Recent Posts

banner image
banner image

Politik Uang: Ancaman Bagi Demokrasi

Ferdi Jehalut, Flores Pos 25 Januari 2017

Politik Uang Ganggu Kualitas Demokrasi
Foto ilustrasi: Media Indonesia

Pilkada serentak tahap kedua sebentar lagi akan dilaksanakan. Aroma pesta demokrasi lokal ini sudah tercium di mana-mana. Sampai saat ini, barangkali cukup banyak rakyat yang sudah menentukan pilihan politiknya. Mungkin tak sedikit pula rakyat yang masih berada dalam garis hitam-putih, yakni mereka yang belum menentukan pilihan politiknya.

Momen menjelang hari puncak pemilu biasanya merupakan saat genting. Pada momen ini biasanya muncul banyak “hantu demokrasi bermata duit”. Mereka bergentayangan di mana-mana. Mereka menarik simpati rakyat bukan dengan cara-cara yang profesional melainkan dengan cara-cara yang pragmatis. Namun, “hantu” tetaplah “hantu”. Ia tidak pernah menjadi pribadi manusia yang utuh. Sebagai “hantu” tentu ia selalu hadir dalam rupa bayang-bayang yang kadang sukar dilacak. Kehadirannya seringkali menyisahkan noda yang menciptakan skandal bagi demokrasi kita.

Hantu demokrasi jelas selalu hadir dalam wajah destruktif. Penampilannya memang kadang memikat hati. Namun, ternyata hal itu hanyalah tipuan belaka. Di balik penampilan yang menipu itu sesungguhnya terpampang rencana-rencana busuk. Mereka memakai topeng untuk menutupi tabiat aslinya. Mereka mengira uang bisa mengkerdilkan nurani rakyat untuk melihat tabiat asli mereka. Inilah cermin retak demokrasi kita. Suatu demokrasi yang selalu diwarnai oleh praktik politik uang. Praktik politik semacam ini jelas adalah suatu bentuk praktik politik yang infantil.

Politik uang atau money politics adalah praktik penyembahanberhala dalam politik. Dengan kata lain money politics adalah suatu gaya politik idolatria. Dalam praktik semacam ini, manusia serentak menjadi hamba uang. Eksistensi manusia direduksi sebagai para pemuja uang. Uang menjadi sesuatu yang mutlak menentukan kiblat demokrasi. Hati nurani ditukar dengan nilai tunai. Hati nurani menjadi luluh dan kehilangan daya gigitnya. Pilihan politik akhirnya menjadi tidak murni didasarkan pada suara hati rakyat, tetapi sangat ditentukan oleh seberapa banyak uang yang beredar. Uniknya, Para pelaku money politics selalu menyusup masuk ke tempat-tempat di mana rakyatnya mengalami banyak kekurangan. Mereka tampil seolah sebagai dewa penyelamat yang berkorban demi kepentingan rakyat. Mereka masuk pada situasi yang sangat tepat di mana rakyat membutuhkan uang. Pada saat yang sama janji-janji politik mulai dipaparkan. Padahal itu hanyalah janji-janji semu untuk meninabobohkan rakyat. Setelah terpilih janji-janji itu hanya tinggal kenangan.

Jika rakyat benar-benar sadar, mereka ini sesungguhnya perusak demokrasi kita. Setelah terpilih niscaya mereka menjadi predator dan monster yang memangsa uang rakyat. Konsekuensinya, rakyat akan terus terbekap dalam kerangkeng kemiskinan; sementara mereka sendiri (penguasa) terus berjuang untuk memenuhi pundi-pundi pribadi dengan uang rakyat. Ironis memang. Tapi apa mau dikata, itulah wajah politik kita yang selama ini dipertontonkan secara terang-terangan di hadapan publik (rakyat). Maka saatnya rakyat menentukan pilihan politik dengan bijaksana. Pilihan politik rakyat pada pesta demokrasi pada 15 Februari nanti sangat menentukan keberadaan daerah kita ke depannya. Masa depan daerah kita selama lima tahun mendatang ditentukan oleh seberapa mampu rakyat memimilih pemimpin yang bijaksana, jujur, adil, berintegritas dan tentunya bebas dari praktik politik uang.

Bahaya Politik Uang

Praktik money politics adalah suatu yang sangat riskan bagi keberlangsungan demokrasi. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh Plato pada dua puluhan abad silam. Dalam pembahasannya tentang kemerosotan negara ideal, Plato mengatakan ‘negara ideal adalah kallipolis, bisa tercipta tetapi tak mungkin akan bertahan selama-lamanya. Sebuah negara ideal bisa mengalami kemunduran ketika ia pelan-pelan berubah menjadi timokrasi (negara yang dipimpin oleh tentara) dan kemunduran berlangsung terus dari timokrasi ke oligarki (negara yang dipimpin oleh orang-orang kaya), dari oligarki ke demokrasi, dan dari demokrasi ke tirani. Menurut Plato, negara demokrasi terdiri dari tiga kelompok: pertama, sekelompok orang kaya yang bertujuan mencari keuntungan; kedua, sejumlah besar pengangguran atau pemalas; dan ketiga, kelompok terbesar, orang-orang miskin.’ (Yosef Kladu (ms), 2016: 95-96). Meskipun dalam demokrasi kebebasan diagung-agungkan dan semua orang memiliki kesempatan menjadi pemimpin, namun jabatan pemimpin tetap menjadi monopoli orang-orang bermodal. De facto, demokrasi tanpa uang tidak mungkin. Para pemilik modal menyusup masuk ke wilayah orang-orang miskin untuk membeli suara. Praktik politik uang pun merajalela dan nyaris tak terkendalikan. Inilah anomali yang dihasilkan dari demokrasi sebagai minus malum (pilihan terbaik dari yang buruk).

Sampai pada titik ini, kita lantas bertanya, apakah bahaya dari praktik politik uang? Menurut hemat saya, sekurang-kurangnya ada beberapa bahaya dari praktik money politicpertama, pemimpin yang dihasilkan melalui praktik money politics biasanya adalah pemimpin yang “minus loyalitas”. Praktik politik uang merupakan suatu tanda bahwa orang bersangkutan memiliki niat buruk dan menjadi benih bagi pertumbuhan koruptor di tanah air ini.

Kedua, pemimpin hasil praktik money politics seringkali berjiwa otoriter. Ia menjadi anti kebebasan massa; bahkan pers sebagai media kontrol sosial dan yang memengaruhi opini publik pun dibatasi. Kritik media dianggap sebagai sebuah pembangkangan yang merongrong wibawa kekuasaannya. Ia mengira bahwa uang tetap menjadi raja di atas segala-galanya seperti saat ia menjadi kandidat dalam perhelatan demokrasi. Ia tak sungkan-sungkan dan tanpa merasa malu membungkam kebenaran yang disampaikan melalui media. Anehnya lagi, pemimpin produk politik uang ini mengira bahwa media juga dapat digiring dan ditunggangi untuk melanggengkan kekuasaan yang tak becus dan minus loyalitas. Maka, ketika ada media yang dengan kritis menyuarakan kebenaran dan mengoreksi  kebijakan dan pembangunan yang tidak jelas, ia merasa terusik dan menilai media sebagai membungkam demokrasi. Padahal, tak disadari bahwa sikapnya yang semacam itulah yang jelas-jelas membungkam prinsip kedaulatan rakyat sebagai hukum tertinggi dalam negara demokrasi.

Ketiga, pemimpin hasil money politics seringkali berkonspirasi dengan para pemilik modal dan kontraktor-kontraktor yang telah berjasa mengantarnya ke atas kursi kekuasaan. Konsekuensinya, pengerjaan proyek asal-asalan saja, karena tidak dikontrol oleh pemerintah. Maka timbulah, yang oleh F. Budi Hardiman (2010) sebut, “oligarki bisnis-politis”. Dalam konteks ini hemat saya “Oligarki bisnis-politis” adalah suatu bentuk ekspansi politik menuju tataran destruktif yang pada akhirnya turut menghisap hak rakyat untuk hidup sejahtera. Pada tahap yang paling kritis formasi oligarki bisnis-politis akan menghasilkan tirani demokrasi.

Praktik politik uang tetap merupakan suatu yang berbahaya bagi demokrasi kita. Kenyataan masih minimnya para pemilih rasional turut menunjang hegemoni politik uang. Para pemilih pragmatis dan tradisional tentu sangat rentan terjebak dalam praktik semacam ini. Selain itu, kenyataan masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan juga memperbesar kemungkinan ekspansi para hantu dan monster politik bermata duit. Kenyataan masyarakat yang miskin menjadi arena yang cocok bagi mereka untuk menukar uang dengan hati nurani. Jelas ini adalah salah satu bentuk dehumanisasi manusia yang paling kritis dalam demokrasi yang diwarnai oleh praktik politik uang.  Oleh karena itu, kita sepakat untuk memberantas hantu-hantu demokrasi itu. Cara terbaik memberantas mereka adalah dengan ‘memboikot’ mereka dan bila perlu mengambil langkah hukum jika ditemukan menyusup masuk di tengah masyarakat untuk membeli suara dengan uang.














Politik Uang: Ancaman Bagi Demokrasi Politik Uang: Ancaman Bagi Demokrasi Reviewed by insancerdaspolitik on July 01, 2020 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.