme. Nilai-nilai ini bisa merupakan suatu fenomena ambivalen. Di satu sisi nilai
kekeluargaan, ikatan kedaerahan dan primordialisme bisa mendorong stabilitas
politik dan meningkatkan partisipasi politik rakyat karena adanya sentimen
kedaerahan, kekeluargaan dan primordialisme. Tetapi di sisi lain, nilai-nilai
ini bisa membuka ruang bagi praktik politik yang kurang objektif, dan bisa juga
menimbulkan konflik ketika masing-masing orang bersikap fanatik-ekstrem
terhadap pilihan politiknya.
Kedua, dari perspektif fungsional struktural, di satu sisi nilai-nilai
kekeluargaan, ikatan kedaerahan dan primordialisme bisa menjadi alat untuk
mengembangkan akseptabilitas
(keterterimaan) dan popularitas dari seorang calon pemimpin. Akseptabilitas dan popularitas ini kemudian menjadi
faktor penentu tingkat keterpilihan seseorang di tengah masyarakat. Di sisi
lain, nilai-nilai ini bisa menyuburkan praktik
otoritarianisme, korupsi dan nepotisme di kemudian hari. Praktik ini sering kali
terjadi ketika seorang sudah terpilih menjadi pemimpin. Pada titik inilah
nilai-nilai itu fungsional bagi pemimpin
atau
calon pemimpin dan golongan tertentu
dan tidak fungsional
bagi masyarakat pada umumnya. Sebab praktik semacam
ini pada prinsipnya menimbulkan ketidakadilan sosial.
Selain itu, praktik politik primordial semacam ini
cenderung mereduksi peran rakyat hanya
sebagai voters (para
pemberi suara) dalam istilah F. Budi Hardiman ‘dalam moncong
oligarki-skandal demokrasi di Indonesia’ (2013:9).
Demos (rakyat)
tidak dilihat sebagai
substansi atau subjek dan tujuan aktivitas politik, melainkan suatu relasi yang dalam politik
kontemporer secara sangat kasar dirangkum dalam kata voter. Dalam hal ini seorang calon (melalui pendekatan budaya,
suku, dan ikatan kedaerahan) memperalat rakyat hanya untuk mengantarnya di atas
kursi kekuasaan. Setelah merengkuh jabatan publik rakyat lalu dilupakan. Inilah
yang oleh F. Budi Hardiman sebut sebagai skandal demokrasi di
Indonesia, di mana demokrasi melenceng jauh dari hakikatnya.
Hakikat demokrasi sebagai kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat beralih menjadi dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk penguasa. Pada tataran
ini demos dikendalikan oleh kelompok
atau kalangan tertentu atau apa yang sejak Aristoteles disebut ‘oligarki’.
Kita Mau ke Mana?
Pada dasarnya kita tidak bisa menghilangkan
nilai-nilai kebudayaan yang sudah berakar yang ada dalam masyarakat termasuk
nilai kekeluargaan, ikatan kedaerahan, dan primordial. Nilai-nilai itu biasanya
turut membentuk cara pandang, pola pikir dan tingkahlaku masyarakat. Tetapi
apakah dengan itu kita tidak bisa membuat suatu terobosan baru menuju
terciptanya masyarakat yang lebih maju dalam hal cara pandang, pola pikir dan
tingakahlaku?
Dalam konteks pilkada di NTT sudah saatnya motivasi
pilihan politik masyarakat berubah. Jika selama ini motivasi pilihan politik
rakyat lebih dipengaruhi oleh ikatan kekeluargaan, kedaerahan dan primordial,
maka saatnya kita mesti beralih menjadi pemilih rasional yang mengedepankan
pertimbangan kritis-etis atas visi - misi, kompetensi dan integritas seorang
calon. Rakyat mesti secara jelih melihat kualitas intelektual,
emosional, spiritiual dan moral
seorang calon. Selain itu, rakyat juga mestinya tidak cepat terubuai oleh
janji-janji manis yang dilontarkan oleh seorang calon pada saat kampanye. Sebab
sering kali janji-janji itu hanyalah tameng untuk mencapai tujuan pribadi. Untuk sampai pada
taraf ini, sosialisasi politik yang
dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat
harus ditingkatkan. Jika tidak, maka idealisme seperti ini hanya menjadi
impian belaka.
Kita semua tentunya menginginkan
agar melalui pilkada terpilih para
pemimpin yang sungguh memperjuangkan kepentingan umum dan tidak terikat kepada
kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Keinginan ini hanya bisa tercapai
jika rakyat NTT benar-benar menjadi para pemilih yang rasional, yang dalam
memilih lebih mempertimbangkan kualitas seorang calon dari pada terikat dengan kepentingan suku,
keluarga dan daerah. Ingat bahwa
keputusan ada di tangan rakyat. Kehendak untuk berubah juga ada di tangan
rakyat. Karena itu, mari! Jadilah
pemilih cerdas dan rasional menuju terciptanya masyarakat sejahtera! Tinggalkan
gaya politik primordial menuju terciptanya tatanan politik yang adil. Salam perubahan....
Bahaya Politik Primordial
Reviewed by insancerdaspolitik
on
July 01, 2020
Rating:
No comments: