Recent Posts

banner image
banner image

“GO’ET” DALAM PUSARAN HIDUP ORANG MANGGARAI (2/2 habis)


Ferdi Jehalut
Realitas "Tungku Cu" dalam Perjodohan Manggarai Halaman all ...
Kredit foto: Kompasiana.com
Arti dan Makna Beberapa Peribahasa atau “Go’et/Curup” dalam Bahasa Manggarai
1.    Mai ga ite nai ca anggit, tuka ca leleng, kope oles todo kongkol, bantang cama reje lele, kudut pande rewo beo agu rang kaeng natas
Kalimat di atas dapat diterjemahkan demikian, “Marilah kita sehati, sepikir, dan bersatu padu yang dilandasi oleh ‘semangat hidup bersmusyawarah’ (bantang cama reje lele) untuk tercapainya suatu mufakat sehingga dapat terciptanya jati diri daerah (kampung) yang mantap, kokoh, dan bermartabat.”
Ungkapan di atas biasanya disampaikan oleh tua adat kepada seluruh warga kampung dalam acara-acara resmi di kampung seperti sekek atau penti atau acara-acara adat lainnya. Tujuannya ialah untuk mengajak semua warga kampung agar bersatu hati dan pikiran dalam membangun kehidupan kampung yang bermartabat yang dilandasi oleh semangat perdamaian dan musyawarah demi tercapainya mufakat dan suatu kehidupan bersama yang damai, aman, dan bermartabat (rang: harga diri, martabat, natas: halaman kampung).
Selain diucapkan oleh tua adat, go’et di atas juga dapat diucapkan oleh seorang kepala pemerintahan (misalanya bupati) dalam kesempatan apa saja untuk mengajak seluruh masyarakatnya agar bersatu hati dan pikiran, bekerja sama membangun daerah yang bermartabat berdasarkan asas musyawarah atau lonto leok. Jika ungkapan di atas digunakan oleh pemimpin seperti bupati, biasanya kata natas diganti dengan kata tanah Manggarai, karena sifatnya lebih umum.
2.    Nio muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng lako
            Arti harfiahnya ialah “ Seperti pisang satu rumpun, kita tidak boleh berbeda pendapat dan seperti tebu satu rumpun, kita tidak boleh berjalan terpisah”. Peribahasa ini dapat diucapkan oleh siapa saja dalam suatu keluarga atau paguyuban masyarakat untuk mengajak semua anggota keluarga atau paguyuban itu agar tetap bersatu hati dan bekerja sama serta tidak boleh terpecah-pecah. Kesatuan itu dianalogikan seperti pisang dan tebu yang selalu bertumbuh secara bergolong dan tidak terpisah satu sama lain. Maksudnya ialah segala berpedaan pendapat yang ada tidak boleh menjadi halangan untuk membangun kesatuan kelompok baik dalam tutur kata maupun dalam tindakan.
3.    Neka somor ngger olo, sumir ngger musi
            Terjemahan yang cukup sepadan dari peribahasa di atas ialah “Jangan berbicara lain di depan lain di belakang”. Ungkapan ini merupakan pengajaran orangtua kepada anaknya agar tidak boleh berbicara yang bukan-bukan atau gosip tentang orang lain. Berbicaralah sesuai fakta. Jangan menjadi orang yang bermuka dua, yang kelihatan sopan, lugu, dan baik di depan orang, tapi setelah berbalik dari orang itu justru ia mencibirnya. Ungkapan ini biasanya selalu diperingatkan kepada anak oleh orangtua di rumah dan tak jarang juga oleh para guru di sekolah.
4.      Neka na’as da’at agu totos jogot, poro ite lembak nai lawang tedeng len
            Neka naas da’at agu totos jogot, poro ite lembak nai lawang tedeng len, artinya “Jangan menyimpan dendam terhadap sesama lalu menunjukkan kejengkelan terhadapnya”. Kita hendaknya bersikap rendah hati dan pemaaf sampai selama-lamanya. Ungkapan ini disampaikan oleh orangtua kepada anaknya sebagai bentuk pengajaran untuk selalu bersikap rendah hati dan pemaaf terhadap sesama serta tidak boleh menjadi pribadi yang dendam yang selalu memperhitungkan kesalahan sesama lalu berusaha membalas kejahatan dengan kejahatan. Selain disampaikan oleh orangtua kepada anaknya, ungkapan semacam ini juga sering kita dengar dalam sidang penyelesaian konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam situasi seperti itu ungkapan di atas disampaikan oleh seorang yang dianggap sebagai penengah di antara dua pribadi atau kubuh yang terlibat konflik. Maksudnya ialah mengajak orang-orang yang terlibat dalam konflik itu untuk membangun rekonsiliasi.
5.      Bantang cama, reje lele, neki weki, manga ranga  (bantang: mengajak, cama: bersama, sesama,  Reje: mengajak, lele: ketiak, neki: bersama, weki: badan, manga: ada, ranga: muka)
Jika diterjemahkan secara lurus ungkapan di atas berarti “Mengajak sesama, mengajak ketiak, bersama badan, ada muka”. Terjemahan semacam itu kesannya agak lucuh dan aneh. Terjemahan yang benarnya sangat sederhana, “Berkumpul dan berusaha secara bersama-sama dan saling menopang”. Orang Manggarai sangat kuat dengan budaya gotong-royong dan budaya lonto leok (duduk bersama). Maka, ungkapan di atas dimaksudkan untuk memperkuat serta menegaskan budaya itu dalam kehidupan bermasyarakat baik sebagai keluarga maupun sebagai warga kampung.
Ungkapan ini bisa diungkapkan oleh siapa saja yang dipandang sebagai yang dituakan dalam suatu keluarga atau masyarakat atau pun orang yang sangat membutuhkan bantuan dan dukungan sesamanya dengan maksud untuk meminta bantuan sesama atau keluarganya dalam mengatasi kekurangan yang sedang dialaminya. Dalam hal tertentu ungkapan itu juga dimaksudkan untuk mengajak semua keluarga atau warga kampung untuk berkumpul bersama, misalnya dalam suatu acara adat tertentu. Mai gi ta ite, sanggen taung ase kae daku, atat manga ranga neki weki one wie hoo, kudut bantang cama agu reje lele kudut suksesn  pesta de anak dite hi Vony cepisa. Artinya, marilah saudara-saudaraku yang pada malam ini berkumpul bersama di tempat ini, kita bersatu hati untuk berbicara secara bersama demi kelancaran dan  kesuksesan pesta dari anak kita Vony nanti.
6.      Lalong bakok dugu lakon, lalong rombeng dugu kolen (lalong bakok: ayam jantan putih, dugu lakon: waktu pergi, lalong rombeng: ayam perkasa, dugu kolen: waktu pulang)
Ucapan di atas biasanya digunakan pada saat torok teing hang (upacara sesajian) yang dibawakan oleh juru bicara adat sebelum seseorang pergi sekolah atau mencari kerja ke tempat yang jauh. Jika diterjemahkan secara harfiah, ungkapan itu berbunyi: “Ayam jantan waktu pergi, ayam perkasa waktu pulang”. Maksud yang tersirat di balik ungkapan di atas ialah suatu harapan untuk pribadi yang bersangkutan (yang pergi sekolah atau cari kerja) agar suatu saat nanti, ketika ia pulang, ia menjadi orang sukses baik dalam belajar maupun dalam usaha atau karyanya. Kesuksesan itu ditandai dengan membawa ijazah ketika pulang ke kampung halaman atau bisa juga menunjukkan kesuksean atau keberhasilan dalam kerja khusus untuk yang pergi mencari pekerjaan. 
Ungkapan ini dalam khazanah budaya Manggarai memberi kekuatan tersendiri kepada seseorang supaya tekun dalam belajar dan pekerjaan. Kesuksesan merupakan harapan semua orang yang begitu antusias dengan perjalanan kita ke tempat sekolah atau tempat kerja.
7.      Neka daku ngong data. Eme data, data muing, eme dite, dite muing
Terjemahan dari ungkapan di atas ialah “Jangan katankan itu adalah milikku, tapi ternyata itu milik orang lain. Milik orang lain ya milik orang lain, milik kita ya milik kita.” Ungkapan di atas biasa disampaikan oleh orangtua kepada anakannya dalam pengajaran di rumah atau di mana saja. Tujuan dari ungkapan itu adalah untuk memperingatkan anak tentang larangan untuk mencuri dan merampas barang dan hak milik orang lain.
8.      Eme mata betong asa manga wake’n nipu tae
Ungkapan di atas dapat ditejemahkan demikian: “Kalau pohon bambu itu mati, ada akarnya yang akan mempertahankan kelestariannya”. Ungkapan ini dipakai dalam banyak kesempatan bahkan orang-orang tua biasa menyanyikannya dalam sanda atau mbata.[1] Makna dari ungkapan itu ialah suatu penegasan kepada baik generasi tua maupun generasi muda, bahwa setelah orangtua meninggal dunia masih ada anak atau generasi yang akan melanjutkan keturunan dan yang akan mewarisi kebudayaan.
9.      Pio-pio wale io, koe-koe wale oe
Artinya: “Pelan-pelan jawab ia, dengan suara yang halus jawab oe (ya)”. Ungkapan ini biasanya disampaikan oleh orangtua kepada anak agar senantiasa menjaga kesopanan dalam berelasi dengan orang lain. Kita hendaknya bersikap sopan dan ramah kepada orang lain. Lawan dari kata io dan oe ialah co’o. Jawaban co’o (apa) untuk orang Manggarai sangat kasar. Misalnya mama panggil anaknya, “Fely, nia ite? Anaknya akan menjawab: io mama, ho’o aku (ia mama saya di sini). Rasa bahasanya sangat kasar kalau anaknya menjawab: co’o mama ho’o aku (apa mama, saya di sini). Hal itu tidak berlaku untuk lingkungan keluarga saja, melainkan berlaku kapan dan di mana saja.
10.  Neka do’ong le ronggo caka le watang (ronggo: tumpukan sampah, do’ong : tersangkut, watang: batang kayu yang sudah mati dan hampir lapuk
Ungkapan di atas biasa didengar pada saat teing hang wuat wa’i (upacara sesajian yang dibuat sebelum seorang pergi sekolah). Artinya ialah “semoga perjalanan anda selamat sampai di tempat tujuan dan tidak ada halangan yang merintanginya.” Ungkapan itu diungkapkan oleh seorang juru bicara adat dalam upacara teing hang  untuk memohon restu dari leluhur agar perjalanan orang yang bersangkutan selamat sampai di tempat tujuan. Selain diucapkan oleh seorang juru bicara adat, ungkapan semacam itu juga bisa disampaikan oleh keluarga atau peserta yang hadir dalam acara itu pada saat memberikan seng rahi (uang yang diberkan sebagai bentuk dukungan). Hal itu sebagai bentuk harapan mereka akan keselamatan perjalanan orang bersangkutan.
**************
Menggali warisan-warisan kebudayaan lokal sangat penting dan bermanfaat. Ada hal-hal baru dan berarti yang kita temukan di sana. Go’et atau curup dalam kebudayaan Manggarai misalnya, merupakan khazanah budaya daerah yang bernilai dan bermanfaat. Di dalamnya ada nilai-nilai kehidupan yang mengajarkan kita bagaimana seharusnya hidup, bagaimana membangun kehidupan bermasyarakat yang damai, adil, dan bermartabat, dan bagaimana menjadi manusia yang berintegritas. Singkatnya, go’et atau curup memuat pesan-pesan moral yang tentunya penting untuk meningkatkan baik kualitas kehidupan pribadi seseorang maupun  kualitas kehidupan bersama.
Sebagai suatu warisan budaya yang bernilai, go’et atau curup harus tetap dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Ungkapan neka okes mbate dise ame agu pedeng dise empo (jangan buang warisan-warisan leluhur) kiranya akan tetap dihayati oleh masyarakat Manggarai dari generasi ke generasi. Dengan demikian, warisan-warisan leluhur yang memuat pesan-pesan kehidupan akan tetap lestari sepanjang masa. Dengan itu, hemat saya orang Manggarai tidak akan kehilangan identitasnya di tengah gemuruh peradaban yang semakin mengancam tatanan nilai-nilai tradisional.




[1] Sanda adalah suatu jenis tarian adat yang disertai dengan nyanyian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh orang-orang tua, tidak menutup kemungkinan juga bagi anak-anak muda yang berminat, di dalam rumah gendang (adat) dengan posisi gerak melingkar sambil bergandengan tangan. Pesertanya lebih cenderung laki-laki dari pada perempuan. Sedangkan mbata ialah  suatu seni musik daerah yang juga biasa dibuat di rumah adat. Dalam acara mbata ini, para peserta duduk melingkar, menabu gendang dan gong untuk sambil menyanyikan lag-lagu daerah yang kata-katanya  sangat puitis dan bermakna mendalam.

“GO’ET” DALAM PUSARAN HIDUP ORANG MANGGARAI (2/2 habis) “GO’ET” DALAM PUSARAN HIDUP ORANG MANGGARAI (2/2 habis) Reviewed by insancerdaspolitik on June 29, 2020 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.