Oleh Ferdi Jehalut

Kredit foto Kompasiana.com

Kredit foto Kompasiana.com
Setiap
daerah memiliki ungkapan-ungkapan khas yang disampaikan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada orang lain untuk maksud dan tujuan tertentu.
Ungkapan-ungkapan itu biasanya disampaikan dalam situasi tertentu, pada even
atau acara tertentu. Misalnya ungkapan orangtua untuk anaknya, kakak untuk adiknya
atau sebaliknya, tua adat untuk anggota kelompoknya, pemimpin untuk orang yang
dipimpinnya, dll. Biasanya ungkapan-ungkapan itu berbeda dalam situasi yang
berbeda dan untuk maksud yang berbeda. Keberbedaan itu sangat bergantung pada
siapa yang menyampaikannya, kepada siapa, untuk maksud apa, dan dalam situasi
apa. Dalam kebudayaan Manggarai ungkapan-ungkapan khas semacam itu sering
disebut go’et atau curup (ejaan lamanya tjurup).
Go’et atau curup dalam khazanah budaya Manggarai sangat banyak. Hal itu
menjadi keunikan dan kekhasan tersendiri bagi masyarakat Manggarai yang pada
umumnya memiliki kebudayaan yang hampir sama dari barat sampai ke timur dan
dari utara sampai ke selatan. Kekayaan-kekayaan itu diwariskan dari generasi ke
generasi sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang
Manggarai. Ia bahkan menjiwai seluruh totalitas hidup orang Manggarai. Hal itu
bisa ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di mana-mana ungkapan-ungkapan itu selalu
kita dengar, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan sosial-kemasyarakatan.
Bahkan tak jarang dalam pidato-pidato pemerintahan para pemimpin politik dan dalam
khotbah-khotbah para pastor di gereja-gereja pun kita sering mendengar
ungkapan-ungkapan khas itu. Dalam konteks ini orang Manggarai sungguh
menghidupi salah satu filosofi yang diwariskan sejak nenek moyang, yakni neka okes kuni agu kalo agu mbate dise ame (terjemahan
lurusnya: jangan lupa tanah leluhur kita beserta warisan yang mereka turunkan).
Maksud ungkapan tadi ialah kita harus melestarikan seluruh khazanah budaya
sebagai warisan yang luhur dari nenek moyang kita. Inilah salah satu contoh peribahasa atau curup dalam bahasa Manggarai.
Tentu pembaca ingin tahu, kira-kira
ungkapan-ungkapan macam mana yang termasuk dalam go’et atau curup dalam
kebudayaan Manggarai. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan menyajikan beberapa
curup atau go’et itu dengan arti dan maksud serta konteks pemakaiannya. Namun,
sebelumnya akan disajikan arti dan makna go’et
atau curup itu sendiri menurut
beberapa literatur kebudayaan Manggarai, sehingga pembaca dapat lebih memahami
arti dan makna go’et atau curup itu sendiri.
Landasan Teori
Dalam
kamus Manggarai I, Manggarai – Indonesia (1967) yang disusun oleh A. J. Verheijen kata tjurup (ejaan barunya curup) diterjemahkan dengan kata
bertutur, omong, bilang, udjar (ujar (ed.)), kata, dan pembitjaraan
(pembicaraan (ed.)).[1]
Sedangkan
dalam Kamus Manggarai II, Indonesia – Manggarai (1970) yang ditulis oleh
penulis yang sama, kata “peribahasa” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke
dalam bahasa Manggarai dengan kata tjurup
(curup).[2]
Padahal, dalam Kamus Manggarai I, Manggarai – Indonesia yang disusun sebelumnya
kata tjurup tidak diterjemahkan
dengan kata “peribahasa”. Akan tetapi, perbedaan itu tidak perlu dipersoalkan
karena dalam kenyataannya baik kata Indonesia “peribahasa, ungkapan, omong,
bertutur” maupun kata Manggarai “tjurup atau
curup” digunakan untuk maksud yang sama.
Dalam
kenyataannya, ternyata istilah curup (selanjutnya
saya akan memakai ejaan yang baru ini) bukanlah suatu istilah tunggal untuk
menyebutkan – apa yang dalam istilah Indonesia – “peribahasa , ungkapan, syair,
dll.” Istilah lain yang biasa digunakan untuk hal yang sama ialah go’et. Bahkan istilah ini sampai
sekarang kedengaran lebih populer di kalangan masyarakat ketimbang istilah curup.
Adi M. Nggoro, penulis
buku “Budaya Manggarai Selayang Pandang”, menggunakan cukup banyak istilah yang
mengacu kepada term go’et atau curup. Kadang-kadang ia menyebutnya
petuah (adat), filosofi, ungkapan, peribahasa, dan kadang juga menyebutnya
kata-kata bijak dalam bahasa daerah.[3] Penerjemahan
dan pemakaian semacam ini tidak dipersoalkan. Penggunaan istilah-istilah itu
didasarkan pada aspek fungsional dari go’et
atau curup. Misalnya, go’et yang diucapkan oleh orangtua untuk
anaknya yang hendak pergi kuliah disebut sebagai “petuah”, dalam bahasa
Manggarainya disebut titong, tatong agu
toing. Hal itu mengacu kepada tujuan digunakannya go’et atau curup itu
sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dan harapan kepada anak supaya sekolah
baik-baik dan bahwa orangtua atau keluarga besar sangat mengharapkan
keberhasilannya di bangku kuliah.
Banyaknya istiliah
terjemahan di dalam bahasa Indonesia yang mengacu kepada kata go’et atau curup tidak menjadi suatu persoalan yang berarti sejauh tidak
menghilangkan makna go’et atau curup itu sendiri. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini, penulis lebih suka menerjemahkan kata go’et atau curup itu
dengan istilah peribahasa (daerah).
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata peribahasa diartikan sebagai (1) kelompok kata atau
kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalamnya
termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan); (2) ungkapan atau kalimat ringkas
padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan
tingkah laku.
Pengertian “peribahasa”
menurut KBBI di atas semakin memperjelas arti dan makna go’et atau curup dalam
bahasa Manggarai. Go’et atau curup dalam bahasa Manggarai memiliki
arti dan maksud yang sama dengan “peribahasa” dalam bahasa Indonesia. Maka,
hemat saya sangat tepat kalau kata go’et atau
curup itu deterjemahkan dengan kata
peribahasa. Terjemahan ini sangat umum, yang mencakup juga semua aspek
fungsional dari kata go’et atau curup itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di
atas, saya menyimpulkan bahwa go’et atau
curup merupakan ungkapan khas dalam
bahasa daerah Manggarai yang berisikan petuah, nasihat, pesan, filosofi hidup,
dan aturan tingkah laku. Ungkapan itu biasanya disampaikan oleh seseorang
kepada orang lain (misalnya orangtua untuk anak, kakak untuk adik atau
sebaliknya, tua adat untuk warga kampung, dll.) untuk menyampaikan pesan
tertentu berupa nasihat, anjuran, ajaran, ajakan, dan peringatan.
Ungkapan-unkapan itu juga tak jarang menjadi filosofi hidup orang Manggarai
baik secara pribadi maupun secara bersama dalam suatu tatanan hidup bermasyarakat.
Dalam kebudayaan
Manggarai go’et atau curup bisa diungkapkan dalam komunkasi
resmi (misalnya acara adat, pidato pemerintahan, khotbah, dll.) dan tidak resmi
(misalnya ajaran orangtua kepada anaknya dalam kehidupan sehari-hari untuk
meneguhkan dan menyadarkan anaknya, contohnya pada waktu ia berbuat suatu
kesalahan atau sebelum pergi ke bangku sekolah atau pergi merantau, dll.).
Sebagaimana halnya peribahasa dalam
bahasa Indonesia yang berbeda untuk maksud yang berbeda dan dalam situasi yang
berbeda, demikian pun go,et atau curup dalam bahasa Manggarai
berbeda-beda untuk maksud yang berbeda dalam situasi yang berbeda yang juga
sangat bergantung pada siapa yang menyampaikannya, kepada siapa, dan untuk
maksud apa serta dalam situasi atau even apa. Namun, yang menjadi kekhasan dan
keunikan go’et dalam bahasa Manggarai
ialah unsur seni bahasanya. Kata-kata go’et
pada umumnya menunjukkan bunyi yang kerap enak didengar karena kesamaan bunyi
akhiran atau rima-nya.
Setelah memahami arti dan makna go’et atau curup dalam
bahasa Manggarai, berikut akan disajikan beberapa di antaranya dengan arti dan
maknanya masing-masing. Secara keseluruhan pembahasan berikut ini meluluh
berdasarkan pemahaman penulis tentang beberapa go’et atau curup yang setidak-tidaknya cukup sering dijumpai
dalam pergaulan orang Manggarai sehari-hari. Oleh karena itu, penulis hanya
mengambil beberapa go’et yang
kebetulan arti dan maknanya penulis ketahui secara baik. Namun demikian,
sebagai catatan, beberapa go’et berikut
cukup susah diterjemahkan secara harfiah karena beberapa istilah yang sangat
khas yang sulit menemukan padanan artinya dalam bahasa Indonesia. Bersambung ...
[1]
A. J. Verheijen (penyusun), Kamus
Manggarai I, Manggarai – Indonesia (The Hague, Netherlands: Konikklijk
Instituut Voor Taal-, Land –En Volkenkunde, 1967), hlm. 720.
[2]
A. J. Verheijen (penyusun), Kamus
Manggarai II, Indonesia – Manggarai (The Hague, Netherlands: Konikklijk
Instituut Voor Taal-, Land –En Volkenkunde, 1970), hlm. 164.
[3]
Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai Selayang
Pandang (Ende: Nusa Indah, 2006), hlm. 5-43.
“GO’ET” DALAM PUSARAN HIDUP ORANG MANGGARAI (1/2)
Reviewed by insancerdaspolitik
on
June 29, 2020
Rating:
No comments: