Ferdi Jehalut

Kredit foto: Kompasiana.com
Arti dan Makna Beberapa Peribahasa atau “Go’et/Curup”
dalam Bahasa Manggarai
1.
Mai ga ite nai ca anggit, tuka ca leleng, kope oles
todo kongkol, bantang cama reje lele, kudut pande rewo beo agu rang kaeng natas
Kalimat di atas dapat diterjemahkan demikian,
“Marilah kita sehati, sepikir, dan bersatu padu yang dilandasi oleh ‘semangat
hidup bersmusyawarah’ (bantang cama reje
lele) untuk tercapainya suatu mufakat sehingga dapat terciptanya jati diri
daerah (kampung) yang mantap, kokoh, dan bermartabat.”
Ungkapan di atas biasanya disampaikan oleh tua adat
kepada seluruh warga kampung dalam acara-acara resmi di kampung seperti sekek atau penti atau acara-acara adat lainnya. Tujuannya ialah untuk mengajak
semua warga kampung agar bersatu hati dan pikiran dalam membangun kehidupan
kampung yang bermartabat yang dilandasi oleh semangat perdamaian dan musyawarah
demi tercapainya mufakat dan suatu kehidupan bersama yang damai, aman, dan bermartabat
(rang: harga diri, martabat, natas: halaman kampung).
Selain diucapkan oleh tua adat, go’et di atas juga dapat diucapkan oleh seorang kepala pemerintahan
(misalanya bupati) dalam kesempatan apa saja untuk mengajak seluruh
masyarakatnya agar bersatu hati dan pikiran, bekerja sama membangun daerah yang
bermartabat berdasarkan asas musyawarah atau lonto leok. Jika ungkapan di atas digunakan oleh pemimpin seperti
bupati, biasanya kata natas diganti
dengan kata tanah Manggarai, karena sifatnya lebih umum.
2.
Nio muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong
neka woleng lako
Arti harfiahnya ialah “ Seperti
pisang satu rumpun, kita tidak boleh berbeda pendapat dan seperti tebu satu
rumpun, kita tidak boleh berjalan terpisah”. Peribahasa ini dapat diucapkan oleh
siapa saja dalam suatu keluarga atau paguyuban masyarakat untuk mengajak semua
anggota keluarga atau paguyuban itu agar tetap bersatu hati dan bekerja sama
serta tidak boleh terpecah-pecah. Kesatuan itu dianalogikan seperti pisang dan
tebu yang selalu bertumbuh secara bergolong dan tidak terpisah satu sama lain.
Maksudnya ialah segala berpedaan pendapat yang ada tidak boleh menjadi halangan
untuk membangun kesatuan kelompok baik dalam tutur kata maupun dalam tindakan.
3.
Neka somor ngger olo, sumir ngger musi
Terjemahan yang cukup sepadan dari
peribahasa di atas ialah “Jangan berbicara lain di depan lain di belakang”.
Ungkapan ini merupakan pengajaran orangtua kepada anaknya agar tidak boleh
berbicara yang bukan-bukan atau gosip tentang orang lain. Berbicaralah sesuai
fakta. Jangan menjadi orang yang bermuka dua, yang kelihatan sopan, lugu, dan
baik di depan orang, tapi setelah berbalik dari orang itu justru ia
mencibirnya. Ungkapan ini biasanya selalu diperingatkan kepada anak oleh
orangtua di rumah dan tak jarang juga oleh para guru di sekolah.
4.
Neka na’as da’at agu totos jogot, poro ite lembak
nai lawang tedeng len
Neka
naas da’at agu totos jogot, poro ite lembak nai lawang tedeng len, artinya
“Jangan menyimpan dendam terhadap sesama lalu menunjukkan kejengkelan
terhadapnya”. Kita hendaknya bersikap rendah hati dan pemaaf sampai
selama-lamanya. Ungkapan ini disampaikan oleh orangtua kepada anaknya sebagai
bentuk pengajaran untuk selalu bersikap rendah hati dan pemaaf terhadap sesama
serta tidak boleh menjadi pribadi yang dendam yang selalu memperhitungkan
kesalahan sesama lalu berusaha membalas kejahatan dengan kejahatan. Selain
disampaikan oleh orangtua kepada anaknya, ungkapan semacam ini juga sering kita
dengar dalam sidang penyelesaian konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam situasi seperti itu ungkapan di atas disampaikan oleh seorang yang
dianggap sebagai penengah di antara dua pribadi atau kubuh yang terlibat
konflik. Maksudnya ialah mengajak orang-orang yang terlibat dalam konflik itu
untuk membangun rekonsiliasi.
5.
Bantang cama, reje lele, neki weki, manga ranga (bantang: mengajak, cama: bersama, sesama, Reje: mengajak, lele: ketiak, neki: bersama, weki: badan, manga: ada, ranga: muka)
Jika diterjemahkan
secara lurus ungkapan di atas berarti “Mengajak sesama, mengajak ketiak,
bersama badan, ada muka”. Terjemahan semacam itu kesannya agak lucuh dan aneh.
Terjemahan yang benarnya sangat sederhana, “Berkumpul dan berusaha secara
bersama-sama dan saling menopang”. Orang Manggarai sangat kuat dengan budaya
gotong-royong dan budaya lonto leok (duduk
bersama). Maka, ungkapan di atas dimaksudkan untuk memperkuat serta menegaskan
budaya itu dalam kehidupan bermasyarakat baik sebagai keluarga maupun sebagai
warga kampung.
Ungkapan ini bisa diungkapkan oleh siapa saja yang
dipandang sebagai yang dituakan dalam suatu keluarga atau masyarakat atau pun
orang yang sangat membutuhkan bantuan dan dukungan sesamanya dengan maksud
untuk meminta bantuan sesama atau keluarganya dalam mengatasi kekurangan yang
sedang dialaminya. Dalam hal tertentu ungkapan itu juga dimaksudkan untuk
mengajak semua keluarga atau warga kampung untuk berkumpul bersama, misalnya
dalam suatu acara adat tertentu. Mai gi
ta ite, sanggen taung ase kae daku, atat manga ranga neki weki one wie hoo,
kudut bantang cama agu reje lele kudut suksesn
pesta de anak dite hi Vony cepisa. Artinya, marilah
saudara-saudaraku yang pada malam ini berkumpul bersama di tempat ini, kita
bersatu hati untuk berbicara secara bersama demi kelancaran dan kesuksesan pesta dari anak kita Vony nanti.
6.
Lalong bakok dugu lakon, lalong rombeng dugu kolen (lalong bakok:
ayam jantan putih, dugu lakon: waktu
pergi, lalong rombeng: ayam perkasa, dugu kolen: waktu pulang)
Ucapan di atas
biasanya digunakan pada saat torok teing
hang (upacara sesajian) yang dibawakan oleh juru bicara adat sebelum
seseorang pergi sekolah atau mencari kerja ke tempat yang jauh. Jika
diterjemahkan secara harfiah, ungkapan itu berbunyi: “Ayam jantan waktu pergi,
ayam perkasa waktu pulang”. Maksud yang tersirat di balik ungkapan di atas
ialah suatu harapan untuk pribadi yang bersangkutan (yang pergi sekolah atau
cari kerja) agar suatu saat nanti, ketika ia pulang, ia menjadi orang sukses
baik dalam belajar maupun dalam usaha atau karyanya. Kesuksesan itu ditandai
dengan membawa ijazah ketika pulang ke kampung halaman atau bisa juga
menunjukkan kesuksean atau keberhasilan dalam kerja khusus untuk yang pergi
mencari pekerjaan.
Ungkapan ini dalam
khazanah budaya Manggarai memberi kekuatan tersendiri kepada seseorang supaya
tekun dalam belajar dan pekerjaan. Kesuksesan merupakan harapan semua orang
yang begitu antusias dengan perjalanan kita ke tempat sekolah atau tempat
kerja.
7.
Neka daku ngong data. Eme data, data muing, eme dite,
dite muing
Terjemahan dari ungkapan di atas ialah
“Jangan katankan itu adalah milikku, tapi ternyata itu milik orang lain. Milik
orang lain ya milik orang lain, milik kita ya milik kita.” Ungkapan di atas
biasa disampaikan oleh orangtua kepada anakannya dalam pengajaran di rumah atau
di mana saja. Tujuan dari ungkapan itu adalah untuk memperingatkan anak tentang
larangan untuk mencuri dan merampas barang dan hak milik orang lain.
8.
Eme mata betong asa manga wake’n nipu tae
Ungkapan di atas dapat ditejemahkan
demikian: “Kalau pohon bambu itu mati, ada akarnya yang akan mempertahankan
kelestariannya”. Ungkapan ini dipakai dalam banyak kesempatan bahkan orang-orang
tua biasa menyanyikannya dalam sanda
atau mbata.[1] Makna dari ungkapan itu ialah suatu
penegasan kepada baik generasi tua maupun generasi muda, bahwa setelah orangtua
meninggal dunia masih ada anak atau generasi yang akan melanjutkan keturunan
dan yang akan mewarisi kebudayaan.
9.
Pio-pio wale io, koe-koe wale oe
Artinya: “Pelan-pelan
jawab ia, dengan suara yang halus jawab oe
(ya)”. Ungkapan ini biasanya disampaikan oleh orangtua kepada anak agar
senantiasa menjaga kesopanan dalam berelasi dengan orang lain. Kita hendaknya
bersikap sopan dan ramah kepada orang lain. Lawan dari kata io dan oe ialah co’o. Jawaban co’o (apa) untuk orang Manggarai sangat kasar. Misalnya mama panggil anaknya,
“Fely, nia ite? Anaknya akan
menjawab: io mama, ho’o aku (ia mama
saya di sini). Rasa bahasanya sangat kasar kalau anaknya menjawab: co’o mama ho’o aku (apa mama, saya di
sini). Hal itu tidak berlaku untuk
lingkungan keluarga saja, melainkan berlaku kapan dan di mana saja.
10. Neka do’ong le
ronggo caka le watang (ronggo: tumpukan sampah, do’ong : tersangkut, watang: batang kayu yang sudah mati dan
hampir lapuk
Ungkapan di atas biasa didengar pada saat teing hang wuat wa’i (upacara sesajian
yang dibuat sebelum seorang pergi sekolah). Artinya ialah “semoga perjalanan
anda selamat sampai di tempat tujuan dan tidak ada halangan yang
merintanginya.” Ungkapan itu diungkapkan oleh seorang juru bicara adat dalam
upacara teing hang untuk memohon restu dari leluhur agar
perjalanan orang yang bersangkutan selamat sampai di tempat tujuan. Selain
diucapkan oleh seorang juru bicara adat, ungkapan semacam itu juga bisa disampaikan
oleh keluarga atau peserta yang hadir dalam acara itu pada saat memberikan seng rahi (uang yang diberkan sebagai
bentuk dukungan). Hal itu sebagai bentuk harapan mereka akan keselamatan
perjalanan orang bersangkutan.
**************
Menggali warisan-warisan
kebudayaan lokal sangat penting dan bermanfaat. Ada hal-hal baru dan berarti
yang kita temukan di sana. Go’et atau curup dalam kebudayaan Manggarai
misalnya, merupakan khazanah budaya daerah yang bernilai dan bermanfaat. Di
dalamnya ada nilai-nilai kehidupan yang mengajarkan kita bagaimana seharusnya
hidup, bagaimana membangun kehidupan bermasyarakat yang damai, adil, dan
bermartabat, dan bagaimana menjadi manusia yang berintegritas. Singkatnya, go’et atau curup memuat pesan-pesan moral yang tentunya penting untuk
meningkatkan baik kualitas kehidupan pribadi seseorang maupun kualitas kehidupan bersama.
Sebagai suatu warisan budaya yang bernilai, go’et atau curup harus tetap dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Manggarai.
Ungkapan neka okes mbate dise ame agu
pedeng dise empo (jangan buang warisan-warisan leluhur) kiranya akan tetap
dihayati oleh masyarakat Manggarai dari generasi ke generasi. Dengan demikian,
warisan-warisan leluhur yang memuat pesan-pesan kehidupan akan tetap lestari
sepanjang masa. Dengan itu, hemat saya orang Manggarai tidak akan kehilangan
identitasnya di tengah gemuruh peradaban yang semakin mengancam tatanan
nilai-nilai tradisional.
[1]
Sanda adalah suatu jenis tarian adat
yang disertai dengan nyanyian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh orang-orang
tua, tidak menutup kemungkinan juga bagi anak-anak muda yang berminat, di dalam
rumah gendang (adat) dengan posisi gerak melingkar sambil bergandengan tangan.
Pesertanya lebih cenderung laki-laki dari pada perempuan. Sedangkan mbata ialah suatu seni musik daerah yang juga biasa
dibuat di rumah adat. Dalam acara mbata ini, para peserta duduk melingkar,
menabu gendang dan gong untuk sambil menyanyikan lag-lagu daerah yang
kata-katanya sangat puitis dan bermakna
mendalam.
“GO’ET” DALAM PUSARAN HIDUP ORANG MANGGARAI (2/2 habis)
Reviewed by insancerdaspolitik
on
June 29, 2020
Rating:
No comments: